ES [26]

9.4K 1.6K 285
                                    

Selesai makan siang, Gio kembali mengantarkanku pulang ke toko. Terlihat Dante yang baru datang dan kini dia menatap ke arah kami berdua. Aku mengabaikan pandangannya yang seperti ingin meledekku.

"Saya balik kerja dulu. Terimakasih sudah mau kenalan dan makan siang dengan saya," Ujar Gio yang sekarang sudah sudah tidak terlihat gugup lagi melihatku.

"Terimakasih juga atas traktirannya."

"Saya boleh minta nomor hp kamu?"

Aku mengangguk dan menyebutkan nomorku untuk dia simpan. Setelah mobil Gio pergi menjauh, barulah terdengar suara tawa Dante yang begitu menyebalkan di telingaku.

"Nggak bisa dapatkan Fathir, sekarang seleramu beralih ke pria cupu. Emang kamu bisa napsu lihat dia? Tampang belum dimodif gitu dipacarin, ibaratkan motor bawaan pabrik, spionnya masih dua. Hahaa... parah!"

"Kamu keterlaluan ya, nyamain muka Gio dengan motor. Kalau kamu benci sama aku, yaudah cukup hina aku aja. Tapi tolong jangan hina orang yang berada di dekatku juga."

"Aku kan berbicara fakta, pria yang tadi itu cupu." Dante mengucapkannya tanpa merasa bersalah sedikitpun.

"Meskipun dia cupu, setidaknya dia tahu cara bagaimana menghargai seorang wanita. Enggak seperti kamu," Kataku jujur.

"Ck! Jangan harap aku mau menghargai perempuan sepertimu."

"Kayaknya hidup kamu kurang lengkap ya, kalau sehari aja nggak menghina aku."

Dante bergeleng. "Enggak juga. Cuma kalau lagi ngelihat kamu itu bawaannya memang mau ngatain aja."

Aku memilih untuk menghiraukannya dan segera masuk ke dalam toko. Berdebat dengan Dante hanya akan menambah kerutan di keningku. Dan itu akan membuatku terlihat tua. Jadi lebih baik aku bekerja saja.

"Hey tunggu!" Teriaknya dari belakang tapi aku tidak berhenti dan terus berjalan.

Namun Dante segera menghalagi jalanku sehingga aku berhenti.

"Aku harus bekerja, tolong pinggir."

"Aku butuh bantuanmu," Ucapnya pelan.

Sebelah alisku terangkat saat menatapnya. "Bantuanku?"

"Terpaksa. Sebenarnya juga aku malas. Tapi ini untuk Mamaku."

"Kamu aslinya mau minta tolong. Tinggal bicara yang sopan kan bisa tanpa harus menghinaku dulu tadi."

"Masalahnya aku nggak bisa bicara sopan ke kamu. Itu udah harga mati. Susah untuk hilanginnya."

Aku menghela napas dan memperbanyak kesabaran di hatiku. "Mau minta tolong apa?"

Dante melirik sekitar toko untuk melihat situasi. Setelah dia rasa cukup aman, kembali dia menatapku. "Begini, dua hari lagi ulang tahun Mamaku yang ke 55. Keluargaku akan merayakan pesta besar di rumah. Tapi aku belum tahu mau kasih kado apa. Kamu kan dekat sama Mamaku, jadi tolong tanya-tanyain beliau ingin apa. Karena aku ingin kasih kejutan untuk beliau."

Aku akui kalau Dante ini sebenarnya baik. Dia juga sangat menyayangi semua anggota keluarganya. Dia benci melihat diriku sebab aku adalah mantan seorang pelacur. Orang tuanya bercerai karena Ayahnya terpikat dengan kaum sepertiku. Maka dari itu, Dante langsung memukul rata pandangannya mengenai pelacur.

"Tante Maria pernah cerita, kalau beliau ingin sekali lihat kamu cepat menikah."

"Yang lain nggak ada? Barang atau apa gitu. Aku belum ada rencana mau menikah."

Aku berpikir lagi, mencoba mengingat-ingat perkataan tante Maria.

"Ck! Malah melamun," Ujar Dante lagi.

Eppure SentireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang