Nilai

133 22 0
                                    

Aku mendapatkan musibah. Bukan juga sebenarnya, hanya masalah kecil. Semester ini aku terlalu banyak memikirkanmu, ah tidak, semester lalu juga begitu. Aku juga banyak bermain, banyak mendaki gunung tinggi, tidak masuk berhari-hari hanya untuk sekedar menenangkan diri. Atau, aku juga mengunjungi beberapa tempat sampai larut malam, hingga aku lupa kata belajar.

Sejujurnya, aku masuk kelas unggulan disekolah. Iya, unggulan, kelas anak-anak pintar, pararel sekolah.

Dan, sedihnya adalah, aku rangking terakhir di kelas. Mungkin kamu menganggap itu masih merupakan prestasi, karena aku adalah anak dari kelas unggulan yang mendapat rangking paling bawah.

Tapi nyatanya, aku malu.

Bagaimana bisa, orang-orang yang melihat pr ku atau menyalin hasil jawaban ulanganku, memiliki nilai lebih baik dari pada aku. Bagaimana jika...

Ah, kau harus tau sendiri, bila aku sekarang dalam posisi kelas 12, kelas akhir penentuan prestasi untuk masadepan, dibangku perkuliahan,  tiga tahun usahaku diperhitungkan. Jalur undangan. Aku begitu menginginkannya.

Tapi mari biarkan aku berhitung, jika ada 3 siswa dengan nilai tertinggi dikelasku, maka, akan kupukul sama rata di kelas lain, maka ada 18 siswa yang jelas masuk di jalur undangan. Jalur emas. Lalu, untuk nilai dibawahnya, kita ambil 10 siswa perkelas, ada 90 siswa untuk 9 kelas. Lalu, dibawahnya lagi,  ada 10 siswa untuk 9 kelas, maka total 190 siswa. Dimana hanya 150 orang yang berhak mendapatkan undangan suci itu.

Aku bukan salah satu didalamnya bukan.

Baik, aku mempunyai sertifikat, juara pertama di bidang karya ilmiah, juara tiga di bidang seni peran, finalis lomba karya ilmiah se Indonesia. Dan? Hanya itu. Apa kah semua itu cukup untuk menunjang ku?

Ah, jika kamu membaca ini pasti kamu geleng-geleng. Sebenarnya, apa yang ingin aku sampaikan?

Tidak-tidak. Aku hanya takut,  banyak menyesalnya. Terlalu jauh aku berkeliling Indonesia, terlalu tinggi gunung yang kudaki, hingga aku lupa pada zona nyaman yang membuatku aman.

"Sekarang kau kenapa lagi?" lagi lagi,  laki-laki ditebing breksi itu, menghampiriku. Aku ketauan melamun lagi rupanya.

Kau tau peringkatku? Aku mendapat peringkat terendah dikelas. Paling rendah. Lalu, bagaimana bisa aku mengatasinya? Hanya untuk sekedar menoleh sambil tertawa melihat mereka kini aku malu.

"Apa yang ingin kau sampaikan? Jika kau masuk dikelasku, aku yakin kamu juara satunya, kamu bukan juara dua, tiga bahkan lebih dari lima besar. Disekolah ini, kamu juara satunya. Peduli apa dengan kelasmu?"

Tapi dengan mereka aku bercengkrama tiap hari, dengan mereka aku berbagi hasil belajarku, bahkan dengan mereka pula aku sanggup mengerjakan pr hingga malam lalu pagi buta mereka menyalinnya. Aku  hanya malu pada diriku sendiri, bagaimana bisa,  mereka yang melihat hasil jawabanku, yang melihat apa-apa yang aku pelajari,  mereka lebih unggul sekian derajat dibandingkan aku? Aku malu.

"Untuk apa? Seharusnya mereka yang malu, dengannya, ilmu mereka tidak pernah sampai, mereka hanya menyalin kanan-kiri, dan tidak memberi tahumu bahwa kamu salah, bahwa kamu kalah, bahwa kamu tidak tepat, mereka hanya bermodal berbuat curang, kamu yang berfikir, kamu yang juara satu dengan kepalamu."

Tapi apakah ada yang peduli dengan proses? Toh semua melihat hasil. Ketika semua orang berkata bahwa aku yang paling rendah, maka yasudah. Aku paling rendah. Tidak ada yang tau seberapa malamnya aku belajar, hanya untuk sekedar mengerjakan ulangan yang esok harinya, dicontek pula.

"Mungkin sekarang kamu marah, sedih, malu kepada siapa-siapa itu, tapi ketahuilah, bahwa, nanti, diakhir dari semua ini kamu dan isi kepalamu yang terbukti. Bukan mata mereka mereka yang melongok mencari jawaban."

Tapi Ran, kau tau sendiri bukan? Sering kali aku tidak masuk sekolah hanya untuk pergi mendaki bersama teman-temanku yang tidak berada satu sekolah dengan kita, disekolah yang tingkatnya lebih jauh dari pada kita. Kau tau, kita sekolah di wilayah favorite, semua mengidamkan ingin menjadi siswa disini, lalu, aku dengan enaknya, keluar dari zona aman, belajar, les, bimbel,dan daur kehidupan siswa sekolah favorite lainnya, memilih ikut dalam kehidupan yang aku inginkan. Bebas dihutan, meminum air sungai, makan selada air di cikasur, naik satu langkah turun dua langkah di semeru,tidur berhari-hari ditenda, dan segala yang jauh dari kata aman untuk berada di universitas ternama. Nah sekarang apa?  Aku kalah. Kata-kata yang selalu aku ingat adalah kata dinovelku, Kalau ada yang nyari, bilang; aku ada ditengah di antara titik aman dan hal-hal tak terduga.  Aku dipetualangan. Aku begitu ingin dicari ketika sedang dalam perjalan panjang, aku tidak ingin dicari dalam kebiasaan pembelajaran, les, bimbel,  ulangan, dan apa-apanya.

"Jika aku boleh saran, kau tidak imbang. Bolehlah, kau ingin menjelajah mana-mana yang ingin kau jelajahi. Tapi, jangan lupa pula. Ada yang harus kau pertimbangkan, masa depanmu."

Randy duduk dihadapku, berjongkok sambil sedikit membenarkan letak kepalaku yang terus menunduk,  "Beradalah dalam petualangan, beradalah dalam hal -hal tak berbatas, tapi jangan lupa, pulang." Dia tersenyum sambil meletakkan jauh-jauh rapor yang kugenggam. "Setiap perjalanan mengajarkan arti pulang. Dan, kau, belum pernah sepulang itu setelah sebuah perjalanan." Tangannya menghampiri bahuku,  "Nilaimu jauh lebih Bagus daripadaku,  sudahlah, jangan merasa rendah ketika disekitarmu banyak yang lebih rendah, jangan terlalu tinggi, kamu masih belum sebanding daripada langit."

Aku menangkap maknanya. "Jangan menangis, kamu kaya akan petualangan disaat kawanmu kaya akan sebuah ilmu pengetahuan kaku yang bisa kau pelajari lebih luwes dihutan bahkan laut yang kau selami."

Aku tidak bisa berbuat banyak, hanya mengangguk sambil sedikit menyeka air mata disudut.

"Ayo, jangan terlalu larut, akan kuantar kamu pulang."

Kepada, [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang