Kami singgah di sebuah rumah makan yang tidak jauh dari tempat kerja Fathir. Saat sedang menunggu pesanan, aku coba membuka obrolan. Tapi Fathir hanya menanggapi sekenanya saja. Seperti tak berniat untuk bertanya balik atau tak mau mengobrol panjang denganku. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiran laki-laki itu terhadapku saat ini. Jadi aku putuskan untuk diam saja dan tak bertanya lagi.
Sepanjang makan kami hanya diam. Hanya bunyi sendok dan garpu yang terdengar beradu di atas piring kami. Begitu selesai makan, aku mendongakkan kepala untuk menatap Fathir terakhir kalinya. Aku yakin ini akan menjadi pertemuan terakhir kami. Aku berjanji tidak akan menggangu atau hadir di depannya lagi. Ini sudah lebih dari cukup untukku. Karena aku sadar diri, batasan mana yang bisa aku miliki dan yang tak bisa aku raih. Dan pria yang ada di depanku ini tak akan pernah kumiliki ataupun kuraih.
Di luar dugaan, aku mendapati Fathir yang ternyata sedari tadi sudah menatapku lebih dulu. Dan itu cukup memberi efek kaget pada jantungku. Kulirik piring Fathir yang makanannya masih tersisa setengah lagi.
"Apa makanannya kurang enak?" Tanyaku bingung karena dia tak menghabiskan makanan itu. Menurutku hidangan rumah makan ini semuanya lezat dan nikmat.
Dia masih menatapku diam. Apa ada yang salah dengan wajahku? Kuambil tisu dan membersihkan sekitar bibir, mungkin ada sisa makanan tadi yang menempel di sana.
"Bagaimana kabar Kasih?" Tanya Fathir yang akhirnya membuka suara.
"Dia sehat," Jawabku tersenyum. "Kata Dokter minggu depan dia bisa dioperasi."
Fathir mengangguk pelan. Lalu menatapku lagi. "Bagaimana dengan pekerjaanmu? Kamu menyukainya?"
"Sangat. Aku sangat menyukainya. Maka dari itu aku ingin berterimakasih padamu." Sesaat aku menundukkan kepala. "Tapi kamu selalu menghindar tiap kali aku menelpon untuk mengucapnya."
"Akhir-akhir ini aku sibuk. Maaf," Ujarnya pelan.
Aku mengangguk. "Tak apa. Aku mengerti. Ya meskipun terkadang aku merasa kamu memang sengaja melakukannya."
Fathir terdiam. Perkataanku barusan itu menembak tepat disasarannya.
"Aku tidak tahu kesalahan apa yang kuperbuat sampai membuatmu menghindariku. Kalau ini hanya karena persoalan agama yang aku yakini, bukankah kamu yang mengatakan sendiri bahwa kamu tidak memilih teman? Kamu bilang berteman dengan siapa saja. Tapi nyatanya kamu menghindariku."
Aku menoleh ke arah lain dan menghapus air mataku yang baru saja menetes. Aku tidak tahu kenapa aku menangis hanya untuk masalah ini. Sangat memalukan sekali. Tapi aku tak bisa mencegah air mataku itu.
"Bukan seperti itu Kala," Sergahnya memberi pengertian. "Maafkan aku."
"Tidak perlu minta maaf, Fathir. Kamu tidak salah," Jawabku jujur. "Aku hanya mengungkapkan apa yang kurasakan. Dan kalau kamu memang tidak ingin berteman denganku lagi, katakan saja. Sungguh aku tidak marah. Tapi tolong jangan menghindar seperti kemarin. Kamu hanya perlu mengatakan 'Kala, kupikir kita tidak bisa berteman lagi. Jadi lebih baik kita tidak usah bertemu ke depannya' itu saja yang ingin aku dengar dari kamu Fathir, maka aku akan menjauh."
"Kala...." Dia mencoba menyela.
"Biarkan aku menyelesaikannya terlebih dahulu," Kataku menahannya untuk tidak memotong ucapanku. "Caramu menghindar membuatku merasa kalau kamu menyesal telah bertemu denganku. Jujur aku berharap kamu tidak seperti itu. Sebab aku pun tidak pernah menyesal bertemu denganmu. Selama aku hidup, cuma kamu seorang yang baik dan tulus berteman padaku tanpa meminta imbalan apapun. Aku senang setidaknya aku pernah berteman dan mengenal pria sepertimu. Terimakasih untuk semuanya Fathir."
Kembali aku menghusap air mata yang menetes di pipiku. "Maaf ya, aku pasti membuatmu malu. Aku sendiri juga tidak tahu kenapa aku menangis," Ujarku tanpa berani menatap Fathir. Aku terlalu malu untuk melihatnya. Lebih baik aku pergi dari sini. Segera aku memanggil pelayan dan mengambil dompet dari dalam tas. "Berapa semuanya Mbak?"
Pelayanan wanita itu menyebutkan nominalnya.
"Kamu mau pergi begitu saja tanpa mendengar penjelasan dulu? Bukankah itu tujuanmu mendatangiku?" Tanya Fathir menatapku.
Setelah selesai membayar, aku bangkit berdiri dari kursi. "Aku harus menjemput Kasih. Ini jam dia pulang sekolah, aku tidak ingin membuatnya menunggu lama. Sekali lagi terimakasih. Kamu tidak perlu menghindar lagi, karena aku tahu bagaimana caranya menjauh."
Aku berjalan ke arah pintu keluar rumah makan. Aku berjanji akan melupakan semua ini begitu kakiku melangkah melewati pintu.
*****
Kasih menggandeng tangan kananku sambil berceloteh bagaimana seputar nilai pelajaran yang ia dapatkan di sekolah. Aku tersenyum dan memujinya karena mendapat nilai yang bagus. Dia juga bercerita tentang anak cowok di kelasnya yang suka mencari perhatiannya dengan menyembunyikan penghapus ataupun kotak pensilnya.
"Kasih nggak suka duduk sebelahan sama Jamie. Kasih mau pindah kelas aja. Dia nakal dan menyebalkan," Sungutnya dengan wajah cemberut.
Aku tersenyum sambil mencoba memberi pengertian padanya. "Mama pikir Jamie hanya bercanda. Jamie hanya ingin berteman. Jadi dia selalu mencari cara supaya mendapat perhatian darimu. Buktinya setiap benda yang Jamie sembunyikan selalu dipulangkan lagi kan ke Kasih?"
"Itu karena Kasih selalu mengadu sama Ibu guru. Pokoknya Kasih nggak suka ah berteman sama Jamie. Kasih maunya punya teman kayak om Fathir."
Langkahku spontan berhenti begitu Kasih menyebutkan nama
Pria itu. Aku berjongkok dan menangkup wajah mungil putriku seraya tersenyum padanya. "Mulai sekarang, Kasih jangan berharap banyak ya kalau om Fathir nggak bisa datang ke rumah atau menelpon Kasih lagi."Kedua mata bulatnya menatapku polos. "Kenapa Ma? Mama lagi musuhan ya sama om Fathir?"
"Bukan. Om Fathir sibuk kerja sayang."
"Tapi om Fathir janji mau beliin boneka yang besar untuk Kasih."
Aku membelai rambutnya. "Nanti Mama yang beli."
"Tapi Kasih masih mau temenan sama om Fathir."
"Kenapa Kasih suka dengan Om itu?" Tanyaku hati-hati.
"Om Fathir baik Ma. Buktinya Mama banyak senyum waktu om Fathir datang ke rumah. Kasih juga merasa punya Papa waktu Om Fathir belai rambut Kasih. Terus Om Fathir kalau bicara itu lembut, nggak galak kayak Papa Kasih."
Aku berusaha untuk tidak meneteskan air mata di depan Kasih. "Sayang... nanti Mama akan cari teman lagi yang kayak om Fathir ya. Tapi Kasih jangan tanya-tanya tentang Om itu lagi."
Kasih bergeleng cepat. "Kasih nggak mau Om yang lain. Memangnya om Fathir kenapa Ma? Kenapa Kasih nggak boleh lagi menelpon Om itu?" Tuntutnya menatapku penuh tanya.
"Om Fathir udah nggak bisa berteman sama kita."
"Kenapa nggak bisa Ma? Apa karena Kasih minta dibeliin boneka? Yaudah Kasih nggak jadi minta lagi. Tapi bilang sama om Fathir jangan musuhin Mama. Kasih yang salah karena banyak maunya. Kasih minta maaf, Ma."
Mendengar suara Kasih yang menangis, membuatku ikut bersedih. Kutarik tubuh Kasih ke dalam pelukanku. "Jangan nangis. Kamu nggak salah apapun."
Mama yang salah karena sudah membawa pria itu ke rumah dan mengenalkannya padamu.
3-Februari-2018
Kasih cantik gak?
KAMU SEDANG MEMBACA
Eppure Sentire
ChickLitAntara cinta, keragaman, dan kemanusiaan. Bagaimana cara membuktikan manusia saling mencintai? Beri saja perbedaan di antara mereka.