Hari ini Randy mengajakku ke alun alun Batu. Dia bilang ingin makan jagung serut dipasar, makan lalapan dengan minum susu hangat, dan naik bang lala sambil membawa gula kapas.
Permintaan nya seperti permintaan anak kecil yang sedang ditawari pergi ke Taman hiburan jika mendapatkan rangking. Lagi aku berjalan kearah pasar, mencari jagung serut. Dia bilang, dia ingin jagung serut rasa cokelat keju dan disiram susu cokelat. Ingat jagung serut, ingat jagung serut kesukaanmu dipintu masuk pasar. Jagung serut yang membuat kita harus rela mengantri setengah jam karena saking ramainya. Biarkan aku kenalkan Randy dengan jagung kesukaanmu.
"Kau pasti sering kemari bersama dia? Apa saja yang kalian lakukan sepanjang perjalanan? Saling mengandeng? Atau dia mendekap bahumu dengan maksud agar dunia tak berani mendekatimu? Atau tanganmu mengamit tangannya untuk mencari kehangatan? Atau kalian hanya berjalan bersama tanpa berpaut?"
Kurasa, aku pernah melakukan semua itu bersamanya.
"Kalau begitu, biarkan aku melakukan yang berbeda dari yang telah kalian lakukan." lalu tiba tiba dia menggandeng tanganku dan memasukkan ke saku hoodienya. "Jangan protes."
Tapi aku tidak protes. Aku tau saat kau membaca ini, pasti kau anggap aku murahan atau gampangan. Tidak melawan ketika sedang digandeng seperti ini. Namun, entah mengapa, walaupun tangannya tak sehangat tanganmu, tapi ini kali pertamaku digenggam dan disembunyikan dibalik saku hoodie. Kali pertama yang membuatku sedikit bungkam dan melupakanmu. Kurasa begitu atau hanya perasaanku saja, aku tak tau.
"Dimana ya beli jagung serut yang enak?"
Aku tau tempatnya, kesukaannya dulu. Letaknya didepan pintu masuk pasar. Ramai sekali, banyak yang beli, memang sih enak. Keju, cokelat, susu, bumbunya pun banyak sekali. Tidak tanggung-tanggung. Enak memang.
"Memang definisi jagung serut enak menurutmu adalah yang banyak bumbunya?" dia menatapku singkat, lalu mengeratkan tangan dan melanjutkan berjalan "Kita beli disana saja ya, sepi, pelestarian ekonomi rakyat kecil. Untuk apa kita mengkayakan orang kaya jika masih ada orang yang kurang mampu yang masih bisa kita hidupi dengan kehedonisme an yang kita lakukan."
Aku hanya mengangguk setuju. Tak lama ditanganku ada secup jagung serut rasa pedas manis, dan ditangan Randy rasa keju, cokelat parut dan susu cokelat. "Bagaimana rasanya? Apa memang ini tidak seenak jagung serut yang ramai itu?"
Aku rasa, untuk rasa nya sama saja. Jagung. Mungkin banyak sedikitnya bumbu, cokelat, keju, dan susu yang ditabur didalamnya lebih sedikit.
"Nah, kalau gitu, kita harus sering sering beli kesini." dia tersenyum menatapku, "Strategi jagung serut yang ramai itu Bagus, memperbanyak intensitas topping, lalu ketika ramai , dan pasti untungnya banyak, dia dapat mempertahankan citranya. Lalu ramai dan dikenal dimana mana. Sedangkan jagung serutku ini, seret pembeli, lalu bagaimana dia memperbanyak toppingnya jika untung saja tak tentu banyak bukan?" aku menjawab dengan mengangguk. Benar juga logikanya.
Tapi, kenapa dia tidak meniru cara pedangang ramai.
"Indonesia dibangun oleh Citra," ujarnya sambil menyendok jagungku "Kalah start, modal, ide, pelanggan dan nama, maka akan kalah semua. Indonesia, ah tidak , semua semua dibangun oleh nama." dia mengernyit sebentar ketika memasukkan sendok berisi jagungku ke mulutnya.
"Setauku kamu suka sekali dengan keju, lalu kenapa kau membeli rasa ini? Rasa kesukaannya?"
Kau cocok membuka jasa maramal di sini, Randy.
Randy hanya tertawa singkat menanggapi humorku, lalu tangan kirinya mengambil jagungku dan ditukarkan dengan miliknya "Aku membawamu disini dengan tangan berada disakuku untuk mencari celah melupakan mantan kekasihmu itu, tapi kau, setiap kau punya celah, kau selalu membiarkan memory menggerogoti mu. Kenapa kau tidak mau membentuk kenangan baru denganku? Apa sebegitu sulitnya melupakannya barang saat kau bahagia?"
Kalau kau sampai dirumah setelah pendakian ke Argopuro, apa lantas kau melupakan gunung itu? Tidak, Ran. Lagi, Aku belum dalam tahap mengikhlaskanya, Ran.
"Kamu sudah dalam tahap itu, namun kamu terlalu menolaknya."
Lalu tak ada percakapan antara kami setelah itu, kami hanya diam menikmati jagung ditangan.
"Kau, marah padaku?"
Untuk apa, Ran? Ucapan mu benar tapi aku belum bisa menerimanya. Kau benar soal membuat kenangan baru denganmu. Tapi, Ran, aku selalu mengunjungi seorang tukang monyet disini, memberinya beberapa uang kecil ketika bersamanya dulu, mau kah kamu mengantarkanku? Lagipula, pelajaran baik itu tak usah di hapuskan bukan?
Lalu kami berjalan ketempat tukang monyet itu berada, kulipat uang seadanya dibalut seribu rupiah. Kau yang menyuruhku begitu, lalu takut takut ku masukkan kedalam toples yang dipegang monyet itu.
Saat kembali, tangan Randy tiba-tiba mengamitku, "Aku tidak akan melepaskan ini."
Apa?
"Ini." ujarnya sambil menatapku lucu.
Tanganku?
"Biang lala," ujarnya sambil merapikan sudut jilbabku "Kita harus cepat, aku takut biang lalanya berhenti berputar." Randy mengalihkan pandangannya "Berlari?" aku mengagguk.
Baiklah, biarkan hari ini aku membentuk kenangan baru dengan Randy. Aku akan membiarkan dia menautkan tanganku dengan tangannya, membiarkannya mengajak ku berlari, dan seperti saat ini antri bersama anak kecil membeli gula kapas.
Kini, kami sudah di biang lala, dengan gula kapas berbentuk beruang ditanganku.
"Kau pernah makan gula kapas di biang lala dengannya?" aku menggeleng dan dia tersenyum, senyum paling mengembang yang pernah aku temui. Biamg lala pun semakin tinggi, hingga pada puncaknya, tangannya bertengger di bahuku. "Kau benar-benar tidak bisa melupakannya? Atau kau menggunakan alasan itu untuk menutup pintu hatimu karena kau terlalu takut ditinggalkan?
"Aku," Dia menjeda kalimatnya "Tidak bisakah menjadi sespesial itu dimatamu seperti kekasihmu dulu?"
"Biarkan aku menggengam tanganmu, Meu, jika kau sudah merasa hangat, katakan padaku." lalu dia mengenggam tanganku, genggamnya berbeda dari yang sebelumnya, lebih hangat dan jantungku berdetak. Aku kembali hidup setelah sekian lama.
"Meu, katakanlah padaku jika jantungmu berdetak seperti apa yang kurasakan sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepada, [TAMAT]
Teen FictionDi hadapan Ranu Kumbolo gadis itu kembali menatap kabut yang mulai turun. Dibelakangnya dua sosok manusia sedang berpelukan melawan suhu dingin yang menerpa. Salah satu diantara mereka bertiga menunggunya mulai menulis. "Ta, sudahlah." Aku akan men...