Pantai mbehi 2 tahun yang lalu.Setelah perjalan jauh naik turun bukit selama satu jam dengan medan lumpur, hutan lebat yang matahari enggan masuk, suara nyanyian lutung dan hewan khas hutan, dan menyebrang laut menggunakan seutas tali tambang.
Hari itu, aku, kau, dan Dirga berhasil menetapkan kaki dipantai perawan yang akses masuknya harus melewati hutan konservasi yang menyimpan berbagai medan berbahaya di dalamnya.
Aku ingat sekali, sepanjang perjalanan, guide, kau, dan dirga bergantian bertanya bagaimana keadaanku. Jelas aku memang kelelahan, apalagi medan lumpur membuat pola berjalan sedikit terhambat, ancaman duri duri tak kasat mata pun nyatanya berhasil menyisakan goresan panjang dikaki.
Sesampai di pantai Mbehi, kita duduk diatas Batang kelapa yang roboh dan menjorok ketepian. Dirga tiba-tiba berdiri, mengeluarkan ponselnya, melantunkan melody manis
"Aku benci sekali caramu berkenalan dengannya waktu itu." ujar Dirga sambil membenarkan posisi duduknya. "Tapi aku bahagia pula sekarang, sahabatku telah jatuh ketangan yang tepat." Mata Dirga menerawang jauh, "Kau, bisakah berjanji bahwa ada atau tiada aku, kau akan mencintainya seperti ini? Memanggilnya dengan kalimat manis yang membuatnya tersipu? Mengajaknya pergi jauh untuk menikmati kecantikan alam, lalu kau berikan kata-kata tentang bagaimana kau heran Tuhan menciptakan kekasihmu dan mana-mana yang kau kunjungi dalam mood yang sama? Mencintainya terus, menyayanginya sepanjang waktu, dan melindunginya? Ada atau tiada aku?"
Dirga, apa yang kau katakan. Dia tidak akan menyayangiku jika tiada kamu.
"Apa benar seperti itu?" Dirga menatapku, dari tatapannya dia hendak berkata bahwa dia tidak sedang bercanda.
Tidak Dirga, aku bercanda.
"Lalu, kenapa kau tidak menjawabku?"
Kau dan Dirga saling bertukar tatap. Namun pandanganmu lain, begitu banyak kesedihan dan kehilangan yang mendarat jelas dimatamu, "Aku berjanji pada diriku sendiri untuk menjaganya, melindunginya, dan mencintainya. Kepadamu aku minta, jangan kau khawatirkan apa-apa tentang sahabat mu ini, aku ada."
Ada apa, Dirga?
"Kau berjanjilah satu hal kepadaku," Dirga mentapku dalam-dalam "Berbahagialah. jangan kau ambil pusing terhadap aku, biarkan aku dalam hidupku, kau berbahagialah. Bersamalah dengan kekasihmu selalu, jangan bersedih." Dirga menatapku dalam "Jika ada yang menyakitimu katakan saja kau ingin dia mati dengan cara apa."
Aku waktu itu masih belum tau maksud kata-katanya, "Boleh aku pinjam pacarmu? Aku ingin memeluknya, tenang saja, tetap pada pelukmu dia berpulang" Kau menyembunyikan raut menahan tangis, mengangguk haru lalu membiarkan Dirga mendekapku lama.
Dalam dekapannya, dia berbisik hal yang tak kubayangkan sebelumnya.hal yang tidak mungkin, yang kini menjadi suatu kenyataan yang menyakitkan. Hal yang tak pernah berani kubayangkan.
Kini aku berada di tempat rehabilitasai Dirga, aku masih bimbang untuk masuk, aku juga masih bingung, ingin meminta Dirga untuk membunuhmu dengan cara apa.
Diruang jenguk, Dirga nampak lebih segar dari pada sebelumnya. Tampak terlihat dari badannya yang sedikit berisi dan cara berjalannya ketika melangkah mendekati meja. Senyumnya mengembang jelas diantara pipinya yang berisi. Kau sebahagia itukah, Dirga?
"Aku merindukanmu!" dia berhambur memelukku, pelukannya masih sehangat dulu ditepi pantai mbehi, pelukan ini sudah sangat kurindukan setahun ini, "Apa kabarmu? Apakah kau baik saja?"
Dirga melepaskan pelukannya, mendudukkan aku berhadapan dengannya. Kupandang wajah sahabatku yang berseri ini. Aku bersyukur dia sehat dan baik saja, sepintas tak ada bekas goresan di nadinya lagi. Dirga, itukah kamu? Seberseri itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepada, [TAMAT]
Teen FictionDi hadapan Ranu Kumbolo gadis itu kembali menatap kabut yang mulai turun. Dibelakangnya dua sosok manusia sedang berpelukan melawan suhu dingin yang menerpa. Salah satu diantara mereka bertiga menunggunya mulai menulis. "Ta, sudahlah." Aku akan men...