Katakanlah aku wanita yang plin-plan. Karena awalnya aku sendiri yang meminta Fathir untuk menjauhiku namun aku sendiri juga yang mendekatinya lagi. Tadinya aku ingin berjuang untuk mendapatkan Fathir. Tapi melihat sikapnya yang cuek tadi, nyaliku seketika ciut untuk menyapanya.
Sepertinya Fathir sudah tidak peduli lagi denganku. Padahal baru sekitar dua bulan yang lalu dia mengungkapkan isi hatinya padaku. Tapi kenapa sekarang perasaannya begitu cepat berubah? Apa yang dikatakan Dante itu benar? Kalau Fathir iseng mendekatiku, hanya untuk sekedar hiburan sesaat saja.
Mungkin memang beginilah takdirnya. Tuhan sengaja mempertemukan aku dan dia hanya sekedar saling sapa, bukan untuk berbagi rasa. Di sini aku yang terlalu bodoh karena menganggap semuanya serius. Berpikiran kalau pria seperti dia mau dengan mantan pelacur.
Dante benar, mana mungkin ada orang yang lebih memilih emas imitasi dibanding emas asli. Aku terlalu naif.
Mulai sekarang aku harus bisa lupakan Fathir. Lebih baik aku fokus ke pekerjaan, lalu memperbaiki diri supaya tidak ada orang yang meremehkanku lagi. Itu yang paling penting.
Aku berdiri dan memandang wajahku di cermin wastafel kamar mandi. Tampak kusut dengan kantong mata yang samar. Kunyalakan kran air untuk membasuh bekas air mata di wajahku. Ini terakhir kalinya aku menangis karena Fathir. Aku tidak boleh bersedih lagi.
"Kala." Itu suara tante Maria yang memanggilku.
"Ya Tante?" Jawabku seraya keluar dari kamar mandi.
"Kamu udah pulang dari Bank kan?"
"Udah Tante."
"Kamu habis nangis ya?"
Aku mengeringkan wajah dengan handuk. "Kelihatan banget ya Tante?"
Beliau mengangguk. "Pasti teringat dengan Putrimu lagi kan?"
Aku hanya tersenyum menanggapi tebakan tante Maria. "Aku ke depan dulu ya Tante, mau lanjut ngerjain pesanan."
"Tunggu dulu, biar Amoy aja yang ngerjain itu." Beliau menahan tanganku. "Ada yang mau kenalan sama kamu. Namanya Gio, anaknya teman Tante. Dia pernah pesan bunga di sini dan katanya naksir gitu lihat kamu."
"Terus?"
"Ya dia mau ngajak kamu makan siang tapi pemalu banget anaknya. Jadi dia nggak berani nyamperin kamu. Anaknya baik loh, nggak macam-macam. Makanya Tante mau jodohin kamu ke dia."
"Tapi Tante...."
"Udah coba aja dulu makan bareng terus kenalan. Kalau cocok lanjut, kalau nggak cocok ya tinggalin. Itu Gio udah nunggu kamu di depan parkiran." Tante maria terus menarik tanganku untuk berjalan.
Sesampainya di pintu, Tante Maria menyuruhku untuk menghampiri sendiri. Tampak seorang pria berkemeja rapi seperti pegawai kantoran sedang berdiri membelakangi toko ini. Sebenarnya aku belum berminat untuk berkencan tapi aku segan menolak permintaan tante Maria. Beliau seperti itu karena tulus dan peduli padaku.
Sambil menarik napas, aku membuka pintu dan menghampiri pria itu. Dia berbalik saat mendengar suara langkah kakiku.
"Gio?" Tanyaku memastikan orangnya.
Dia tertunduk malu dan membenarkan kaca matanya. Menurutku Gio ini pria yang manis hanya saja sedikit cupu. Mungkin jika gayanya diubah sedikit, dia bisa tampak dewasa seperti Fathir. Eh tidak, maksudku Dante. Iya Dante saja.
Ya Tuhan... kenapa sulit sekali menghilangkan nama Fathir dari pikiranku.
"Iya saya Gio. Saya sering membeli bunga di sini karena ingin melihatmu. Saya malu dan tidak tahu bagaimana cara mengajakmu berkenalan. Tapi tante Maria menyemangati saya untuk berani dan berdiri di sini." Wajahnya tampak berkeringat, padahal hanya mengucapkan kalimat itu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eppure Sentire
ChickLitAntara cinta, keragaman, dan kemanusiaan. Bagaimana cara membuktikan manusia saling mencintai? Beri saja perbedaan di antara mereka.