Aku pulang pukul 5 petang hari ini, sehabis dari merayakan acara ulang tahun temanku. Begini itu rasanya miris, dulu kamu yang menemaniku ketika datang ke acara pagelaran seperti ini, sekarang aku datang seorang diri. Berkawan dengan langit mendung Malang di siang hari.
Sudah kusinggung bahwa siang tadi sudah gelap, mendung. Kamu adalah garis depan penyorak kata, "mendung tak harus hujan." aku sangat ingat bagaimana kau marah ketika aku memintamu membawa mantel ketika hari mendung. Kau menolak ide dasar dari kata 'jaga-jaga' andalanku. Kau bilang, "Sujiwo tejo pernah berkata, bahwasanya dengan kita takut tidak bisa makan esok hari saja itu sudah menghina Tuhan."
Tapi sayang, aku tidak takut aku tidak bisa makan besok. Persediaan beras ibuku masih banyak, cukup untuk berjalan 1 bulan. Tadi pagi aku membantunya membeli beras dipengepul.
Aku ingat kau menggeleng cepat, "Maksudku, dengan takut akan kehujanan berati kita menghina Tuhan. Bahwa hujan adalah rezeki, bahwa hujan kita takuti, ide buruk macam apa itu."
Sayang, aku hanya berjaga-jaga, aku tidak sedang berdebat tentang ideologi, undang-undang dasar, dan peraturan pengganti undang undang atas hidupmu. Aku tidak sedang menghina Tuhan, aku hanya berjaga-jaga.
"Kau menghinanya, buktinya saja, kau seolah olah tau bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Kau menyamakan pengetahuan alam mu dengan pengetahuan Tuhan secara tak langsung."
Sayang, ini bukan sesuatu yang harus didebatkan.
"Lalu apa? Sesuatu yang harus aku terima ketika Tuhanku kau hina."
Baiklah, tidak membawa jas hujan sudah kita.
"kau terpaksa, ideologi macam apa yang kau punya. keterpaksaan adalah bentuk dari penjajahan atas diri sendiri."
Sayang...
"Baiklah kita bawa mantel saja, aku bukannya takut hujan, aku hanya ingin membawanya karena keharusan pengendara."
Keharusan untuk apa? Bersiap-siap?
"Bukan!"
Lantas? Sayang, kau juga tidak perlu menggunakan helm, kau juga menghina Tuhan dengan takut akan celaka saat berkendara, padahal Tuhan akan menjaga umatnya lewat doa yang kau panjatkan satu menit setelah berangkat.
Aku ingat kau diam, menaiki motor dan diam. Kadang kau harus mengerti maksud dari perkataan sebelum kau menjaga dan mendalaminya, sayang.
Sore ini hujan, aku menepi mengenakan jas hujan berwarna orange, kado ulang tahun darimu. Jadi ingat pertanyaan Fiersa besari, tentang mengapa aku membenci hujan? Apakah sejak aku sibuk dengan duniawi, atau sejak kenangan mencabikku disela rintiknya?
Aku tidak pernah membenci hujan, namun benar, jika dikata setiap rintiknya beriak-riak kenangan. Jika dikata kenangan selalu mencabikku. Benar adanya. Lalu aku rindu. Dibawah bayangan gedung, dibawah mantel oren, dibawah helm bekas kita kecelakaan dulu aku tergugu. Rindu yang betapa rindu. Magis dan haru.
Aku selalu ingat kita, kamu aku dan hujan. Yang selalu bersama-sama mengukir sajak kenangan.
Dibawah mantel ini aku bertanya, sebenarnya kau kesungguhan atau keadaan yang aku buat?
Jika kau kesungguhan, mengapa sekarang kau hanyalah Maya, ilusi, fatamorgana yang bahkan dengan sajak pun aku telah kalut dan tak bisa menggambarkannya. Semua bagaikan masa lalu, yang kau anggap seolah olah tak pernah ada. Dan aku? Menganggapnya adalah dongeng pengantar tidur nyenyak.
Jika kau adalah keadaan yang aku buat, mengapa kau ada? Mengapa kau yang tergambar? Mengapa kau yang tercetak jelas berbait-bait? Lalu mengapa kau? Mengapa kau adalah keadaan nyaman yang aku buat-buat?

KAMU SEDANG MEMBACA
Kepada, [TAMAT]
Teen FictionDi hadapan Ranu Kumbolo gadis itu kembali menatap kabut yang mulai turun. Dibelakangnya dua sosok manusia sedang berpelukan melawan suhu dingin yang menerpa. Salah satu diantara mereka bertiga menunggunya mulai menulis. "Ta, sudahlah." Aku akan men...