Sumpah Pemuda

228 22 6
                                    

Prakata aku ingin mengucapkan, selamat hari sumpah pemuda. Kemana kau merayakannya hari ini, Sayang? Kalau aku, Aku kini persis berada didepan sekolah, entah mengapa sedikit berat aku masuk. Tidak, bukan karena hari ini ada upacara peringatan sumpah pemuda. Aku hanya sedikit rindu, setiap 28 Oktober selalu ada hal-hal kepemudaan yang kau ajak aku ikut andil dalamnya. Namun kali ini, dengan berat 28 Oktoberku tanpamu.

Ingat tidak, 28 oktober kita yang pertama -aku lupa empat atau lima tahun yang lalu. Tanggal 27 oktober selepas maghrib kau tak kunjung pulang. Memainkan tanganmu, dan tampak dari gelagat ada yang ingin kau sampaikan. Waktu itu kita bukanlah kita, masih aku dan kamu. Apakah kau ingat? Sayang, hari itu aku tertawa melihat gelagatmu yang tak karuan. Membiarkan kopi dingin karena angin bukan karena tiupan. Aku ingat kau memandangku diam-diam.

"Besok tanggal 28 Oktober." Tak seperti biasa, kau berkata sambil menggelar kopimu di lepek. Kopimu sudah dingin, apa lagi yang ingin kau dinginkan?

Benar.

"Ranu Pane besok ada bersih desa."

Kamu mau mengajakku kesana?

Aku ingat ekspresi rusuhmu ketika kujawab demikian. Kau terperanjat, seolah olah aku adalah seseorang yang tak mungkin bisa membaca pikiran orang lain. "E-eh, iya, kalau kamu tidak sibuk."

Sesibuk apa seseorang, hingga membersihkan desa yang selalu dia puja saja tidak sempat.

"Sesibuk orang-orang kota. Terjebak rutinitas, memakai topeng dengan upacara-upacara bendera yang digelar didepan kantornya, padahal ketika menyanyikan lagu Indonesia raya, dia bermain hp. Ck. Kalau ditegur pula, dia berkata bahwa ada kepentingan kantor yang harus diurus. Beh, kepentingan macam apa yang mengalahkan penghormatan kepada bendera merah putih? Aku yakin, demi Indonesia, pahlawan mengabaikan segala jenis urusan individu -urusan biologisnya sekalipun."

"Sesibuk mereka -yang mengatakan dirinya sispala atau mapala atau organisasi pecinta alam diluar naungan sekolah yang memilih kemana dia akan mendaki di tanggal 28 Oktober. Untuk apa to repot repot menggelar bendera di ketinggian, berfoto, lalu turun tanpa sampah."

Lho kok tanpa sampah? tanyaku sambil sedikit membenarkan letak duduk.

"Sampahnya ketinggalan di pos-pos, di puncak, di mata air, dimana dia hinggap. Lalat. Untuk apa dia repot-repot naik gunung menancapkan bendera, padahal, buang sampah ditempatnya saja tidak bisa. Kemunduran mental. Sok sekali membawa bendera dengan embel embel pencinta alam, padahal dia hanya mencari nama."

Apa itu alasan kita gugur gunung di Ranu pane bukan mendaki ke mahameru -yang diinginkan pendaki untuk menggelar upacara bendera.

"Aku tidak ingin berada bersama mereka yang munafik, mengejar puncak dengan niat upacara memperingati sumpah pemuda, namun niat itu hanya dibibir. Dia lihat sampah di Ranu kumbolo yang sebegitu tinggi, pasti akan memfoto, diunggah ke sosmed, mencaci maki tanpa ada perbuatan perubahan."

Kamu ingin menyindir mereka, mengatakan bahwa dengan mendaki gunung dan berpura-pura mencintai alam adalah kebodohan?

"Sedikit, apabila gara-gara itu tujuan ku tak lagi murni. maka kamu salah. Aku semurni itu ingin memperlihatkan Ranu Pane bebas sampah kepada dunia, dan sedikit memberi tamparan pada para pecinta alam yang mencari nama tanpa sedikitpun memperhatikan alam. Dari mana bisa aku melihat pemakna an sumpah pemuda? Jika dia jawab dengan menapakkan bendera di gunung tertinggi dunia adalah semangat sumpah pemuda, maka akan aku tertawakan. Menapakkan bendera di lahan yang dulu penuh sampah dan kini bersih jauh lebih berwibawa. Lagi pula, selama-lamanya pendakian Argopuro untuk sekedar menancapkan bendera dipuncak, masih terlalu sebentar dari pada perjuangan pemuda kita."

Baik, besok jemput aku selepas subuh.

"Aku terkejut, kamu tidak takut membolos upacara bendera disekolahan."

Upacara itu hanya sebagian besar formalitas. Coba saja kamu menoleh ke barisan, apa ada -selain pasukan pengibar bendera yang dengan tunduk menghormat kepada bendera. Aku dalam upacara sering kali mencoba bertahan, ikut andil merasakan upacara yang dulu di gelar pukul 10 sembari diumumkan proklamasi, tapi gagal. Banyak cobaan. Ketidak khusyu'an. Teman teman mengobrol. Tidak ada dariku yang berusaha sepenuh hati mengikuti upacara. Lalu untuk apa aku mengabdi dalam kepura-puraan. Lebih baik aku terjun, membersihkan Ranu Pane, menjadi orang dibalik layar atas bersihnya desa ber ranu cantik itu. Aku ingin mengabdi dengan apa-apaku untuk negara, dengan cara berbeda. Namun tetap, demi negara.

Walau bukan pertama kali, tapi hari itu dia memegang lembut tanganku. "Terimakasih, terimakasih kamu mau berjalan bersamaku membangun negeri ini."

Ah, lamunanku tentangmu dibuyarkan oleh pak satpam yang buru-buru menyuruhku ke lapangan. Upacara bendera katanya. Iya, lagipula untuk apa aku bengong dan tidak memperingati dengan cara apa-apa.

Benar saja, upacara bendera masih seperti biasanya. Riuh. Tak ada kelas yang tak terkena cubitan guru tata tertib sekolah. Mereka -aku pula masih murid yang sama, tidak bersungguh sungguh saat upacara.

Sayang, sedang apa kau di tanggal 28 ini?

Apa lagi-lagi kau membersihkan desa yang terakhir di lewati pendaki di jalur pendakian mana-mana? Atau kau mengenangku di Ranu Pane seperti aku mengenangmu di upacara bendera?

Hari itu, 28 oktober kita yang pertama. Selepas subuh kau membawa motor trail mu menjemputku yang sudah siap dengan berbagai peralatan yang sedari malam kau menyuruhku membawa. Hari itu, hari pertama kita berpejalan jauh bukan untuk menghilangkan penat, tapi untuk mengabdi pada negara. Sepanjang jalan yang masih dingin berkabut, matahari masih malu, semeru dengan aktivitasnya, kau memberiku pengertian baru tentang cara menghormati bendera.

"Buat Indonesia, maafin aku ya, pemuda mu yang cuma bisa nyulik anak gadis buat diajak bersih-bersih Ranu pane. Maaf belum bisa memenuhi permintaan pak Karno yang minta 10 pemuda untuk mengoncang dunia. Aku nyicil bawa dia dulu ya, 8 sisanya anak kita nanti!"

Aku tertawa atas teriakannya didaerah Ngadas. Ngadas pagi itu yang berkabut seperti tertawa lewat desir dingin anginnya. Lagi pula, Anak kita? Anak kita yang mana?

"Jangan salah paham, anak kita tak selalu anak yang lahir dari rahim. Anak kita adalah anak-anak didikku di Omah sinau, dan adik-adik kesayanganmu di bawah jembatam Fly over." Sayang, hari itu aku berfikir. Kau adalah pandangan baru yang dikirim Tuhan untuk membantuku berkembang.

Tapi, seperti kata sekar di Jalan Pulang, laki-lakinya terlalu istimewa untuk dimilikinya, laki-lakinya adalah milik semesta. Sebegitu pula kamu, terlalu istimewa untuk kumiliki sendiri.

"Tapi kalau anak-anak kita menurutmu adalah Benar-benar anak anak kita, aku juga tak keberatan." Ucapmu hari itu sambil menatapku lucu di spion kiri.

Terimakasih membawaku kepada Indonesia.

"Terimakasih telah membuat keyakinanku semakin mantap kepada penulis favorite ku, Tuhan dalam mood yang sama dalam menciptakan Ranu kumbolo, segara anakan, dan kamu."

Aku sudah tersipu waktu itu, tapi jahatnya kamu mempermainkanku, "Maksudku, kamu adalah Ranu Pane tanpa sampah dari pendaki."

Waktu berlalu sebegitu cepat. Aku dan kamu, kita, sampai didepan Resort. Briefing pagi sebelum bersih desa. Yang membuatku terheran, kau terlibat aktif dalam Briefing hari itu. Sahabat Mahameru, begitu mereka memperkenalkanmu. Kau berbicara banyak tentang sumpah pemuda, sampah, dan pendaki yang hanya mencari pengakuan. Aku tertawa saat kau menyindir mereka dengan bahasamu yang santun namun menohok. Lalu terimakasih hari itu kamu memperkenalkanku pada mereka-mereka yang penuh senyum menyambutku.

"Perkenalkan, gadis berkerudung hitam itu adalah bagian dari kecantikan Ranu Pane tanpa sampah dimata saya. Jika Ranu Pane ternoda oleh sampah, lalu bagaimana saya sanggup memandang wajahnya? Malu. Dan demi malu, mari kita bersihkan sampah Ranu Pane, memborbardir siapa saja yang tega menyakitinya dan menyelamatkan alam." Hari itu, ucapanmu pada seluruh warga dan volunteer tapi matamu, matamu itu, untukku.

Terimakasih hari itu, asal kau tau, aku masih berkerabat baik dengan orang-orang yang kau perkenalkan denganku waktu itu.

Lagi sayang, 28 oktober ini sedang apa kau bersama siapa?


Kepada, [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang