Gue misuh-misuh gak jelas, lalu kembali berlari menuju gerbang yang udah ditutup. Arloji putih yang melingkar di tangan kiri menunjukkan pukul tujuh lebih lima belas menit. Itu artinya gerbang udah ditutup sejak lima belas menit yang lalu. Ini baru hari ke delapan gue sekolah di SMA Merpati, dan untuk pertama kalinya gue telat.
Dasar abang sialan! Gara-gara dia gue jadi telat kan!
Sedangkan Gavin sampai sekarang masih molor di kasur. Semalem dia abis apel kerumah pacarnya yang ada di Jakarta. Dia gak bisa nganter gue ke sekolah karena cape. Shit! Imbasnya jadi ke gue kan.
"Pak Satpam! Bukain gerbangnya, Pak, saya mau masuk." Gue menggedor-gedor gerbang sekolah sambil teriak-teriak. Untung aja semua murid SMA Merpati udah kumpul di aula sekolah buat pemilihan Ketua OSIS, jadinya gue gak malu buat teriak-teriak.
"Ini Pak Satpam budeg ya?" Gue ngegigit kuku-kuku gue. "Duh gimana nih?"
"Mau masuk ya, neng?"
Suara itu bikin gue terlonjak kaget. Suara paling angker yang pernah gue denger. Gue mendongak untuk memastikan, bener dugaan gue.
Damn!
"L-lo?"
Dia menyeringai. "Mau masuk gak?" gue cuma mengangguk mengiyakan.
"Tapi ada syaratnya. " Katanya.
"Apaan?"
"Lo harus jadi pacar gue. "
Gue melongo. "M-maksud lo? " tanya gue masih kaget.
Dia membuka pintu gerbang sambil tersenyum. "Biasa aja kali mukanya, gak usah jelek kayak gitu. "
Gue refleks ngelepas sepatu pantopel gue dan mukulin itu ke wajahnya. Dia meringis saat sepatu gue dengan mulus menampar hidung mancungnya.
"Awh! " Cicitnya. "Sakit bego! "
Gue makin berang. "Apa lo bilang? Bego? Rasain nih!" Gue makin kenceng mukulin dia.
Dengan sigap Daren menangkap tangan gue. Dia menatap gue tajam. "Meskipun lo nolak sekalipun, gue gak peduli. Yang jelas, lo milik gue karena gue yang menangin taruhan waktu itu. "
Gue terhenyak denger kata-kata Daren. Semurahan itu kah gue dimata dia? Gue menghentakan tangan, otomatis cengkramannya di tangan gue terlepas. Gue menatapnya tak suka. "Gue bukan milik siapapun dan gue gak peduli soal taruhan itu. Sekarang minggir!"
Daren kemudian memberikan ruang untuk gue lewat. Namun ketika baru dua langkah dia menahan pergelangan tangan gue. "Pulang sekolah, tunggu gue di gedung olahraga. " katanya lalu melenggang pergi. Gue terdiam sejenak sebelum kembali melangkah.
Gue duduk di barisan paling belakang hasil konsekuensi dari keterlambatan gue hari ini. Rara dan Vania ada di barisan tengah dan ngebuat gue susah untuk mencapai mereka. Jadi gue lebih memilih untuk duduk menyendiri di belakang. Ternyata acara baru dimulai sekitar sepuluh menit yang lalu, kini Kepala Sekolah alias Om Herdi tengah menyampaikan sepatah dua patah kata sebagai pembukaan. Gue berusaha untuk tetap fokus mendengarkan sampai seseorang tiba-tiba masuk ke aula tanpa permisi.
"Ekhem. " Om Herdi berdeham, sontak cowok itu menoleh dengan alis terangkat. "Apa kamu tidak tahu caranya bersopan santun?"
Daren mengedikkan bahunya tak peduli. "Gak tahu, Pak dan saya kesini bukan untuk belajar sopan santun. "
Gue membelalak tak percaya, bahkan orang-orang juga menampilkan ekspresi yang sama. Om Herdi tampak menarik nafas, mencoba sabar menghadapi tingkah anak didiknya. Beliau tampak enggan meneruskan perdebatan dan lebih memilih membiarkan cowok itu sesukanya. Kemudian Om Herdi melanjutkan kembali sambutannya yang sempat terjeda, sedangkan Daren mulai berjalan menuju barisan paling belakang. Tunggu, dia gak lagi menuju ke gue kan?

KAMU SEDANG MEMBACA
Three Bad Boys
Teen Fiction(BELUM DI REVISI, MAAF JIKA MASIH BANYAK KESALAHAN) Mungkin cerita ini gak sebagus Dear Nathan, gak sekeren My Ice Girl, gak semenarik Mariposa, gak semenakjubkan MeloDylan, gak se-amazing SIN, gak sebaik Darka, gak se-wow Artha, dan gak se-booming...