Hari ini adalah hari terakhirku di Jogja.Petang ini aku sudah duduk manis dipinggir jendela. Siap-siap menikmati jalanan dari bara lampu yang tersisa. Hingga khidmatku terhenti hingga disini, seseorang menepuk bahuku dan menghentakkan badannya keras-keras ke kursi penumpang.
"Aku belum sampai pemahaman, darimana bisa kalian yang sudah seperti itu bisa berpisah? Apa kau ketahuan menduakkannya?"
Kepada siapa lagi yang harus aku duakan, jika dirinya lebih dari dua untukku? Dia hanya meninggalkanku, dia bilang, aku adalah kenyamanannya. Dia bilang, jikadia tidak meninggalkanku, maka dia akan menjadi ayam hutan yang dikandangi dan seekor elang yang kakinya dirantai.
"Alasan klasik"
Bagi sesama laki-laki kamu mungkin paham jika itu hanya alasan kecil untuk meninggalkanku. Aku tidak tau dia ada apa sebenarnya. Mungkin hingga aku dan seseorang dimasa depan telah menjalin rumah tangga, membina anak-anak kita, baru disaat itu aku paham. Apa alasannya menjadikan aku zona nyaman, padahal dia kujadikan petualangan.
"Lalu, bagaimana dia bisa berkata seperti itu?"
Sayang, aku ingat hari itu. Kau menjemputku di sekolah, mengajakku berputar-putar keliling sebentar, kau ajak aku ke restoran paling mahal, kau bilang kau sedang ada rezeki hasil magang. Lalu, kau antarkan aku pulang. Senja itu, disawah yang mengantarkanku pulang, sawah yang menjadi saksi perpisahan kita, kau berkata "Sayang, kita bukanlah akhir, tapi sebuah awal."
"Awal dari kenyamanan," begitu sambungmu sambil menatap bola kuning yang aku yakin mendengar suaramu.
"Awal dari kesenangan."
"Dan bagaimana bisa, kau adalah kenyamanan yang didambakan semua orang? Tanpamu, aku tak kan pernah pulang, tanpamu, aku bukanlah apa-apa, selain apa yang kau bentuk."
"Sayang, bagaimana bisa aku bertualang, jika rumahku adalah kamu yang penuh dengan daun jati rindang, mahoni-mahoni, sungai cikasur, danau taman hidup, ranu kumbolo, segara anakan, Yogya serta bandungku? Bagaimana bisa aku pergi jika kau adalah semua itu."
Hari itu, firasatku sedikit buruk, aku tidak ingin lebih jauh mendengarnya.
"Sayang, dengarkan aku." pintamu ketika aku mulai sadar dengan keadaan, airmata menetes, dan aku sedikit tertawa. Kegilaan apa lagi in? "Sayang, kamu tidak akan sampai ke pemahaman mengapa aku akan memintamu bahkan kita untuk saling menyudahi. Kamu tidak akan sampai ke pemahaman itu. Kamu tidak akan sampai sebelum kamu telah berumahtangga, menimang cucu dari anak-anakmu, merajut bersama suamimu di masa tua. Sebelum semua itu terjadi, kamu tidak akan sampai ke pemahaman, mengapa aku harus menyudahi kita.
Maksudmu? Aku terisak menatapmu tidak percaya.
"Sayang, jika hari ini adalah hari terakhir tentang kita, bisikan apa yang ingin kau berikan kepadaku dan Mentari yang akan tenggelam."
Dengan sedikit sesenggukan aku menjawab. Mentari, kenapa kau begitu cantik di hariku yang buruk ini? Dan mengapa kau biarkan aku menatapmu dengan laki-laki ini?
Dia menggeser duduknya, tersenyum menatapku, "Sampailah ke pemahaman itu, tapi ingat jangan menangis, semua sudah terjadi. Aku tidak pernah cukup baik untuk gadis seluarbiasa kamu."
Tiba-tiba, taxi datang menepi. Dia bergegas membukakan pintu. Kau sudah merencanakannya? Tanyaku.
Dia menggangguk haru. "Semakin aku antar kamu pulang, semakin aku akan menyesali keputusanku." dia memperlebar pintu, memasukkan helm ku dalam taxi, "Masuklah, jangan kabari aku lagi selepas kau pulang." lalu begitu saja dia pergi dengan motor favoritenya.
"Seserius itu?"
Aku belum mendapatkan pemahaman mengapa dia meninggalkan aku.
"Kenapa disela-sela dia bicara, kau tidak menyela dan menanyakan sesuatu padanya."
Kehalusannya. Dia begitu halus. Yakin. Dan tegar. Dia nampak tak goyang walaupun aku sudah mengalirkan air mata. Dia nampak yakin dengan keputusannya. Ada yang ingin dia kejar. Ada yang harus aku relakan. Dan ada yang dia coba untuk membuat aku mengerti. Dan lucunya, sampai detik ini, aku tak akan pernah mengerti.
Laki-laki disebelahku ini menghentakkan punggungnya, "itu wajar jika sampai sekarang, kamu masih merindukannya."
Memang, saking rindunya, aku tak datang ke undangan bersih desa di Baderan minggu depan
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepada, [TAMAT]
Teen FictionDi hadapan Ranu Kumbolo gadis itu kembali menatap kabut yang mulai turun. Dibelakangnya dua sosok manusia sedang berpelukan melawan suhu dingin yang menerpa. Salah satu diantara mereka bertiga menunggunya mulai menulis. "Ta, sudahlah." Aku akan men...