Ingat tidak waktu itu kau mengajakku ke madura? Bukit Jeddih. Satu dari seribu satu wisata yang tidak pernah kau ikhlaskan untuk terekspos kepada punggawa instagram. Kau bilang, mereka mereka yang datang membawa kamera adalah yang harus dimintai pertanggungjawaban atas rusuhnya Bukit Jeddih. Kau terlalu sinis, sayang. Tidak semua dari mereka yang seperti itu. Tapi kau menolak, kau bilang mereka mencari spot foto, membawa sampah.
Tapi sayang disisi lain, mereka bantu mengekspos wisata di Madura. Jangan terlalu sinis, tidak dari mereka seperti itu. Kamu yang tetap sinis, menganggap mereka yang bertujuan mencari spot foto hanya sekadar mencari kepuasan gambar, kebutuhan kamera. padahal dibaliknya, mereka tidak membawa tisu-tisu penghapus peluh dipanasnya Jeddih, botol minuman kemasan, kue-kue ringan, dan segala bentuk sampah sukar urai. Mereka adalah pejalan biasa yang tetap sungkan membuang sampah sembarang
Aku waktu itu masih keukeuh dengan pendirianku, bahwa tak semua dari mereka seperti itu, tapi kau pula masih keukeuh. Namun kau dan aku, kita, bertemu disatu titik, Bahwasanya, mereka pejalan selalu menjaga tujuan, namun mereka yang pencari kebutuhan kamera, kebanyakan tidak menjaga tujuannya. Presepsi.
Sayang, baru saja pemandu perjalananku berkata, lima menit lagi aku akan sampai di Tebing Breksi, menurut kacamata pariwisata, ia sebelas dua belas dengan Bukit Jeddih, bedanya, tebing breksi lebih bagus, terdapat ukiran naga, spot foto dipuncak, warung kuliner, dan segala fasilitas nya. Aku tiba-tiba sesinis kamu.
Jika ukiran naga, spot foto, warung kuliner dianggap lebih Bagus, bagaimana dengan kealamian, Jeddih belum terlalu di campuri pihak luar. Kealamiannya terpampang nyata, semua adalah apa adanya. Lalu bagaimana dia bisa berkata yang dipoles lebih Indah? Aku sedikit membuang muka.
Aku ingat kata-katamu di Bukit Jeddih, "Sayang, berdoa yuk," Ujarmu sambil menatap miris sampah-sampah yang tergeletak disudut, " Biarkan yang cantik tetaplah cantik. Biarlah seperti ini. Mengelola dengan fasilitas untuk berfoto dan menjadikan dia pariwisata polesan bukanlah hal yang menarik untuk diabadikan. Sesuatu yang seindah Jeddih adalah yang aku suka. Sayang, menurutku bukan fasilitas yang menunjang tereksposnya pariwisata, tapi kesegaran alam dan naturalnya yang seharusnya membuat dia terangkat dan berbeda."
Jika kau disini bersamaku -Diparkiran bis. Aku yakin kau akan menggerutu, marah terhadap tangan yang memahat dan bertuliskan 'Tebing Breksi'. Tapi tahan, jangan terlalu marah, diatas sana ada pula spot foto dengan embel embel "bayar seikhlasnya" olahan individu. Seperti plang bertuliskan tebing breksi, Pahatan bunga yang membentuk Cinta, bunga, mutiara, dan lain sebagainya. Aku terlalu sinis sehingga menganggap semuanya salah. Aku terlalu sinis hingga tak menyukainya. Sayang, bagaimana bisa mereka menghadirkan spot foto, kebutuhan kamera, jika tanpa mereka objek foto segala keindahan ini adalah spot yang Bagus?
Aku memilih menjauh dari keramaian, mendekati pohon tanpa daun yang berdiri sendirian. "Kau jangan terlalu sinis seperti itu," Sesosok kawan seperjalananku berjalan, "Ini adalah salah satu cara masyarakat memanfaatkan potensi penghasil mata pencaharian."
Aku hanya berdehem singkat dan sedikit bergeser menjaga jarak. "Kalau kamu marah, karena mereka merusak kealamian, marahlah pada dirimu sendiri yang tidak membantu mereka untuk memenuhi kebutuhan." Aku sedikit tertegun, tidak biasanya dia berkata sedalam itu. "Kalau kamu menuntut mereka yang tidak alami keluar dari sini, berati kita membunuh perekonomian rakyat kecil, kita membunuh harapan dari peluang-peluang nyata. Kamu hanya perlu sinis pada siapa-siapa yang membuang sampah sembarang tempat, bukan pada siapa yang turut andil dalam ketidak adilan kepada kemurnian alam." Dia tersenyum sepintas, memasangkan topinya sembarang di kepalaku.
Lalu bagaimana dengan palang itu? Dipalang itu tertulis 'jangan bersandar di pagar, bersandarlah dipundak pacar'.
Dia tertawa remeh, "Kau marah karena itu?"
Ya, aku marah, dan kau tertawa? Bagaimana bisa? Hanya orang yang bodoh yang bersandar di pagar setinggi anak umur 8 tahun.
"Sayangnya masih banyak yang bodoh didunia ini. Jika kamu marah atas itu, maka marahlah yang membuat plang 'Jangan buang sampah disini, buang mantan saja'. Hanya orang bodoh yang membuang sampah. Dan nyatanya masih banyak bukan yang bodoh?"
Aku sedikit mencair, dia memiliki pandangan yang berbeda dengan ideologimu, namun kalian memiliki persamaan, sama sama mengkritisi dengan presepsi yang kalian buat. Kau dan dia sama sama punya cara berbeda untuk meyakinkan pandangan.
Aku yang merasa kalah dan sedikit terbuka atas keadaan sedikit beranjak menjauhi dia yang sedikit menunduk. Tak berselang lama, dia kembali berada disampingku.
"Lihat, apa kamu mau marah dengan tukang eskrim keliling itu? Kamu mau bilang jika dia patut disalahkan atas banyaknya sampah yang terbuang sia sia disini? Salah. Buang pandanganmu, dia hanyalah orang yang pintar untuk membaca peluang usaha, memanfaatkan terik matahari dan mendinginkan dengan es keliling. Masalah sampah adalah manusia-manusia yang tak berguna, yang lebih rendah dari sampah."
"Aku bilang mereka lebih rendah dari sampah bukan karena mereka membuang sampah sembarangan, namun karena mereka bukan sesuatu yang dibuang lalu dapat didaur ulang, sedangkan Sampah, dia lebih berguna."
"Sinismemu Bagus, aku mengapresiasi, tapi keluarlah dari sudut pandangmu. Sebagai seorang teater, aku yakin kau bisa memainkan peran menjadi tukang es, tukang foto, tukang pembuat spot foto,dan lain sebagainya. Jadilah mereka, maka kau tau, tidak semua adalah individu seperti yang sinismu pikirkan."
Aku menatapnya dalam. Dia tersenyum lembut, "Aku membaca teks opinimu tentang Bromo." Aku terperanjat, itu merupakan tugas bahasa Indonesia beberapa minggu yang lalu. "Seperti halnya Bromo, kau kritisi dengan berkata bahwa tanpa tugu identitas Bromo sudah terkenal, benar. Tebing breksipun jua, tanpa adanya spot foto buatan, tebing Breksi juga sudah idaman. Tapi, kau tau mengapa bukit Jeddih tidak seramai Breksi dipagi hari?" aku terkejut, dia menyinggung bukit Jeddih. "Karena media sosial pemegang promosi tertinggi. Dengan adanya spot foto, para pengunjung berbondong datang kesini, menaikkan taraf ekonomi masyarakat. Itu pula strategi memperkenalkan wisata kepada Global. Bromo pula, identitas yang dibentuk berupa tugu membuat pendapatan daerah dan masyarakat naik. Mengapa demikian? Kini lebih banyak orang-orang berkamera dari pada berpejalanan. Sasarannya bukan lagi para pengelana yang mencari ketenangan, kini banyak para orang yang mengaku pejalan namun tak lebih seseorang yang memenuhi kebutuhan mereka. Tak lebih dari mereka, kita adalah mereka pula."
"Beda dengan penaikan taraf ekonomi, sampah adalah masalah lain. Dengan adanya pengunjung yang semakin banyak, sampah pun akan meningkat sama tingginya. Namun itu bukan sebab tukang foto yang naas, itu sebab, sekali lagi, banyak orang bodoh didunia ini. Sampai pagar setinggi itu saja, pihak pengelola repot-repot memberikan peringatan."
Dia menolehkan wajahnya kearah matahari yang mulai terbenam. "Kalau kamu bilang tempat ini tidak natural kamu salah, coba lihat keatas sana, memang ada yang bisa memanipulasi senja?"
Lalu aku seketika merinding, aku menemukan dirimu dengan ideologi yang lain, yang berbeda, yang lebih halus dan menentang. Sayang, jika dia bukan kau, mengapa dia membuatku terbungkam sekali tegak?
"Aku menyuruhmu melihat senja, bukan melihatku." Aku tertawa melihat sindirannya, rupanya dia sadar, aku sedang menatapnya sedikit berkelana pada masa lalu. "Berteaterlah, seperti kau selama ini berteater telah berbahagia, walaupun jauh dimatamu aku melihat kepura-puraan."
"Teaterku tidak berhasil."
"Aku tidak sebodoh orang-orang, yang melihat dipanggung ada seorang nenek tua, dan mereka menganggap hanya seorang nenek tua, padahal jauh itu, ada seseorang yang muda, luar biasa, dan berbeda yang menjadi seorang nenek tua bijaksana hanya untuk diterima." Lalu tangannya bergerak mengangkat tanganku dan merentangkannya kehadapan senja. Dia membuka satu persatu sela jemariku dan menyuruhku memandangnya, "Presepsi, entah kamu melihat matahari atau jemari. itu adalah presepsi. Jangan menghakimi orang yang menganggap kau orang gila yang mengangkat tangan, karena semua tentang presepsi."
Benar, presepsi. Dan kebenaranpun adalah presepsi.
Sayang, kau tidak marah bukan jika senja ini aku menikmati dengan orang yang berbeda? dengan presepsi berbeda? dengan presepsi yang jauh berlawanan denganmu? Jangan marah, Sayang. Dia hanya seseorang yang membantuku mengkritisi dunia dengan presepsi yang berbeda, presepsi rakyat bukan presepsi perjalanan.
Sayang, sore ini adalah sore yang Indah dari semua sore yang pernah aku lewati tanpamu ; presepsi
![](https://img.wattpad.com/cover/108485033-288-k393437.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepada, [TAMAT]
Teen FictionDi hadapan Ranu Kumbolo gadis itu kembali menatap kabut yang mulai turun. Dibelakangnya dua sosok manusia sedang berpelukan melawan suhu dingin yang menerpa. Salah satu diantara mereka bertiga menunggunya mulai menulis. "Ta, sudahlah." Aku akan men...