ES [35]

25K 1.7K 363
                                    

Sudah tiga hari aku menghindar dari Fathir. Setiap kali dia datang ke toko, aku pasti menjauhinya dengan terus bersama dua pegawaiku. Karena dia pasti segan menghampiri atau mengajakku bicara jika sedang bekerja ditemani Rima dan Nila. Maka dari itu, aku tidak mau memisahkan diri atau berjauhan dari mereka berdua.
Lalu pada saat toko tutup, aku akan menyuruhnya pulang dengan alasan sudah lelah dan ingin istirahat. Anehnya Fathir tidak menyerah dan selalu datang ke sini setiap pulang bekerja.

Seperti sore ini, dia sudah duduk di kursi sambil memandangku yang sedang melayani para pembeli bunga. Meskipun aku tidak ingin bicara dengan Fathir, tapi aku selalu menyuruh Rima membuat segelas minuman hangat untuknya. Karena aku tahu, Fathir juga pasti lelah pulang bekerja. Ditambah lagi jarak dari tempat dia bekerja menuju ke toko ini cukup jauh.

"Cowok ganteng yang duduk di sana, pacarnya Mbak ya? Kok dicuekin sih? Nanti disambar perempuan lain loh," Celetuk salah satu wanita muda yang sedang membeli bunga di sini.

Aku hanya tersenyum dan segera memberikan pesanan bunga yang dia minta.

"Mbak Kala lagi marahan ya sama mas Fathir?" Tanya Nila yang berdiri di sampingku.

"Kerja aja Nila. Nggak usah bergosip," Sambung Rima.

"Habisnya mas Fathir itu baik banget ke kita. Suka dibeliin cemilan kalau kita lagi kerja. Terus aku bisa rasakan kalau perhatian dan kasih sayangnya dia ke mbak Kala itu kelihatan tulus banget. Jadi aku nggak tega lihat mas Fathir dicuekin gitu sama mbak Kala."

"Jadi maksud kamu itu mbak Kalanya yang jahat di sini?" Tanya Rima polos. Dan itu membuatku merasa tertohok sekali.

"Bukan Rima!" Bantah Nila cepat seraya menyenggol lengan Rima. "Maksud aku itu, yang namanya
Pacaran kan memang nggak lepas dari masalah. Sekecil apapun problematika yang ada itu wajib diselesaikan bersama.
Menurut aku di sini mas Fathir udah kelihatan dewasa banget. Dia datang berniat untuk menyelesaikan. Tapi justru mbak Kala sendirilah yang terlihat menghindar dari masalah."

"Menurut aku mbak Kala itu bukan menghindar tapi butuh waktu untuk berpikir sendiri. Tahu sendiri kan gimana perempuan? Pemikirannya itu suka ribet dan selalu wajib pakai hati."

"Masalahnya itu menunjukkan mbak Kala mirip anak kecil yang belum siap menghadapi masalah. Seperti kita waktu kecil lagi ribut sama teman sendiri. Karena kita kalah, kita lari ke rumah dan mengadukan semuanya ke orang tua. Itu wajar karena kita masih anak-anak, belum bisa menyelesaikan masalah sendiri. Kita memerlukan figur orang dewasa. Tapi sekarang kita udah besar dan memutuskan untuk pacaran. Nggak mungkin lagi dong melibatkan orang tua. Jadi, selesaikan masalah itu berdua bersama pacar. Sebuah kasus nggak akan selesai jika kita menghindarinya terus menerus. Justru malah akan membayangi kemanapun kita pergi kecuali kita hadapi secara langsung."

Nila dan Rima tersentak diam saat mendengar aku menjatuhkan gunting ke lantai.

"Udah selesai ceramahnya? Apa ada yang aku harus dengar lagi?" Tanyaku pada mereka berdua.

Kenapa tidak ada yang mengerti dengan perasaanku? Masalah yang aku hadapi bukan persoalan yang ringan. Ini sangat berat untukku.

"Maaf mbak. Nila sayang mbak Kala sama mas Fathir. Jadi nggak mau lihat kalian berdua pisah."

"Kalian tahu kan kita lagi bekerja? Ada banyak pesanan buket yang harus dikirim nanti. Jadi aku harap kalian fokus. Masalah hubungan aku sama Fathir, biar itu jadi urusan pribadi kami. Aku akan sulit berkonsentrasi bekerja jika kalian berbicara seperti itu. Tolong pengertiannya."

"Iya mbak Kala. Maafkan kami," Ucap Rima menunduk. Lalu dia kembali mengajak Nila bekerja.

*****

Eppure SentireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang