Aku sebenarnya juga kaget, tiba-tiba lelaki yang menemaniku di senja tebing breksi datang kerumah, dia mengajakku ke panderman pagi-pagi sekali. Datang-datang dia membawa carrier 80L. Aku benar-benar terkejut, apalagi sepagi itu aku sudah berseragam pramuka. "Ini kali pertama aku pergi ke gunung, aku harus ditemani ahlinya." ujarnya sambil tertawa. Disesapnya kopi yang kubuatkan sembari menepuk-nepuk carriernya, "aku susah payah menata semua ini, ini sudah cukup untuk dua hari kita."Aku tergugu. Panderman mampu kita daki satu hari. 2000 mdpl, tidak terlalu tinggi untuk 80l carrier. Kau bawa apa saja?
"Antisipasi," jawabnya lugu, "Ada dua sleeping bed, dua tenda ukuran dua orang, alat-alat memasak, dua jaket polar, dan dua dua yang lainnya." sambil tertawa dia menatapku.
Seharipun cukup untuk mendaki panderman. Tapi apa kamu benar-benar mau menginap semalam disana? Ini bukan musim liburan, kamu yakin? Baik, aku anggap kamu yakin. Tapi dua tenda kapasitas dua orang, untuk apa? Aku dan kamu agar terpisah, baik, menghindari zina. Efektif, tapi bagaimana bila kita hipotermia disana, bukankah dengan satu tenda yang berisi barang pemisah kita berdua, kau dan aku tidur di sleeping bed dan di sudut yang berbeda akan cukup untuk sedikit mengurangi hipotermia. Iya, gunung kecil sekalipun, risiko hipotermia pasti ada. Entah kecil atau besar, tapi aku dan kamu harus tetap memperhatikan resiko. Lagi, membawa seperti itu akan memberatkan carrier, padahal, kita harus mengurangi sebesar mungkin beban dipunggung. 80L terlalu besar.
"Begitu," dia seperti kecewa. "Aku kira ini sudah standar amannya."
Aku tinggal dia dengan segalas kopi yang tinggal setengah, mengambil daypack hijau yang aku beli beberapa bulan yang lalu, dan daypack merah hadiah ulang tahun terakhir darimu. Aku datang kepadanya, ini, kita bagi dua barang bawaan.
Setelah berapi-rapi dan pamit ke ibu, yang disambut hangat dan kata-kata agar aku selalu dijaga. Dia mengangguk. Aku tertawa, banyak sedikit dia pasti berfikir, bagaimana cara menjagaku, jika dia sendiri membutuhkan aku untuk menjaganya. Lagi pula, didunia luar, kita harus saling menjaga bukan?
Pukul 7 kita sudah sampai di pos regristasi. Pak Jono, tukang kebun disana menyapaku. Memberikan briefing singkat dan memberikan aku nomor telepon rumahnya, jaga jaga ketika ada apa-apa katanya.
Kami mulai mendaki sekitar pukul setengah 8, setelah kopi singkat dan beberapa gorengan. Sayang, tiba-tiba, ah tidak tiba-tiba, setiap kali aku bersama lelaki ini, aku selalu teringat tentang kita. Tentang kamu, aku, dan kita.
Oh iya, perkenalkan, namanya Randy. Temanku masa sekolah, oh benar, aku pun masih sekolah. Dia bukan teman kelasku, hanya teman menikmati sunset di tebing Breksi. Aku mengenalnya disana. Dia berpandangan luas, mau menjelajah, bukan penjelajah. Apa lagi ya hal yang bisa kukenalkan padamu tentangnya? Oh, dia anak ke tiga dari tiga bersaudara. Kakak laki-lakinya kuliah dijurusan impianmu, teknik lingkungan. Entah Randy yang sudah benar berolahraga setiap harinya, atau aku yang memang seperti ini dari dulu. Laju jalan kami sedikit terhambat, aku terlalu cepat kelelahan. Peluhku membanjiri jilbab, basah.
"Kamu sih, gaya-gaya tidak mau ke gunung lagi, diajak nanjak dikit saja sudah capek seperti ini." ini adalah pos watu gede, sebelum Puncak.
Pukul 12, kami sampai dipuncak, sedari tadi kami belum menemukan rombongan. Yah, ini memang benar-benar bukan musim liburan, ini hanyalah musim keluar dari kenyamanan. Setelah mendirikan sholat didepan tugu, aku menyiapkan makanan untuk makan siang. Dan Randy, sama sepertiku dulu, saat disini, pendakian pertamaku denganmu, memasnag tenda. Sama sepertiku pula, dia nampak kesusahan. Tapi bodohnya aku, menatapnya membuat aku ingat, pendakian pertama kita dulu.
"Kamu aja ya yang yang masang tenda, aku mau siapin makan malam." ujarmu kala itu sambil menyembunyikan senyum. Kamu menatap wajahku yang sedikit malu, gugup, dan tidak tau harus memulai dari mana. Tapi aku yang saat itu ingin terlihat wah dimatamu, berusaha mendirikan tenda. Susah payah. Dan aku ingat, ketika aku setengah menggerang saat memasang pasak, punggungmu berguncang. Kamu tertawa.
Tenda siap, ujarku.
Kamu datang mendekati tenda merapikan beberapa sisi, dan memindah tancapan kapak bagian belakang. Kurang rapat jelasmu. Lalu, kamu menatap tanganku, "Sakit ya tangannya?" aku hanya menggeleng, "Jangan sok bisa kaya tadi ya sayang, aku ada untuk menjadi pelengkap, melindungi kamu, dan tidak membiarkan kamu mengerjakan hal-hal sulit. Aku tadi hanya ingin mendengar, panggilan mu untuk meminta bantuan padaku. Aku sungguh ingin. Tapi aku sedikit lupa, kamu wanita yang berbeda. Yang berdiri diatas kakinya sendiri, yang menggapai dengan tangannya sendiri, yang berbicara atas pikirannya sendiri, yang mendengar karena kemauannya sendiri, dan yang ada untukku karena hatinya sendiri. Tapi jangan biarkan kamu seperti itu lagi, kamu mempunyai aku, lelakimu."
Saat bayangan itu pergi, setetes air mataku jatuh. Randy menatapku, sepertinya dia sadar jika ada yang aku pikirkan, dan dia pasti paham jika 'ada' itu berarti kamu. Dia berjalan mendekat, menjajarkan posisi, lalu dia memelukku dalam. "Jangan biarkan kamu menangis untuk seseorang yang bahkan tidak pernah melakukannya untukmu." Bahuku ditepuk perlahan, "Jangan."
Bodohnya aku mengingatmu lagi, yang memelukku selepas mengatakan hal yang tadi. Kau katakan padaku, "Hari itu kamu terikat bersamaku, sekarang, kamu bersamaku, maka esok bahkan selamanya, kau bersamaku" Merah putih berkibar disudut Panderman, "Sayang, ada 3 yang kusyukuri dalam hidup, yang pertama islam, yang kedua Indonesia, dan yang ketiga." aku ingat suaramu semakin dalam, membenamkan wajah diantara leher dengan bahuku, "Kamu dan apa-apanya."
Tangisanku mengencang. Terisak satu dua kali. Dia masih menepuk bahuku. Bagaimana bisa dia meninggalkanku? Padahal jelas diatas sini, didepan merah putih, di Basundara, dia bilang aku adalah hal yang dia syukuri. Apa yang dia mau? Memberikan aku kesempatan hidup, lalu membunuhku sedetik kemudian.
"Jangan," Randy memelukku lebih hangat, "Jangan menangis diantara alam raya yang sedang bahagia menyambut datangnya kita."
Hari itu, malam itu, dan pagi itu. Randy tak jauh-jauh dari tanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepada, [TAMAT]
Teen FictionDi hadapan Ranu Kumbolo gadis itu kembali menatap kabut yang mulai turun. Dibelakangnya dua sosok manusia sedang berpelukan melawan suhu dingin yang menerpa. Salah satu diantara mereka bertiga menunggunya mulai menulis. "Ta, sudahlah." Aku akan men...