Putar mulmed di atas sambil baca part ini
...
...
...
Aku tidak tahu sudah berapa menit aku menangis di luar. Suara Fathir yang memanggil namaku, membuatku menoleh ke belakang. Mataku terasa lelah karena menangis sedari tadi. Aku kembali masuk ke rumah dan menghampiri Fathir yang sudah keluar dari dalam kamar.
"Aku udah berusaha beri pengertian ke Kasih tentang pekerjaan kamu dulu. Jujur aku juga bingung harus menjelaskan hal seperti itu pada anak seusia Kasih. Dia masih terlalu kecil untuk memahaminya."
Aku diam dan hanya mendengar Fathir bicara.
"Tadi aku berhasil bujuk dia untuk makan beberapa sendok. Kurasa itu cukup, daripada tidak makan sama sekali. Meskipun dia tetap menolak minum obatnya."
Kuhapus air mataku yang masih jatuh menetes. "Iya nggak apa-apa. Terimakasih udah ada di sini bantu aku."
"Kamu juga harus makan."
"Iya nanti aja."
"Kamu mau makan apa? Biar aku beli di luar."
Aku bergeleng pelan. "Lagi nggak selera makan kalau udah begini."
"Aku tahu ini nggak mudah untuk kamu. Tapi bukan berarti masalah bisa selesai hanya dengan nggak mau makan. Yang ada kamu sakit dan akhirnya tumbang. Terus kalau udah gitu siapa yang mau rawat? Nggak mungkin Kasih kan? Karena Kasih sendiri masih butuh dirawat sama kamu. Meskipun nggak selera, kamu harus tetap paksa makan. Nggak apa-apa cuma dua atau tiga sendok yang masuk, yang penting lambung kamu nggak kosong."
"Aku... aku lagi butuh sendiri Fathir. Tolong tinggalin aku," Pintaku tanpa melihat wajahnya.
"Kamu nggak suka dengan keberadaanku di sini atau nggak suka dengan perhatianku?"
Dalam keadaan menangis, aku menutup wajah dengan kedua tangan. "Aku malu karena kamu harus melihat semua drama hidup aku dan Kasih. Bahkan aku nggak berani tunjukin muka aku di depan putriku sendiri. Jadi tolong sekali ini aja, aku mohon kamu pergi. Anggap kejadian barusan nggak pernah kamu lihat atau dengar."
"Mana bisa aku ninggalin kamu dalam keadaan seperti ini Kala!" Suaranya terdengar seperti frustasi.
"Kenapa nggak bisa?" Tanyaku menatapnya dengan uraian air mata. "Demi Tuhan, Fathir. Kamu itu cuma TEMAN aku, bukan SUAMI aku. Jadi tolong jangan sepeduli ini!"
Napasku tersenggal-senggal setelah mengucapkan kalimat itu dengan lantang. Dan seketika aku dilanda rasa penyesalan begitu melihat raut wajah Fathir yang tampak kecewa karena kata-kataku tadi. Aku memang manusia tidak tahu diri dan tidak tahu terimakasih. Fathir sudah banyak menolongku tapi aku justru melukai hatinya dengan perkataanku.
Suara tangisku kembali terdengar begitu Fathir pergi meninggalkanku. Aku yakin dia pasti tidak akan mau berteman denganku lagi. Aku tadi hanya ingin sendiri malam ini. Aku butuh menenangkan diri. Tapi kenapa dia tidak mengerti maksudku sama sekali.
Aku berjongkok dan bersandar pada dinding kamar yang ditempati Kasih. Aku tidak berani untuk masuk ke dalam. Aku takut dia semakin merasa bersalah karena melihat diriku. Tapi aku ingin sekali mengatakan padanya. Kalau aku tidak menyesal memiliki putri seperti dia. Aku tidak pernah terbebani akan kehadirannya. Justru karena dialah aku bisa sanggup bertahan sampai sekarang. Kasih adalah satu-satunya alasanku untuk tetap hidup di dunia ini. Jangankan menjual tubuhku, nyawaku sendiri pun akan aku berikan untuknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Eppure Sentire
ChickLitAntara cinta, keragaman, dan kemanusiaan. Bagaimana cara membuktikan manusia saling mencintai? Beri saja perbedaan di antara mereka.