Saat bersama Fathir aku bisa tersenyum dan melupakan sejenak segala kesedihan yang kurasakan. Tapi begitu dia pergi keluar dari pintu, aku kembali merasa kesepian di rumah. Bisa dikatakan, Fathir itu seperti air dingin yang menyejukkan di saat aku kehausan. Kehadiran dirinya membuat hatiku yang dulu patah kini kembali menjadi utuh.
Mungkin tanpa di sadari, Fathir adalah satu-satunya orang asing yang bisa menjadi suporter setiaku. Dengan segala kesabarannya juga, dia mampu membalut satu per satu lukaku. Dia bahkan tak segan memarahiku, namun tak terkesan seperti mengguruiku. Seperti kemarin Fathir bisa tahu kalau aku habis merokok, hanya dengan mencium aroma dari nafasku saat kami mengobrol.
"Kamu tadi ngerokok ya?"
"Iya. Tapi cuma dua batang aja."
"Dari atas sana, Kasih dapat melihat semua aktivitas yang kamu lakukan. Aku yakin Kasih pasti kecewa kalau tahu Mamanya nggak menjaga kesehatannya sendiri. Kamu mau putrimu sedih di sana?"
Aku bergeleng pelan. "Enggak."
"Kalau kamu memang sayang sama dia. Kamu harus janji nggak akan menyentuh rokok itu lagi."
Dan akhirnya aku pun menurut saja. Fathir memang paling tahu apa yang menjadi kelemahanku. Jika sudah menyangkut tentang Kasih, otomatis aku pasti tidak akan bisa membantah lagi.
"Permisi!" Terdengar suara seorang pria dari depan rumah kontrakanku.
Mungkin itu adalah orang suruhan Fathir untuk memperbaiki pintu rumahku yang rusak semalam. Aku terpaksa berhenti mencuci piring dan berjalan ke depan untuk melihatnya. Ternyata dugaanku salah. Karena pria yang berdiri di depan itu adalah Dante.
Untuk apa dia datang ke sini? Dan darimana dia tahu alamatku?
"Ternyata benar rumahmu yang ini. Aku pikir Fathir salah memberi alamat, habis rumahmu tampak kecil sekali."
Perkataannya barusan otomatis menjawab salah satu pertanyaanku tadi.
"Silahkan masuk," Ujarku padanya.
"Oh nggak usah. Aku berdiri di sini aja."
"Oke. Jadi ada perlu apa?" Tanyaku menatapnya.
"Aku datang ke sini hanya untuk mengatakan turut berduka cita atas meninggalnya putrimu. Kemarin aku tak bisa datang ke pemakaman putrimu, karena ponakanku Jamie demam. Dia bisa begitu sedih kehilangan temannya. Mungkin selama ini Jamie sering jahil dengan putrimu di sekolah." Dante diam sejenak, lalu melanjutkan kembali ucapannya. "Jadi aku pikir dia merasa sangat bersalah. Maka dari itu, aku mewakilinya untuk meminta maaf."
Aku cukup terpengarah mendengarnya, tapi aku berusaha untuk tidak terlalu menunjukkannya di depan Dante. "Iya nggak apa-apa. Aku mengerti kalau selama ini Jamie hanya iseng mencari perhatian dari Kasih. Menurutku Jamie anak yang baik dan manis. Jadi tolong katakan padanya, bahwa aku dan Kasih memaafkan dia."
Dante terlihat masih ingin mengutarakan sesuatu lagi, tapi sepertinya dia ragu. "Hmm... dengar aku juga minta maaf untuk kejadian di ruang kerja Mamaku waktu itu. Aku tahu itu tidak pantas. Tapi masa lalumu sebagai wanita penghibur membuatku berpikir negatif, apalagi kamu dengan Fathir terlihat dekat. Dia juga sangat peduli dan khawatir padamu. Wajar kan kalau aku mengira kamu menggodanya?"
"Itulah yang membedakan antara Fathir dan kamu.
Fathir akan mengenali lebih dahulu, baru bisa menilai bagaimana orang tersebut. Sementara kamu tidak, kamu langsung menilai buruk tanpa mengenal siapa diriku. Ingat... dont’t judge a book by its cover.""Jangan menilai buku dari sampulnya? Whoaa... pada kenyataannya, kalau kamu pergi ke toko buku, itu semua buku pasti diplastikin. Satu-satunya yang bisa kamu nilai ya cuma covernya. Karena hanya tampilan luar itulah yang bisa dilihat oleh calon pembeli. Dari situ mereka menentukan apa membeli buku tersebut atau tidak. Jadi kalau kamu bilang jangan menilai dari cover, percuma dong desainer bukunya sekolah tinggi-tinggi gitu tapi nggak dinilai? Dan untuk apa penerbit harus memperhatikan tampilan cover bukunya sebelum terbit?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Eppure Sentire
ChickLitAntara cinta, keragaman, dan kemanusiaan. Bagaimana cara membuktikan manusia saling mencintai? Beri saja perbedaan di antara mereka.