ES [12]

12.4K 1.7K 231
                                    

Sekitar jam sebelas siang, aku meminta izin sebentar keluar untuk menjemput Kasih di sekolah. Tapi ada yang berbeda dari putriku itu, dia terlihat diam dan menolak untuk aku gandeng tangannya seperti yang biasa kami lakukan.

"Sayang kamu kenapa? Apa Jamie gangguin kamu di sekolah lagi?" Tanyaku dengan berjalan di sampingnya.

Dia tidak menjawab dan terus berjalan menuju rumah kontrakan kami.

"Kasih pelan-pelan jalannya," Seruku saat melihatnya yang berjalan cepat dan hampir saja terjatuh. Ada apa dengannya? Pagi tadi Kasih masih baik-baik saja. Tapi kenapa sekarang dia jadi seperti marah padaku?

Aku menghampiri Kasih yang berdiri di depan pintu. "Mama ada buat salah ya sayang?" Tanyaku sambil berjongkok di hadapannya.

Dia masih diam dan menatap pintu rumah yang masih terkunci. Aku tidak bisa memaksanya untuk bicara. Jadi aku bangkit berdiri dan membuka pintu rumah. Begitu pintu terbuka, Kasih langsung masuk ke dalam. Sementara aku menyiapkan makan siang dan obat untuknya di atas meja.

"Kasih," Panggilku membuka pintu kamar. Dia baru selesai mengganti baju sekolahnya. "Mama mau balik ke tempat kerja. Kamu jangan lupa makan dan minum obat ya? Semua udah Mama buat di atas meja seperti biasa."

Aku menghela napas panjang saat tak mendapat respon darinya. Jadi kuputuskan menutup pintu dan kembali ke tempat kerja.

Sesampainya di toko, aku langsung mengucap syukur saat tak menemukan sosok Dante lagi. Setidaknya aku bisa bekerja tanpa ada gangguan darinya. Meskipun sebenarnya ada dua hal yang menganggu pikiranku saat ini. Pertama, Kasih yang mendiamkanku tanpa sebab. Kedua, calon tunangan Fathir yang berhijab itu.

Mengenai Fathir, aku tidak akan bohong tentang perasaanku padanya. Aku memang menyukai semua hal yang ada dalam dirinya. Lebih tepatnya aku memiliki perasaan cinta pada pria itu. Tapi aku sadar, ada begitu banyak perbedaan di antara kami. Jadi aku memilih untuk memendamnya. Meskipun suatu saat Fathir menyadari dan tahu perasaanku padanya. Aku tidak peduli. Yang penting Fathir tidak akan pernah mendengar kata cinta itu terucap dari bibirku sampai kapan pun.

*****


Me
Jadi pulang bareng sore ini?

Segera kukirim pesan itu pada Fathir. Bukannya aku berharap untuk dijemput, tapi supaya aku bisa ambil keputusan pulang sendiri kalau memang dia tidak bisa sore ini.

Fathir
Jadi... aku udah di depan toko :-)

Melihat emot itu darinya, membuatku jadi tersenyum sendiri. Segera aku berjalan keluar dan mendapati sosok Fathir tengah duduk di atas motor.

"Kenapa nggak bilang udah nyampe dari tadi?" Tanyaku.

"Sengaja. Nunggu kamu chat duluan. Ternyata kamu beneran mau aku jemput ya?" Tanyanya menggodaku.

"Kan kamu yang bilang sendiri mau jemput pulang. Jadi aku ngechat cuma mau konfirmasi ulang aja." Gerakanku memasang helm terhenti saat Fathir menahan tangan kananku.

"Siku kamu kenapa tergores gitu?"

"Oh ini tadi nggak sengaja jatuh."

"Jatuh kenapa?" Tanyanya menyelidik.

Tidak mungkin aku mengadu dan mengatakan padanya kalau luka goresan ini karena ulah dari Dante yang tidak menyukaiku. Aku tidak mau Fathir ribut dengan sahabatnya itu.

"Aku terpeleset."

Dia memandang siku tanganku yang terluka dan menyentuhnya dengan lembut. "Udah segede gini kok bisa terpeleset sih? Lain kali hati-hati jalannya dan fokus kalau sedang bekerja. Jangan bertindak ceroboh yang berujung mencelakan diri sendiri."

Eppure SentireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang