Aku awali cerita ini dengan sebuah akhir.
Cerita ini kutulis pada awal Januari dengan hujan berhari-hari tanpa henti. Di luar dingin sekali. Jangan coba untuk keluar, walau hanya untuk merasakan tetes hujan di ujung jari. Aku pernah merasakan hujan itu menyentuhku, setelahnya mulai menyakitiku. Jangan coba menatapku dengan sejuta cahaya harapan seperti itu, kuperingatkan, aku bukan orang yang mudah terpengaruh. Lebih baik diam saja dan dengarkan aku bercerita.
Ini tentang dia. Seseorang yang menjadi utuhnya kisah ini. Walaupun bukan selalu tentangnya, tapi dia menjadi bagian terpenting pada seringkas dan sependek cerita ini. Lebih baik kuperkenalkan dulu tentang dirnya. Tentang segala sesuatu yang akan menjadi kunci cerita ini. Dia adalah milik orang lain. Sesuatu yang sudah terlarang untuk dimiliki. Sampai di sini pasti sudah pahamkan posisiku di mana?
Dia adalah seseorang yang tidak seharusnya kuinginkan. Seseorang yang tidak seharusnya kubiarkan masuk ke dalam pikiranku dan menerebos seenaknya ke dalam hatiku. Aku merasa bahwa ini tidak benar. Aku tidak ingin merebut yang telah dimiliki orang lain. Tapi pada akhirnya, segala sesuatu yang kujauhi malah semakin menjeratku.
Aku menginginkannya jadi milikku.
Dia adalah sosok yang mudah membuat orang terjatuh. Dan setelah itu dia bersikap seolah tak pernah terjadi apa-apa. Dia melakukan hal yang serupa padaku. Aku jatuh dan berusaha bangkit. Dia mengulurkan sebuah harapan dan aku meraihnya. Setelah itu segala bentuk berkecamuk. Hujan, awan, bintang, samudera, cakrawala, nebula, dan semesta kudapati dalam pikiranku. Termasuk dirinya yang masuk ke dalam pikiranku. Tak bisa keluar lagi, sialnya.
Dia menawarkan sebuah rasa yang tak bisa ditawar. Memberikan sebuah pilihan yang takkan kupilih. Menceritakan sebuah kisah entah-berantah dan aku terbawa seperti buta di lautan cahaya. Aku mulai terhanyut, tanpa kumengerti sama sekali bermuara di laut mana. Aku sudah tenggelam tanpa kusadari lautan bergejolak yang kutapak. Terbenam semakin dalam di palung laut hatinya yang paling sunyi. Rasanya menyesakkan dengan sejuta gelap yang mengemis cahaya.
Seperti pertama kali aku mengenalmu. Dia adalah tempatku ingin habiskan waktu. Persis saat pertamakali aku mengenalmu. Kamu dan dia bagaikan kepingan kosong yang pas menenempati hatiku.
Sekarang aku ingin bercerita dulu tentang dirimu sebelum kuceritakan tentang dirinya. Aku ingin mengingat sebanyak mungkin tentang dirimu sebelum dia menghapusnya dalam pikiranku. Dia bisa melakukannya. Kamu harus percaya itu. Hanya saja aku tak ingin kamu terhapus begitu saja dalam kenanganku. Aku ingin mengabadikan rinduku padamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lebih Lama dari Selamanya
PoesíaSEGERA BEREDAR DI GRAMEDIA Kukira kita lebih lama dari selamanya. Ternyata kita lebih cepat dari kecepatan. #1 Senandika (Desember 2019) #1 Senandika (Januari 2020) #1 Senandika (Februari 2020)