Jogja hari itu,

208 25 5
                                    

Di Jogja hari itu, kawan seperjalananku begitu senang saat datang dipenjara yang bertudung Hotel bintang sekian. Aku? Aku bukannya tidak suka. Namun sedikit banyak aku rindu, entah Jogja, Banyuwangi, Sumbawa, Banjarmasin, Palangkaraya, Medan, Lampung, Pacitan atau mana-mana yang pernah kita jelajahi. kau selalu mengajakku ke rumah singgah Backpacker. Disana bukan penjara macam perhotelan mahal yang membelengu dalam selimut perkotaan, rumah singgah akan membuatku kaya. Kaya akan kawan, keluarga, sahabat, dan pengalaman. Dan, diantara tembok hotel Jogja, miskinku semakin miskin.

Aku masuk dengan satu kartu sebagai kunci pembuka kamar. Kamarku dilantai 5, aku pikir, akan indah melihat pemandangan Jogja dari sini, aku tak perlu sesedih itu. Kamar mandi terletak di lorong sebelum masuk ke kamar tidur. Shower, kaca setinggi pintu toilet Post-post pendakian, wastafel, toilet duduk. Tak ada gayung disini sayang, aku yakin kau tak akan tahan dengan semua ini dan memilih keluar dari rombongan sialan. Namun, jika aku memiliki keberanian sekaya kau, akan kulakukan jauh dari tebing breksi. Aku lebih memilih tinggal dipemukiman warga, entah dengan kamar mandi tanpa wastafel atau shower bahkan toilet duduk, mana aku peduli. Aku butuh kekayaan sayang, sepertimu, kaya pengalaman.

Sedikit berbenah, mandi di shower air hangat, berkaca dengan kaca sedikit berembun, mencuci muka di wastafel dan membuang hajat di toilet duduk aku sedikit tersadar sesuatu. Ketika aku membuka pintu kamar mandi -yang bergeser ke kiri, disitu terpampang bayangku yang nyata. Sayang, kau tau apa yang membelengu orang-orang kota hingga berbaur dengan masyarakat dia tidak sudi? Kenyamanan.

Kamar dingin Ac, selimut hangat, berkasur empuk, bantal bantal wangi, lampu tidur nyenyak, tv sekian inch. Apa-apa yang kurasakan ini, kenikmatan, membuat orang-orang kota terlalu sibuk dan mengabaikan lingkungannya, mengabaikan masyarakat, begitu pula Indonesianya.

Jogja Malam itu bercahaya.

Dari balik pintu kamar seseorang mengetuk pintuku. Ketukannya sengaja dibuat berirama. Aku tak tau dia siapa, tapi seingatku, sudah aku berikan tulisan Privacy time digagang pintu. Siapa yang berani mengangguku? Dari kaca cembung yang hanya bisa melihat satu sisi, ternyata dia, seseorang yang menemaniku berendam dengan senja di tebing breksi. Dia terus menerus menatap cerobong kecil di pintuku, sejurus itu, tanpa dia tau, aku juga memandangnya.

Ada apa? Ujarku sepelan-pelannya sambil membuka pintu.

"Sedang apa kamu dimalam bersama Jogja?"

Aku sedikit memperlebar pintu kamarku, menunjukkan dia segelintir pasar Bubrah malam hari yang kuterjemahkan menjadi kamarku yang berkasur empuk. Aku mau tidur, ucapku.

"Bagaimana dengan Malioboro? Tugu Jogja, Titik nol, alun-alun, sentra gudeg, atau bakpia, keraton, benteng, dan kopi joss? Tidak kah kamu mau mengunjunginya dari pada terjebak atas khayalan, angan dan.." dia menahan perkataannya, membuka pintuku sedikit lebih lebar, "Dan idealisme serta batas yang kau buat?" Dia melangkahkan kaki sedikit masuk kekamarku, menyalakan lampu yang sekali tekan mampu menerangi ruangan. "Berdamai dengan kota, terbuka akan pandangan baru itu tidak salah. Tetap pada pandanganmu, tapi terbuka untuk pandangan baru, itu tidak dosa."  dia tertawa menatapku yang menunduk. "Lagi pula sayang..."

"Sayang bila malioboro yang syarat akan guyub masyarakat desa ikut terkurung dalam idealismu. Jangan terlalu kaku. Malioboro, Senayan, Tebing breksi, bukit Jeddih, Pantai sendiki, Pantai modangan, kamu, lelakimu, aku, kamu, kamu, masalalumu, kamu, masa depanmu, adalah dua hal yang berjalan seiring bukan yang bersatu. Yang seiring untuk melengkapi, bukan menyamai."

Aku tergugu sayang, selalu ada orang-orang baru berpandangan baru diantara Masyarakat desa katamu, namun kini, ada pandangan baru di hotel bintang sekian, dikeramaian metropolis Jogja, di antara idealisku yang ditumbangkan, diantara mataku yang terbelalak, dan diantara kau dan ketiadaan. "Berbenahlah, aku tunggu di loby bawah."

Kepada, [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang