MACET

137 21 1
                                    

Hari ini dua hari setelah pertemuan kita. Pertemuan canggung yang benar-benar asing selama kita berjumpa. Beberapa kali Zidhane mendamaikan suasana, aku yakin dia membela ikut karena tau semua ini akan terjadi. Didetik akhir sepertinya kita sudah tidak canggung lagi, atau lebih tepatnya menjalan kan peran keakraban yang seharusnya ada. Ah, salam kepada gadismu itu, dia baik dan juga cantik.

Dia beruntung memilikimu.

Kini, aku kembali bersama mu dalam satu mobil. Mobil yang sama seperti dulu kau menjemputku ketika masuk rumah sakit, ataupun sekedar ingin berjalan-jalan malam hari. Mobil yang sama tempat kita berebut lagu. Kita berebut sesederhana memilih rusa militan atau senar senja. Namun sudah setengah jalan satu jam, kemacetan lalu lintas, panas diluar sana, tak ada satupun topik yang membuat kita berbicara.

Lagu zambrud tiba-tiba bersua.

Tiga puluh menit kita disini,
Tanpa suara.

Lalu, klik! Kau mematikannya. Mungkin kau sama sepertiku. Itu bukan lagu yang cocok untuk musik antara kita dengan keheningan.

Kau berdehem. Memperhatikan layar handphone dan menswipe kearah kiri. Gadismu sepertinya menelpon.

Angkat saja.

Kau menggeleng. Padahal itu kata yang pertama diantara keheningan. Tapi kau justru tak menjawabnya. Akan bagaimana aku sesudah ini?

Angkat saja, siapa tau penting. Aku akan berpura-pura tidak mendengarnya.

Aku mencoba bergurau, menambahkan kepalsuan tawa diakhir kata. Tapi kau hanya menggeleng. Tidak menambahkan kata ataupun sesuatu sekadar berbasa-basi. Akhirnya aku juga memilih untuk menyerah. Membiarkan kau diam atau menggeleng sampai lebaran monyet. Membiarkan kau menswipe kiri layar ponsel. Aku akan berusaha tidak peduli. Terlebih dengan hampa yang bukan main ini.

"Senar senja atau rusa militan?" aku menatapmu terkejut, kau akhirnya berbicara. "Rusa militan saja ya? Senandung senja. Kesukaanmu."

Tidak. Ini belum senja dan aku tidak ingin bersenandung. Dialog hujan saja. Kesukaanmu.

Kau tertawa, "Kita selalu ribut masalah ini ya?" tawamu menggema. Tawa renyah yang telah lama tak pernah kudengar. Tawa yang membawa sebuah cekung kecil dipipi, lesungmu yang dalan itu. Aku takut jatuh Cinta padamu seperti aku dulu jatuh Cinta setiap lesungmu nampak.

Amigdala saja yang baru. Kukira kau rumah. Ada?

Kau mengangguk -versi lain dari menggeleng. Mengotak-atik pemutar musik dan sejenak alunan Amigdala memenuhi mobilmu. Panas terik macet diluar sana nampak seperti retro, mellow drama.

Kau datang tak kala sinar senjaku mulai redup.
Dan pergi ketika purnamaku penuh seutuhnya.
Kau yang singgah tapi tak sungguh~

"Apa kabar?" pertanyaanmu menggantung di udara, diantara pualam dan lembayung senja. Entah siapa yang kau ajukan pertanyaan, namun matamu terpaku pada jalanan macet diluar sana.

Macet.

Kau menoleh heran, "Macet?"

Iya, macet. Kau bertanya pada jalanan kan? Aku atas nama jalanan ini mewakili menjawab pertanyaanmu.

Kau tertawa, "Aku selalu kalah dihadapanmu. Masih seluar biasa itu ya?" aku hanya mengangguk. Biar kamu merasakan sebuah jawaban singkat versi lain dari 'Y' dichat pasangan ketika marah.

"Ini karena macet aku tidak bisa memberikan seluruh penglihatanku padamu, jadi jawablah pertanyaan ini. Ini benar untukmu." kau melirikku sesekali memastikan aku mendengar. "Kemarin kenapa tidak datang di undangan bersih desa Baderan? Itu yang mengirim undangan Abang Genta. Katanya rindu pada adiknya. Kamu sudah lama tidak ke Argopuro katanya."

Kepada, [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang