Kamu

938 57 0
                                    

Saat senja datang, aku memutuskan untuk pulang. Bukan lagi untuk melihat senja,  namun karena aku cukup lelah. Tersandung-sandung aku berjalan, mendefiniskan masa depan dengan kamuflase masa lalu dan adaptasi masa sekarang. Aku terseok dan terbasahi genangan air. Hentakan kaki kadang bodoh dalam memilih jalan, lihat rok pramukaku basah.

Sampai diujung jalan, aku mengambil motor matic yang menjadi pacar teromantis sepanjang masa. Mengantar jemput tiap waktu tanpa kenal lelah.  Lalu aku sadar,kamu berdiri di sampingku.

"Aku pulang dulu ya," Kamu diam, mungkin kamu marah.  "Aku harus pulang sore, karena sejak kemarin aku pulang malam."kamu tetap diam, tak ada suara bahkan pergerakan. 

"Kamu kenapa?"

Kamu diam dan mendiamkan,  "Kekesalan apa yang membuat wajahmu begitu dingin?"

"Aku melihat wajahmu rumit, bertekuk-tekuk terlipat. Maaf aku tak berani bertanya padamu, karena sudah tak ada sesuatu yang membuat aku seperti dulu. Berani berkata tanpa batas padamu."

"Yasudah kalau kau marah, cukup saja dengarkan ceritaku sebelum kamu pulang." sadar ada yang salah, aku tertawa sedikit,  "maksudku aku Yang pulang." Tapi kamu masih diam.

"Aku tidak tau mengapa kamu diam,  dulu, begitu banyak hal yang selalu kita bicarakan. Semua tidak penting. Seperti filosofi daun jatuh yang ikhlas terhempas angin dan terbuang begitu saja. Lalu kau membantahku, dia ikhlas karena daun daun itu bermanfaat bagi tanah. Kita juga berbicara mengapa tempe dinamakan tempe bukan kedelai goreng? Lalu kau tertawa, tapi kan ada tempe bacem, bagaimana bisa kita mendiskriminasi tempe tempe lain dengan menamakan kedelai goreng. Aku benar benar tertawa atas pikiranmu, tapi benar juga. Tapi bukan kah tempe bacem adalah jenis olahan tempe? Bukan tempe secara universal. Lalu kau mendebatku, tidak ada yang universal dan khusus didunia ini, semua yang universal dan khusus adalah atas nama tuhan. Lalu aku diam. Kamu tau apa yang dapat mengalahkanmu? Tanyamu sambil tersenyum kala itu, berbicara tentang Tuhan. Aku tersenyum,semua itu benar."

"Ah berbusa aku berbicara," kau diam tak berubah ekspresi sedikitpun. "Aku kok rindu ya?"

Kamu masih diam,  "Hahaha,  ya sudahlah. Aku pulang ya." tapi kamu diam, ada sisi lain dari hidupku yang tidak ingin aku pergi dari hadapanmu.

"Aku kemarin benar benar pulang malam. Jadi aku harus pulang." kau seperti menahan lewat tatapan mata, namun tetap saja, kau menyuruhku pergi, aku bingung.

"Kau tau, sore-sore begini matahari terbenam. Cantik. Tidak maukah kau menghabiskan sore bersama ku?" dari kediamanmu menyiratkan "bukannya kau harus pulang sore karena kemarin pulang benar benar malam?"

"Tidak papa aku pulang malam hari ini, karena besok aku akan pulang cepat." kau menatap seperti aku berbohong, "Aku serius."

Kamu diam, kediaman yang bisu dan mendiamkan. Aku memutuskan untuk pulang. Bukan kamu lagi menjadi rumah dari setiap kepulang kepulanganku.

"Aku pulang."

Aku menyalakan maticku dan memundurkannya. Bapak tukang parkir menepuk pundakku,  "Tadi berbicara dengan siapa?"

Aku menoleh sebentar,  "Dengan motor itu." Tunjukku pada motormu yang terus mendiamkanku.

Kepada, [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang