"Sebaiknya kita ngobrol di dalam mobil aku saja," Tawar Fathir.
"Kalau gitu tunggu sebentar, aku mau ambil tas yang ketinggalan di dalam."
Fathir mengangguk. Lalu aku berbalik ke dalam tempat hiburan untuk mengambil tas. Setelah itu aku kembali menemui Fathir di tempat parkiran, kali ini dia sedang berdiri membelakangiku. Jadi dengan sengaja kuperlambat langkah kakiku hanya untuk menatap punggungnya lebih lama. Namun ternyata hal itu tidak baik untuk kesehatan jantungku sendiri, sekarang aku sulit menormalkan kembali detakannya.
Aku hampir saja ketahuan menatap punggungnya secara diam-diam, saat Fathir berbalik ke arahku. Tanpa bertele-tele lagi, aku pun langsung menghampirinya. "Maaf kamu jadi menunggu lama. Tadi aku ke toilet dulu."
"Aku hampir mau pulang sih tadi."
"Maaf." Aku menunduk karena merasa tidak enak padanya.
Lalu tiba-tiba terdengar suara tawanya. "Tadi bercanda. Jangan dibawa serius."
Aku menatapnya yang tengah tersenyum. Mau tidak mau akhirnya aku pun ikut tersenyum. "Kirain beneran marah karena menunggu terlalu lama."
"Enggaklah. Aku itu orangnya paling susah untuk marah," Ujar Fathir seraya berjalan ke arah parkiran mobil miliknya.
"Serius?" Tanyaku yang ikut berjalan di sampingnya.
Dia mengangguk. "Marah-marah itu cuma buat orang cepat tua. Bisa dihitung jari berapa kali aku pernah marah. Itupun kalau kesalahannya memang sudah fatal ya. Aku lebih suka senyum. Selain senyum itu ibadah, senyum juga buat orang lebih awet muda."
Aku rasa bukan hanya membuat Fathir awet muda, tapi juga membuatnya terlihat tampan. Sayang, aku tidak berani mengucapkan kalimat itu padanya.
"Kamu nggak keberatan kalau kita bicara di dalam mobil kan?" Tanya Fathir padaku.
Aku tersenyum. "Iya, nggak masalah kok."
Fathir segera menyalakan mesin dan AC mobil, begitu kami ada di dalam. Meskipun aku tahu dia tidak akan melakukan hal yang aneh, tapi tetap saja aku merasa gugup karena hanya berdua dengan Fathir.
"Kala," Panggilnya. Ini kali pertama Fathir menyebutkan namaku. Ada kebahagiaan tersendiri untukku, saat dia tahu namaku.
"Ya Fathir?" Suaraku terdengar canggung saat menyebut namanya.
Dia agak terkejut. "Kamu tahu namaku?"
"Kamu juga tahu namaku."
Entah apa yang membuat lucu, tapi sekarang kami berdua tengah tertawa.
"Aku simpulkan kita saling tahu nama masing-masing saat kamu datang ke bank untuk membuat rekening baru. Benarkan?" Tebaknya.
"Yupp." Kuberi anggukkan sekali.
"Oke, sekarang kita bicara serius." Dia berdehem sembari menatapku. "Sebenarnya kamu butuh berapa uang lagi untuk tambahan biaya operasi Kasih?"
Aku mencoba mengingat-ingat kembali rinciannya. "Kisaran 50 juta."
"Menurut aku, kamu tidak perlu mendonorkan satu ginjalmu."
"Aku harus melakukannya. Kamu tahu kan aku butuh uang untuk biaya operasi Putriku?"
"Dengar Kala, donor ginjal itu bukan hal yang main-main. Jangan gegabah mengambil keputusan. Apa kamu tahu resikonya? Kamu tidak akan bisa beraktivitas seperti biasa lagi hanya dengan satu ginjal. Ingat, cuma kamu yang dia miliki di dunia ini. Kalau terjadi sesuatu padamu, siapa yang akan menjaga dan memberi nafkah padanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Eppure Sentire
ChickLitAntara cinta, keragaman, dan kemanusiaan. Bagaimana cara membuktikan manusia saling mencintai? Beri saja perbedaan di antara mereka.