ES [1]

27.7K 2.7K 126
                                    

Pelan-pelan kubuka pintu rumah agar tidak menimbulkan bunyi yang dapat membangunkan Putriku yang mungkin sudah tertidur. Setelah mengunci pintu dari dalam, segera kubuka sepatu, dan meletakkan tas di meja. Setelah itu aku berjalan menghampiri Kasih yang tertidur di sofa panjang. Dia pasti sedari tadi menungguku pulang.

Semua rasa lelah dan beban yang aku rasakan langsung lenyap begitu aku menatap wajah tenang Putriku. Dialah satu-satunya harta berharga yang aku punya di dunia ini. Apapun akan aku lakukan demi dia, asal Kasih dapat terus bertahan hidup lebih lama. Keinginanku hanya sederhana, memastikan Kasih selalu dapat tersenyum setiap hari.

"Mama." Dia terbangun saat aku sedang menggendongnya ke dalam kamar. "Kenapa Mama selalu pulang malam?" Tanyanya sambil menguap.

Kubaringkan Kasih di atas ranjang. "Mama kan cari uang sayang."

"Untuk beli obat Kasih?"

Kuelus pelan kepalanya. "Iya. Dan juga untuk biaya sekolah kamu."

"Sakit Kasih belum sembuh ya Ma?"

"Bisa sembuh sayang, asal Kasih rajin minum obat ya?"

Kasih menganggukkan kepala. "Oh iya Ma... tadi di sekolah Ibu guru ngasih nilai 95 untuk gambar yang Kasih buat."

"Wow! Memangnya kamu gambar apa?"

"Pantai sama gunung." Dia turun dari ranjang dan berjalan ke meja belajar untuk mengambil buku gambarnya. "Ini Ma...." Tunjuknya dengan duduk di sampingku.

Aku mengamati gambar itu. Lalu aku menoleh ke arahnya. "Bagus banget sayang. Putri Mama ternyata punya bakat terpendam jadi seorang pelukis ya?"

"Pelukis banyak duitnya Ma?"

"Banyak dong."

"Kalau gitu cita-cita Kasih mau jadi pelukis ya Ma."

Kupeluk tubuhnya. "Kasih mau jadi apapun, Mama bakal tetap bangga sayang."

"Mama," Panggilnya.

Aku menunduk. "Ya?"

"Kasih sayang sama Mama."

"Mama juga sayang ke kamu."

"Mama pasti capek pulang kerja. Ayo Mama tiduran, biar Kasih pijit kaki Mama."

Aku tertawa dan menuruti permintaannya. Kedua tangan mungilnya mulai memijit kaki kiriku.

"Ma... surga itu apa?"

Aku berpikir sembari menatap langit-langit kamar. "Hem... Surga itu tempat yang indah, tentram, dan damai. Ada banyak tanaman bunga dan macam-macam buah yang tumbuh. Siapapun yang tinggal di sana pastilah akan hidup bahagia. Nggak semua orang bisa menempatinya, hanya orang-orang baik dan terpilih yang ada di sana."

"Waaahh... Kasih mau tinggal di surga kalau gitu Ma. Tadi kata Guru agama di sekolah bilang, surga itu ada di telapak kaki Ibu.
Jadi Kasih nggak boleh melawan dan membuat Mama sedih, kalau mau masuk surga. Oh iya Ma, mulai sekarang Mama harus jaga kaki Mama dengan memakai sendal atau sepatu. Kasih nggak mau surganya Kasih kotor kena debu dan pasir."

Perkataan polos dari Kasih itu membuatku tak bisa tidur semalaman. Aku terus memikirnya.

Jika benar surga berada di telapak kaki seorang Ibu. Apakah surga itu ada juga di telapak kaki seorang pelacur sepertiku?

Apakah Putriku Kasih akan ditolak masuk surga karena kelakuan dan dosa-dosa yang kuperbuat?

Aku ingin Kasih mendapatkan surganya. Dia pantas mendapatkan itu. Meskipun bukan dari telapak kakiku. Bukan salahnya lahir dari rahim seorang wanita sepertiku. Semoga Tuhan memandang Kasih sebagai anak yang baik dan bukan sebagai anak dari pelacur. Aku yakin Tuhan itu maha adil dan bijaksana. Putriku pasti akan mendapatkan tempat yang layak.

*****


Setelah mengantar Kasih pergi ke sekolah, aku berencana ingin pergi ke bank untuk membuat rekening. Selama beberapa tahun ini aku menyimpan uang untuk biaya pengobatan dan pendidikan Kasih. Aku selalu merasa was-was menyimpannya di dalam rumah, karena mantan suamiku terkadang masih sering datang dan mengambil uang ataupun barang dari rumah kontrakan yang aku tempati.

Dinginnya AC langsung terasa di kulitku begitu aku memasuki salah satu bank resmi di kota Jakarta. Sebelum duduk, aku mengambil nomor antrian terlebih dahulu. Kuperhatikan salah satu customer yang ada di depanku. Wajah pria itu seperti tidak asing lagi, aku merasa pernah melihatnya.

Ah iya, dia pria yang semalam mengobrol denganku di parkiran mobil. Ternyata dia seorang pegawai bank di sini. Pantas saja
Begitu ramah dan mudah tersenyum pada semua orang.

Dia terlihat begitu tampan dan rapi dengan pakaian kantornya. Wanita manapun akan beruntung mendapatkan pria itu.

Aku agak deg-deg'an saat antrian berikutnya adalah giliranku. Semoga dia tidak mengingat wajahku.

Dia tersenyum menyambutku sebagai seorang nasabah. "Selamat pagi Ibu silahkan duduk." Aku menggeser kursi setelah dia mempersilahkanku duduk. Lalu dia melanjutkan ucapannya. "Mohon maaf Ibu sudah menunggu lama. Saya Fathir sebagai customer service, boleh saya tahu nama Ibu?"

"Saya Kala." Suaraku terdengar gemetar karena begitu gugup. Aku malu jika dia mengingat identitasku.

"Baik ibu Kala, ada yang bisa saya bantu?" Tanyanya dengan senyum hangat yang selalu menghiasi wajahnya. Dan hal itu membuat perasaanku menjadi lebih baik.

"Saya mau buka rekening tabungan, syaratnya apa aja ya?"

"Baik, ibu Kala ingin membuka rekening tabungan ya, apakah Ibu Kala sebelumnya sudah mememiliki....." Dia mengajukan beberapa pertanyaan dan juga menjelaskan tentang produk bank yang mereka miliki. "Jika Ibu Kala sudah mengerti dan setuju tentang fitur dan biaya dari produk yang Ibu pilih maka silahkan untuk mengisi formulir pembukaan."

"Iya saya mengerti." Lalu aku menyebutkan jenis tabungannya.

"Baik, ibu Kala. Boleh saya meminjam kartu identitas Ibu seperti KTP?"

Aku mengangguk dan memberikannya. Selanjutnya aku disuruh mengisi formulir pembukaan rekening. Selesai mengisi, segera kuberikan padanya. Dia langsung mengecek data, apa saja yang kurang.

"Mohon ditunggu sebentar ya ibu Kala, saya akan proses data-datanya dulu."

Aku hanya tersenyum dan memperhatikan cara dia bekerja dengan layar komputer di depannya. Sesekali dia melirik padaku. Dan hal itu cukup membuatku tersipu.

Benar-benar memalukan. Oh ayolah! Aku sudah sering membuka baju di hadapan pria hidung belang, tapi tidak sekalipun aku merasa tersipu. Sedangkan pria yang ada di depanku ini hanya milirik saja, namun sanggup membuatku merona.

"Terimakasih ibu Kala sudah menunggu. Proses pembukaan rekening sudah selesai, ini buku tabungan ibu Kala, mohon tanda tangan sebelumnya dahulu di kotak ini," Ujarnya sambil menunjuk pada buku tabungan kotak mana yang harus diberi TTD dan memberi plastik hologram pada kotaknya. "Ini buku tabungan ibu Kala, silakan Ibu melakukan setoran awal di Kasir dengan mengisi bentuk Setoran terlebih dahulu."

Aku menerima uluran buku tabungan itu dari tangannya. Tanpa sengaja tanganku bersentuhan dengannya. Dan itu membuatku semakin salah tingkah, entah kenapa aku takut dia berpikir aku sedang menggodanya. Spontan aku berpura-pura membuka buku itu dan melihat-lihat isinya.

"Bagaimana ibu Kala apa ada yang bisa saya bantu lagi?"

"Tidak."

Lelaki yang bernama Fathir Ibrahim itu kembali tersenyum dan menangkupkan dua tangan di dadanya. "Terimakasih ibu Kala atas kunjungannya ke Bank ini. Selamat pagi dan senang bisa bertemu dengan Ibu Kala lagi."

Lagi? Apa itu artinya dia mengingat pertemukan kami yang semalam?

Pertanyaan itu terngiang dalam benakku. Lalu aku mengambil slip dan nomor antrian lagi untuk melakukan setoran awal ke Teller. Begitu semuanya selesai, aku keluar dari dalam bank. Tapi sebelum keluar, aku menoleh ke arah meja Fathir untuk menatap wajahnya lagi. Mungkin ini kebetulan dan bukan kontak batin, sebab pria itu juga ternyata sedang menatapku sambil tersenyum.

Detik itu juga kurasakan detakan yang berlebihan pada jantungku. Semoga ini bukan pertanda buruk. Aku harap aku tidak bertemu dengannya lagi. Tidak boleh.

23-Januari-2018

Eppure SentireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang