Masih diparalayang, entah pukul berapa malam.
Kau sadar tidak, semakin malam seolah ada yang mendesak, seolah pula Purnama menuntut kita untuk saling berbicara. Hingga Dirga sukses memulainya. "Selama aku pergi, kalian jarang atau bahkan tidak pernah bertemu kan?" Atmosfer yang semula dingin kini berganti mencekam.
"Ya mungkin kalian berdua bertemu ketika masih ada hubungan. Tapi bagaimana dengan Zidhane. Kau bahkan jarang sekali mengunjungiku." ada sisi Dirga yang kusuka disini. Dirga sebagai sahabat. Penengah. Perumus. Pemersatu. "Ada apa kalian? Ada yang perlu kita bicarakan pasti." Kita masih diam hingga Dirga kembali berbicara, "atau ada yang ingin kita ceritakan? Berceritalah."
"Ada apa?" Dirga masih lembut. "Kau sadar tidak kita ini saling berpura-pura sedang tidak terjadi apa-apa. Padahal dibalik itu? Banyak."
Zidhane berdehem. "Sorry bang, gue emang nggak njenguk lo."
"Nggak masalah itu. Yang gue tanya ada apa, bukan masalah lo datang ke sel atau enggak. Gue tanya tentang kita. Ada apa? Semua terkesan terlalu berpura - pura."
Kamu terlalu perasa, Dirga. Kita baik-baik saja.
Dirga mengacak Puncak kepalaku. "Waktu kamu mengunjungiku, kamu juga seperti itu. Berpura -pura bahagia. Lupa?" Dirga melepaskan jaketnya dan menyampirkannya dibahuku.
"Jujur, gue emang menghindar." Zidhane berbicara, nadanya terdengar berat, sudut matanya basah. Kau meletakkan gitarmu, berjalan mendekati Zidhane dan menepuk punggungnya. "Sorry bang, gue waktu itu benar gatau abang kena rehab. Soalnya juga, waktu dekat-dekat itu gue jarang sama kalian."
"Gue gatau gue dimana. Yang jelas, entah kenapa nggak ketemu kalian itu masalah yang pas." Zidhane meneguk ludahnya, menghembuskan nafas berat, mulai berbicara lagi "Gue baru tau abang rehab itu waktu itu ketemu sama kamu Ta. Kamu hanya aku kemana aja kok susah dihubungi. Terus kamu ngajak aku njenguk, ingat?"
Aku hanya mengangguk.
"Maaf Ta, aku dulu bilang ada acara keluar dan bakal njenguk Abang Dirga sendiri. Aku jenguk Ta, hari itu juga. Tapi, aku bohong. Aku nggak ada acara keluarga."
Dirga entah mengapa meraih bahuku, memijatnya pelan, sepertinya dia mengetahui sesuatu tentang ini. Tapi entah aku tidak tau, kau pun juga. Aku yakin. "Aku suka sama kamu, Ta."
Kau harus tau betapa terkejutnya aku saat itu. Aku tidak tau harus berkata seperti apa. Mencari penghiburan sebagaimana. Bertingkah macam apa. Aku hanya diam, mematung menatap Zidhane yang seperti sulit berkata-kata. Dirga yang sedari tadi memijat bahuku kini mulai menepuknya. Aku tau dia mengerti semua ini. Dia hanya ingin kita saling terbuka satu sama lain. Tapi, baiklah.
"Tapi, kamu nganggap aku cuma sebagai adik. Adik kelas. Adik kelas kesayangan. Adik kelas teman main. Adik kelas teman bolos. Adik kelas."
Aku melihat matamu terpaku menatap Zidhane. Mungkin kau sama kagetnya dengan semua ini. Atau kau diam diam merasakan perasaan bersalah. Aku kini tiba-tiba ingin mati merasakannya.
"Aku sebenarnya biasa saja Ta pada awalnya. Aku kenal kamu sama abang kan juga waktu sudah jadian. Ya mungkin, kamu terlalu memperhatikan aku Ta. Tiap kali kita ada bareng, kuku ku selalu kamu potong ketika sudah panjang. Atau, aku ngantuk terus aku tidur dipangkuanmu, kamu bersihin telingaku, komedo, jerawat, uban, apa aja deh. Sebenarnya kamu tidak salah memberi aku perhatian semacam itu, cuma aku saja yang menuntut lebih. Aku yang berharap lebih."
"Semakin hari semakin bertambah rasa itu, Ta. Apa lagi waktu Abang marah dan cemburu kepadaku. Aku benar-benar merasa perhatian yang kau beri pada abang lebih sedikit dari pada yang kudapatkan. Aku berbangga. Aku percaya bisa mendapatkan kamu suatu saat, Ta."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepada, [TAMAT]
Teen FictionDi hadapan Ranu Kumbolo gadis itu kembali menatap kabut yang mulai turun. Dibelakangnya dua sosok manusia sedang berpelukan melawan suhu dingin yang menerpa. Salah satu diantara mereka bertiga menunggunya mulai menulis. "Ta, sudahlah." Aku akan men...