Hari ini aku dan Dirga menghabiskan waktu di gubuk yang kami temukan ditengah sawah. Suasana sawah yang damai, bunyi tawa petani dari kejauhan, matahari yang malu-malu di balik awan, dan juga senyum Dirga yang terus mengembang.
"Apa kabar?"
Seperti yang kamu lihat. Baik.
"Semalam?"
Oh, menangis. Kau tau aku sekali kan. Aku sangat mencintainya. Terlalu buta. Mana pagi mana malam, aku tak tau. Ketika bersamanya, hari adalah senja. Indah. Dia mengajakku kembali pula semalam. Tapi aku menolaknya. Mungkin sebenarnya aku ingin kembali bersamanya, namun entahlah, aku lebih memilih berdamai dengan masalalu dan menata masa depan. Aku yakin semua adalah takdir. Kembali ke masa lalu membuatku melawan takdir. Itu tidak benar, kan?
"Tapi kau menangisi keputusanmu."
Tidak ada yang salah dari itu kan, Dirga? Mungkin sekarang aku menyesalinya, namun semakin jauh aku melangkah, aku akan mensyukurinya. Aku hidup dengan kepercayaan semacam itu.
"Lalu, Randy?"
Randy? Baik saja. Semalam dia mencemaskanku. Entah karena apa. Semalam pula ketika sampai rumah aku meneleponnya. Dari nadanya dia nampak cemburu. Tapi itu tidak berdasar. Aku dan dia tidak mempunyai hubungan seganas itu untuk saling bercemburu. Aku masih bebas dengan duniaku, diapun jua.
"Tapi kamu membalas pelukannya. Itu harapan."
Aku salah kalau masalah itu.
Dirga berdehem, "Seperti saat kau pulang dari gunung dan mencari rumah. Rumah hanya kau jadikan pelarian untuk kembali mengawali langkah ke gunung mana lagi. Itu jelas tidak baik."
Lantas.
"Pergi atau tetap dengan kepastian. Kau mungkin sekarang bingung dengan perasaanmu sendiri. Perasaan takut setelah di khianati pasti ada. Perasaan muak bersama laki-laki bermulut manis pasti juga ada. Apalagi ku dengar Randy pecemburu yang handal. Sedang lelaki mu yang dulu itu, kau bebas pergi bersamaku. Dia hanya sesekali marah dan itu sangat wajar. Apa aku benar?" aku mengangguk. "Jadi bagaimana hatimu? Melepaskan mantan kekasihmu dan menyambut yang baru atau bertahan dengan kesendirian."
Aku memilikimu sekarang. Zidhane pula. Dia lelaki ku sekarang, bukan seseorang yang kuanggap adik. Selama ini perkataanku jelas menyiksanya. Aku juga punya dia, mantan kekasihku dan kini menjelma sebagai sahabat. Aku punya kalian. Aku juga punya Randy sebagai teman. Entah mengapa aku menyukai ini daripada terikat pada suatu hubungan.
"Kau takut di sakiti."
Itu kesimpulanmu. Tapi bagiku tidak. Aku hanya mencari cara agar aku berbahagia. Dan bahagiaku sesederhana berteman dengan orang orang yang membahagiakan. Aku tak perlu repot-repot mencari pasangan, toh dia tidak menjamin aku berbahagia.
"Katakan pada Randy keputusanmu." aku kembali mengangguk menjawab Dirga. Hatiku sesak tapi entah karena apa. Aku tiba-tiba merindukanmu. Sangat rindu. "Apa disaat sendirimu, kau masih merindukan kekasihmu itu?"
Tidak.
"Bohong."
Aku belum selesai bicara, Dirga. Tidak maksudku adalah tidak salah lagi.
Dirga tertawa dan mengacak Puncak kepalaku, "Kau tidak perlu berbohong lagi kepadaku. Kini aku berada disampingmu. Kita akan menghadapi dunia seperti dulu. Berjuang berdua mengalahkan takdir dan menggapai cita. Setuju?" Dirga membuka telapak tanggannya agar tanganku mendarat disana.
Kenapa berdua?
"Karena selama kau tidak mau bersama salah satu dari ketiga orang itu, entah Randy, Zidhane, dan Mantan kekasihmu itu kau harus menjaga hubungan diantara kalian. Jangan biarkan mereka terpaut pada angan dan harapan yang mereka buat. Ketika kau berlaku baik kepadanya, mereka anggap itu Cinta. Padahal kau selalu begitu kepada semua orang." Tangan Dirga digoyangkan. Aku tak lantas menepuknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kepada, [TAMAT]
Novela JuvenilDi hadapan Ranu Kumbolo gadis itu kembali menatap kabut yang mulai turun. Dibelakangnya dua sosok manusia sedang berpelukan melawan suhu dingin yang menerpa. Salah satu diantara mereka bertiga menunggunya mulai menulis. "Ta, sudahlah." Aku akan men...