Selamat tahun baru sayang.
Aku sebenarnya punya agenda mengunjungi papandayan di akhir tahun ini. Tapi, insiden rapor kemarin sedikit mempengaruhi jadwal liburanku. Mungkin benar, orang tuaku tidak marah, tapi setidaknya aku harus tau diri.
Aku memilih solo hiking ke gunung Butak. Maksudku, walaupun tidak sejauh yang aku impikan, tapi aku mendapatkan ketenangan di akhir tahun ini. Namun sayang, bapak penjaga tiket gunung panderman dan butak melarangku untuk pergi sendiri kesana. Beliau khawatir, apalagi, aku mendaki hanya untuk pelarian, alasannya. Aku sebenarnya ingin juga membantah, tapi itu benar adanya.Beliau juga bilang bahwa sudah hafal gerak gerik mereka-mereka yang pergi ke gunung sendiri bermodal keinginan untuk tenang lalu lupa pengendalian diri, fokus, dan hal tidak diinginkan terjadi. Lagi, bulan desember adalah bulan dimana hujan lebat akan terus terjadi. Petir pun dikhawatirkan menyambar sana-sini. Benar adanya.
"Saya takut kamu tidak fokus dan tersesat, jangan remehkan gunung sependek apapun. Gunung tetap gunung. Sesuatu yang tidak pernah bisa kita taklukkan selain kita ajak untuk bersahabat."
Aku memilih untuk mengamini ucapannya, dari pada aku, apalagi kau, dia tentu hafal medan dan paham sikon cuaca gunung. Aku atau para pendaki kawakan tidak mengenal betul pastinya.
"Tunggu sini saja neng, mungkin habis ini ada team yang mau naik juga, nanti eneng bilang aja, atau bapak yang bilangin."
Tak sampai setengah jam aku menunggu, ada seseorang laki-laki berbadan kekar datang mendaftarkan pendakian. Dia juga solo hiking. Aku menghampirinya.
Mas, mau ke butak atau panderman? Boleh bareng nggak? Kebetulan saya solo hiking disini. Tadi mau naik nggak dibolehin sama bapaknya.
Pendaki itu mengernyit. Mukanya familiar. "Lho, Ta!" benar dia Zidhane, adik kelas kita waktu smp, dan kau dulu cemburu buta kepadanya. Kau bilang dia lebih dekat dari padamu, tapi kau salah, aku tidak sejahat itu terhadapmu. Zidhane adalah satu-satunya orang yang memanggilku "Ta" tanpa tambahan, akhiran, ataupun sisipan panggilan untuk kakak kelas. Hanya Ta.
Zidhane! Aku memeluknya saking rindu. Benar-benar. Terakhir kali aku bertemu dengannya ketika kita cap tiga jari disekolah, saat dia menjadi tukang bersih kantin untuk sekedar memenuhi kebutuhan jajan. Kau tau sendirikan mamanya adalah orang ternama di Malang, apalagi bapaknya. Dan dia, tidak mau ambil pusing dengan itu semua, lebih memilih menjadi pegawai salah satu toko dikantin. Tukang bersih-bersih.
"Mau naik juga? Aku mau ke panderman sih, soalnya sendirian. Tapi, kalau ada kamu, Ta, jadi berani ke Butak."
Aku tersenyum. Dia sama seperti dulu, menggebu-ngebu. Kau tau, bagiku Zidhane adalah sesosok adik spesial. Adik yang lahir dari salah satu organisasi yang menjelma menjadi sahabat dan tempat bergantung disegala suasana.
Pukul setengah sepuluh, kami memulai perjalanan. Butak selalu seperti ini, segar, Indah dan menawan.
"Kok solo hiking, ada apa Ta?" dia pandai membaca pikiranku, "Gak usah ditutupi, kamu itu ketara kalau lagi ada masalah, larinya selalu ke gunung, pantai, atau ngajak aku ke coban. Tapi kalau pantai sama gunung itu kamu selalu ngajak mas..." dia menjeda, melipat bibirnya, dia seperti mengerti bahwa sedang salah ucap.
Nggak papa kok, dhan. Santai. Aku melempar senyum kepadanya.
"Sejak kapan?"
Entahlah, mungkin satu tahun yang lalu atau lebih, aku tidak mau ambil pusing kapan tepatnya, tapi yang jelas, berpisah dengannya adalah hari yang paling buruk dihidupku untuk saat ini.
Zidhane mengeluarkan sebungkus permen dan membukanya untukku. "Selalu ada hari seperti itu, Ta." dia tersenyum, menggapai telapakku dan diselipkan disaku jaketnya. "Kamu selalu gini kalau sedih tapi masih pingin jalan." dia masih mengingatku dan kebiasaannya.
"Ta, kamu masih sedih karena dia?"
Kalau aku bilang aku nggak sedih, pasti kamu tau aku berbohong. Tapi aku tidak sedih, aku lebih ke kekecewa. Kekecewaan yang luar biasa. Sampai disaat aku mempunyai masa sulit, kenangan bersamanya adalah obat, namun setelahnya, aku kembali menangis. Marah tepatnya. Mengapa dia pergi. Tapi, semua sudah digariskan. Dia ada untuk mengajarkan aku apa-apa yang tidak pernah aku tau. Dan selama ini, kenangan bersamanya adalah tempat yang paling ampuh untuk sembuh dari luka manapun. Tapi kenangan bersamanya pula, membuat aku vakum dari kehidupan pendakian, pengajaran di kolong jembatan, atau yang lain. Mengenangnya terlalu menakutkan. Tapi baru-baru ini aku mengenal teman baru, dia mengajakku untuk lebih terbuka pada dunia, lebih ikhlas pada keadaan, hingga aku membawa semua beban untuk solo hiking kesini. Lalu bertemu denganmu. Kombinasi terapi yang pas.
"Dia menyudahi Ta? Dengan alasan apa?" dari nadanya, Zidhane nampak marah. Diputarnya badanku agar menatap kedua matanya yang menyalak.
Sudahlah, Zidhane. Aku dan dia adalah dua orang yang pernah bersama. Apapun alasan kami berpisah, bukan hal yang penting. Setidaknya, bagaimana cara ku untuk melupakannya, berani mengambil resiko baru yang pernah kami ambil dan aku tinggalkan.
"Dengan alasan apa!" Zidhane membentakku, mencengkram kuat kuat bahuku.
Aku belum sampai pemahaman, mengapa dia menyudahinya, dia menyuruhku untuk menunggu hingga pemahaman itu terjadi. Bahkan kau, jangan marah seperti ini. Dia dan alasannya adalah cara Tuhan membentuk jati diriku.
"Ta, kau disakiti olehnya selama ini." Zidhane meluluh. Matanya menatapku dalam, "Bagaimana aku meninggalkanmu?"
Tidak, kau hanya tidak tau, bahkan semua orang juga tidak mengetahuinya.
Kami melanjutkan perjalanan. Zidhane beberapa kali mencoba bertingkah lucu dan bernyanyi kesana kemari. Dia tau, moodku sedang tidak baik setelah membicarakanmu. Zidhane sepengertian itu.
Ada satu nama di bio Instagramnya. Gadis model majalah sekolahnya. Cantik. Petualangannya.
"Kamu main instagram sekarang Ta? Sudah tidak jadi orang hutan yang cuma kenal alam?" Zidhane memplesetkan kesembarang arah. Dia tau tujuan ku kesini untuk meringankan apa-apa yang menganjal diakhir hari di bulan desember ini.
Pukul delapan malam kami sampai disabana, esok pagi kami akan summit. Zidhane mengemas barangnya dan segera membuatkan tenda. Aku berkutik dengan masakan dan kopi sachet untuk makan malam. Rencananya aku akan membuat seblak untuk menyambut tahun baru.
Setelah selesai pekerjaan kami, dengan sepiring makan malam, segelas kopi dipangkuan, Zidhane kembali bercerita, menghiburku tentang kehidupan. Menyanyikan lagu-lagu membahagiakan. Mengajak bertamu ke beberapa tenda. Dan, entah, malam itu, aku sedikit bisa menghilangkan apa-apa tentangku bahkan kamu dimasa ini.
"Alam adalah tempat moveon terbaik ya, Ta."

KAMU SEDANG MEMBACA
Kepada, [TAMAT]
Fiksi RemajaDi hadapan Ranu Kumbolo gadis itu kembali menatap kabut yang mulai turun. Dibelakangnya dua sosok manusia sedang berpelukan melawan suhu dingin yang menerpa. Salah satu diantara mereka bertiga menunggunya mulai menulis. "Ta, sudahlah." Aku akan men...