Pertanyaan

368 30 1
                                    

Sampai detik ini aku masih bertanya mengapa dulu kau mencegah aku pergi.

Ingat tidak,  kala itu, minggu pagi, kau tiba-tiba saja menjemput kerumah dan mengajakku hunting foto. Aku heran awalnya, karena kau dan aku sama sama tidak suka berfoto. Namun layaknya pikiran apa itu? Aku tau kau ingin mencari objek bukan menjadi objek. Tapi hari itu tak biasa kau mengajakku sepagi ini untuk hunting foto. Kau bukan orang yang memuja matahari terbit, namun kau menghamba pada matahari terbenam. Dan sebaliknya aku. Dulu aku pikir jodoh harus saling melengkapi, aku suka sunrise kau suka sunset.

Tapi ternyata tak sepuitis itu.

Oh, tapi sepuitis, "Kau datang untuk mengajarkan sesuatu bukan untuk menetap."

Hari minggu itu, kau mengajakku ke bangunan tua, bukan bangungan, lebih tepatnya puing-puing. Sampai keatas bangunan kau mengajakku ketepian. Menggantungkan kaki dan bergesekan dengan angin.

"Sayang, sepertinya ada yang perlu kita bicarakan."

Wah. Entahlah. Dosaku karena terlalu banyak menonton drama Korea. Aku merasakan ujung dari 'kita'.

"Sudah hampir tiga tahun kita bersama, aku dan kau bukanlah tipekal pasangan pecemburu. Kita adalah bangunan yang berdiri atas kepercayaan."

Aku tergelitik, sebenarnya, apa yang coba kau sampaikan?

"Kau tau, bahwa segalanya yang nyaman selalu aman? Dan yang aman itu tanpa tantangan? Dan yang namanya tanpa tantangan adalah ruang kebosanan?"

Entah mengapa saat itu aku memilih menunduk, membiarkan mataku menitikkan air mata. Bagaimana bisa kau berkata tentang kebosanan? Bahwa dulu kau berkata bahwa kita adalah kau? bahwa kita adalah aku? bahwa kita bukanlah dua melainkan satu? Namun kini kau secara tersirat menyampaikan kebosanan?

"Sayang, hapus air matamu. Seperti itu tidak akan menyelesaikan masalah."

Aku diam. Membiarkanmu ruang untuk bicara.

"Sayang, kadang jarak membuat kita semakin terikat.  Aku minta untukku ruang bergerak."

Aku tersenyum, kutatap matamu yang penuh kehati-hatian. Rautmu bukanlah raut yang siap menyakitiku , tapi bodohlah kau, kau telah menyakitiku. Lalu bagaimana bila kita nyaman dengan jarak?

"Tidak ada yang nyaman dengan jarak. Jarak menciptakan rindu dan menghadirkan kenangan lama. Tidak ada yang nyaman dengan jarak."

Kau berkata seperti ini untuk apa?

"Aku akan berkelana ke Sumbawa esok, aku mohon, jangan hubungi aku atau apapun, aku ingin memutus segala dengan dunia esok. Mencari apa itu merdeka. Mencari harga diri dan martabat."

Kau meminta aku tidak menghawatirkanmu?

Kau tertunduk. "Biarkan aku bersama duniaku."

Adakah aku yang tak nyaman untukmu? Khawatirku? Rinduku? Kau keberatan karena itu? Lalu untuk apa kau selalu berterimakasih tentang kekhawatiran?

Kau menatapku berkaca-kaca,  menggeleng sekilas,  "Kau tau, bukan kekhawatiran mu yang tidak ku sukai, tapi fakta bahwa menjaga diriku untuk tetap aman dan menjauhi tantangan adalah yang kubenci."

Airmataku jatuh lagi dan menderas,  Sudah banyak gunung dan perjalanan yang telah kita lalui lalu dimana tantangan yang kau bilang kau jauhi? Apa memastikan kau aman adalah dosa.

"Sayang, kau sedang marah."  Kau memegang bahuku yang berguncang,  "Sayang, Aku sedang mencari aku, kekhawatiranmu terkadang membuatku urung."

Apa yang kau cari? Bukannya kau menemukan kau diantara tebing, mata air, gunung, pantai, bukit, dan pemukiman kumuh? Kau bilang sendiri padaku! 

"Sayang, redakan amarahmu. Dengarkan aku, ada yang ingin aku tantang dari diriku sendiri, ada yang ingin aku buktikan kepada diriku sendiri. Dan ada yang ingin ku kenang diperjalananku. Ada yang in--"

Masa bodoh!  Apa yang kau inginkan? Kita berhenti disini? Apa maksudmu?

"Sayang,  saat kita berdebat kau tak pernah sekalipun memotong kata-kataku. Kau selalu mendengarkan. Kau sendiri yang bilang bahwa kita selalu mendengarkan untuk menjawab bukan untuk mengerti, dan kau bilang kau ingin menjadi yang mendengar untuk mengerti, bukan? Lalu siapa yang kini bersamaku."

Disaat seperti ini, kau masih bisa bermain kata-kata!  Kau masih berani menuntutku!

"Sayang, kau sedang marah, meredahlah lalu kita bicara." Bodohnya saat itu kau beranjak, meninggalkan aku. Aku selalu ingin ini setiap kali kita bertengkar, namun tidak hari itu. Aku ingin penjelasan.

Aku bergegas beranjak pula, dengan tangisan yang menggelinding cepat, lariku semakin cepat. Dan kau mengejarku. Mendengar telapak kakimu bergemuruh, aku mempercepat langkahku, tangisku tak kalah diam, masih mengalir lembut selembut sungai cikasur. Mungkin kau telah bekerja sama dengan bangunan ini, menghadangku dengan batu dan hampir membuatku terjatuh bergulung ditangga, namun sempat kau menarikku.

Lalu tanpa sadar, aku jatuh. Jatuh dipelukanmu.

"Untuk apa kau berlari menjauhiku. Maafkan aku. Maafkan aku. Aku begitu takut kehilanganmu. Aku begitu takut ketika waktu tak menghendaki kita. Aku takut serakah dengan memilikimu. Jarak adalah emosiku. Jarak adalah tobatku, bahwa memiliki umat-Nya adalah dosa. Aku ingin meredamnya." Kau menangis sesenggukan. Aku tak kalah pula, tangisku makin menjadi.

"Maafkan aku."

Carilah dirimu, aku akan menunggu disini.

Aku ingat betapa bodohnya jawabku, hingga diriku sendiri masih mempertanyakan. Mengapa kau menarikku kembali jika sekarang kau menjauh dan tanpa sadar membuatku pergi?

Walau begitu, terimakasih takdir, bertemu dengannya adalah hal yang membuatku sekuat ini.

Kepada, [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang