Aku menutup pintu secara perlahan dan bersikap seperti biasa, seolah tak terpengaruh dengan kehadiran Fathir ke rumah.
"Udah lama datangnya?" Tanyaku memulai percakapan.
"Dua jam yang lalu."
Aku mengangguk sambil menggulung rambutku ke atas. Sedari tadi dia terus menatap setiap gerak-gerikku yang berjalan ke dalam kamar dan keluar sambil membawa handuk di leher. "Aku mau mandi dulu. Nggak apa-apa kan aku tinggal?"
"Mandi aja, nggak apa-apa. Ada Kasih yang temani aku di sini."
Aku kembali mengangguk lagi dan segera berjalan ke kamar mandi yang ada di belakang. Sebelum mencapai pintu, diam-diam aku menoleh ke arah ruang tamu untuk mengamati interaksi antara Kasih dan Fathir. Mereka berdua terlihat asik berbicara dan tertawa bersama. Mungkin Fathir sadar jika sedang diperhatikan, maka dari itu kedua manik hitam miliknya langsung mengarah padaku. Spontan aku langsung masuk ke dalam kamar mandi dan menutupnya.
Kupegang bagian atas dadaku yang berdebar kencang. Ini efek karena ketahuan menatapnya tadi. Dan itu sangat memalukan.
Jadi aku sengaja berlama-lama mandi, berharap Fathir akan pulang karena bosan menunggu. Lagipula aku juga tidak tahu harus berbicara apalagi padanya.Namun harapanku tak terkabul. Sampai selesai mandi pun, suara candaan Fathir masih terdengar dari sini. Begitu memakai baju, aku keluar dari kamar mandi dengan handuk di atas kepala karena habis keramas. Aku merasa canggung berjalan ke depan karena Fathir langsung menatapku dari kejauhan.
"Mau minum apa?" Tanyaku yang berdiri di dapur.
"Nggak usah," Tolaknya lembut. "Aku mau bicara berdua sama kamu di depan. Bisa?"
"Hmm." Aku bergumam sambil berjalan ke depan. Sementara Fathir menghusap rambut Kasih karena sedari tadi asik berbicara dengan boneka barunya.
"Kasih," Panggil Fathir. Sehingga putriku menatapnya dan tersenyum. "Om sama Mama kamu duduk di depan ya?"
"Oke Om!"
Fathir tersenyum lalu berjalan di belakangku. Kami berdua duduk bersebrangan dengan meja kecil yang membatasi. Aku menoleh ke arah Fathir untuk memulai obrolan diantara kami.
"Fathir."
"Kala."
Dia tersenyum saat kami sama-sama membuka suara. "Kamu duluan."
Aku menarik napas panjang. "Aku minta maaf untuk kejadian di restoran waktu itu. Kesannya aku seperti seorang wanita yang tersakiti oleh kamu, padahal kamu nggak punya salah. Dan aku pergi gitu aja tanpa dengar penjelasan. Maafkan aku yang terlalu membawanya ke dalam perasaan. Aku nggak seharusnya seperti itu, setelah semua kebaikan kamu ke aku dan Kasih."
"Seharusnya aku yang minta maaf ke kamu Kala. Aku yang salah karena tiba-tiba berubah gitu saja tanpa alasan. Di sini aku terlihat egois dan seperti anak kecil sekali. Maafkan aku ya?"
"Sebenarnya alasan kamu berubah itu apa?" Tanyaku.
Dia tersenyum kecil. "Entahlah. Aku juga nggak ngerti sama jalan pikiranku sendiri." Lalu dia menoleh padaku. "Aneh banget ya aku?"
Aku memiringkan tubuh ke arahnya. Menatap pria itu begitu intens, berharap aku dapat membaca isi hati dan pikirannya. Supaya aku tidak perlu menebak-nebak lagi. "Apa yang sedang kamu pikirkan saat ini?"
"Aku?" Dia terlihat berpikir sejenak. "Banyak yang aku pikirkan. Kenapa kamu tanya itu?"
Apa aku termasuk di dalamnya?
Aku tersenyum. "Hanya penasaran. Pria sepertimu itu biasanya mikirin hal apa."
"Normal sih. Ya seperti kebanyakan pria dewasa pada umumnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Eppure Sentire
ChickLitAntara cinta, keragaman, dan kemanusiaan. Bagaimana cara membuktikan manusia saling mencintai? Beri saja perbedaan di antara mereka.