Khawatir atas nama : Rindu

508 33 1
                                    

Tadi aku tidak sengaja melihatmu melintas ditengah kota,  depan sekolahku tepatnya. Aku tertawa agak terbahak, melihatmu seperti biasa,  memakai jaket tidak dikancingkan, helm tak berstandar, dasi yang kau gigit diantara gigimu. Kau masih seperti biasa. Kau sudah lupa, bagaimana aku mengomelimu setiap harinya karena kebiasaanmu itu. Kau tidak takut paru-paru basah?

Oh,  aku ingat saat aku mengomelimu tentang kesehatan paru-paru, kau bilang "Baju basah diapakan?"

Sayang, aku tidak bercanda.

"Menurutmu aku bercanda atas kesehatan? Aku tanya sungguhan."

Dijemur! Jawabku keras-keras.

Kau tertawa, "Jangan marah-marah sayang, aku tiap pagi olahraga, dibawah Mentari ufuk Timur, mengeringkan paru-paruku yang basah."

Apa susahnya menjaga? Lalu aku ingat kita akan berdebat tentang menghina Tuhan. Sudah, aku bukannya ingin menghina Tuhan dengan takut sakit, namun kau akan menghina Tuhan dengan terlalu menyepelekan kesehatan yang sudah diberikan karena hanya dengan berpangku tangan kepadaNya.

"Benar juga."

Kau seperti tersadar bahwa ada makna yang lebih dalam tentang "menghina" Tuhan.

"Kekhawatiran?"

Mirip itu tapi sepertinya lebih.

"Tapi menurutku kurang."

Sayang, hidup tentang presepsi. Mana yang angka enam mana yang angka sembilan tergantung dari sudut mana kita berpandangan. 

Kau tertawa saat itu, kau elus lembut jilbab putihku. Aku ingat hari itu depan sekolahku. 

Sekarang pukul 6.11, butuh waktu lebih dari 15 menit untuk mencapai sekolahmu. Lalu mengapa kau sempat-sempatnya lewat depan sekolahku? Boleh aku menafsirkan?

Ah tidak. Kau benci tafsiran, kau benci hakikat kesempurnaan seseorang. Kau bilang, setiap orang mempunyai tafsirannya, dan tidak ada tafsiran sempurna lebih dari itu. Kau paling benci ketika aku mempercayai tafsiran. Kau bilang buatlah tafsiranmu, tapi jangan menyuruh orang mempercayainya. Sudah sayang, aku tak menyuruhmu mempercayai tafsiranku.

Aku menafsirkan kau rindu, kau rindu mengantarku kedepan sekolah ini. Kau benar rindu bukan?

Sayang, tidak. Aku hanya menafsirkan, dan tidak ada kata kata aku membuatmu berusaha mempercayainya. Jika kau menyatakan kalimat akhirku yang berupa tanda tanya adalah upaya aku membuatmu percaya tafsiranku. Maka tidak sayang, aku hanya bertanya, yang tak perlu kau jawab. Aku tau kau tidak, aku tau kau mengantarkan adik laki-lakimu yang sudah masuk sekolah, sekolah adikmu kesekolahmu memang benar melewati sekolahku. Aku salah tafsir. Namun tafsiranku adalah kemerdekaan atas diri sendiri bukan? Maka aku merdeka. Kau suka wanita yang memerdekakan diri sendiri bukan? Berati kau suka aku. Itu tafsiran, merdekaku. 

Sayang,  benar tidak benar. Aku melihatmu didepan sekolahku. Melintasi hari dan berkencang kencang menuju sekolah. Aku tau kau belum sarapan, aku tau ada bukumu ketinggalan. Aku tau hari ini tidak ada yang membelikanmu roti.

Sayang, semoga harimu beruntung. Semoga harimu beruntung seperti hari-harimu yang penuh tafsiran dan tidak menghina Tuhan bersamaku.

Kepada, [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang