Aku yang salah waktu itu.
"Kamu terlalu banyak menyalahkan diri sendiri, Ta." Zidhane menepuk Puncak kepalaku keras. Aku mengeluh. "Kalau kamu sakit kaya gini, yang salah kamu kan? Jadi gak usah mengeluh." Kau dan Dirga tertawa serempak.
Jangan mengejekku begitu.
Kau tersenyum, "Waktu itu aku bertemu dengannya. Tapi dia menghindariku. Mata kami bertemu, namun dia menolak dan membuang muka. Kami bertemu tapi dia menolak." kau berbicara kepada semua orang, tapi hanya aku yang kau pandang. Zidhane berdehem lagi. Tangganya memijat tengkukmu. "Dia menolak bertemu denganku. Namun karena itu takdir, aku mengejarnya. Menarik tanggannya. Melancarkan beberapa tanya. Namun dia sepertinya aku merusak kebahagiaan nya. Raut wajahnya berubah sedih. Mantan macam apa aku?"
Hari ini kalian berdua berencana menyerangku ya.
"Tidak, aku hanya ingin bercerita kepada Dirga. Salah?" sarkasmu membuatku terpukul mundur. Aku menggeleng lemah. Baiklah, aku akan menghadapinya.
"Kamu punya alasan untuk menghindar bukan? Dan alasan itu apa perlu mantan brengsekmu ini tau?" aku menggeleng menjawab pertanyaan Dirga.
Itu tidak seburuk itu.
"Itu tidak seburuk itu." ulangmu. "Tapi seburuk mata marahmu hari itu."
Cukup. Itu masalah kita. Bukan tentang kita. Jangan egois untuk berbagi cerita kepada kita hanya untuk menyelesaikan apa yang terjadi diantara kau dan aku.
"Ah pegel, bang, temenin cari kopi." Zidhane berdiri, merentangkan tubuhnya. "Uh! Ngantuk banget gue bang. Cari Temanggung sachet ada gak ya?" Zidhane menarik kemeja Dirga hingga beberapa kancing atasnya terbuka.
"Lepas atau lo gue gampar." Dirga meronta.
"Lo gampar atau gue lari." Ditengah malam dan dinginnya Batu, zidhane berlarian entah menghilang kemana. Dirga lantas berbenah lalu sejurus itu ikut melesat mengejar Zidhane. Aku tau mereka hanya ingin menciptakan ruang untuk kita. Menciptakan apa-apa untuk pembenahan masa lalu. Aku yakin diantara semak atau dibalik parkiran motor mereka sedang diam diam melihat kita. Aku sungguh ingin tertawa jika suasananya tidak tentang aku dan kamu.
"Mereka sengaja." Ujarmu ringan. "Maaf, aku buatmu tak nyaman lagi ya?"
Kenapa kau meninggalkanku?
Kau buang tatapan kearah malam dan lampu kota yang berkelip. Nafasmu berderu aku yakin dadamu berdebar. Apa sebegitu sulit hanya sekedar jujur padaku?
"Karena aku tidak mempunyai alasan untuk tetap bersamamu."
Entah mengapa jawabanmu pahit. Aku menduga banyak hal selama satu tahun ini. Dan salah satu dugaan yang telah kuduga selama ini ternyata benar. Dan kebenaran itu menyakitkan. Air mataku jatuh lagi.
"Jangan menangis, Ta. Bahkan aku menghapusnya saja tak sanggup."
Kenapa? Kau bilang tak punya lagi alasan untuk terus bersamaku. Lalu kenapa kau tak sanggup? Bahkan apa kau tak sanggup sekedar disini menghapus airmataku sebagai sahabat? Sehina itu aku dimatamu.
Kau menggeleng cepat. Air mata mu jatuh. Air mata pertama dari mu yang kulihat selama bertahun kita mengenal. Urat wajahmu tergambar jelas. Aku seperti menahannya. Maafkan aku yang lancang mendaratkan tangan dipunggung mu dan mengetuknya beberapa kali. Aku hanya ingin kau tenang.
Kau sudah tak memiliki alasan untuk bersamaku lantas mengapa kau menangis?
Kau menunduk dan melipat kakimu. Wajahmu kau tenggelamkan dalam. Aku mendengar sesenggukan kecil diantaranya. Kau ini, aku paling tidak bisa melihat orang menangis. Lantas mengapa kau menangis dihadapanku disaat aku ingin memelukmu hanya sebagai temanpun tak sanggup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepada, [TAMAT]
Teen FictionDi hadapan Ranu Kumbolo gadis itu kembali menatap kabut yang mulai turun. Dibelakangnya dua sosok manusia sedang berpelukan melawan suhu dingin yang menerpa. Salah satu diantara mereka bertiga menunggunya mulai menulis. "Ta, sudahlah." Aku akan men...