Sepanjang perjalanan pulang, Fathir hanya berdiam diri dan tidak mengatakan apapun. Begitu mobil sampai di depan rumah, aku segera melepas seatbelt. Sebelum beranjak turun, aku kembali menatapnya yang masih tetap diam.
"Kamu marah sama aku ya?" Tanyaku padanya.
Dia hanya bergeleng dengan pandangan mata yang lurus ke depan jalan.
"Marah juga nggak apa-apa. Aku siap mendengarkan kekesalan kamu. Tapi habis itu, tolong jangan diamkan aku seperti ini."
Fathir menarik nafas, berusaha menyembunyikan rasa kecewanya. "Aku nggak marah. Cuma perasaanku sedih dengan penolakan kamu."
"Fathir, aku sama sekali nggak ada maksud untuk buat kamu sedih. Aku sayang sama kamu tapi aku nggak mau merusak pertemanan kita juga."
"Menolakku hanya karena takut merusak hubungan pertemanan kita? Itu alasan paling klasik, Kala."
"Bukan cuma itu. Ada hal lainnya yang jadi pertimbangan aku. Termasuk perbedaan agama di antara kita. Dan belum lagi masa laluku yang seorang pelacur."
"Aku ingin tahu satu hal. Sebenarnya kamu itu punya perasaan yang sama nggak denganku?"
"Aku menyukaimu sebagai teman, karena kamu selalu ada di saat----"
Fathir langsung menyela ucapanku. "Jawab dengan jujur Kala."
"Itu udah jawaban jujur."
Tiba-tiba Fathir bergerak mendekat, membuatku harus terpojok di kursi mobil. Kedua matanya menatapku lekat. Seperti mencoba melihat jauh kedalaman hatiku. Perlahan tapi pasti tangannya terangkat menyentuh pipiku. Dia menghusap lembut dengan ibu jarinya.
"Kamu tahu Kala? Mata boleh saja bohong untuk apa yang dia lihat. Telinga bisa bohong untuk apa yang dia dengar. Mulut bisa bohong untuk apa yang dia ucapkan. Hidung bisa bohong untuk apa yang dia cium. Tangan juga bisa bohong untuk apa yang dia raba. Dan kaki pun bisa bohong untuk apa yang sedang dia injak. Semua organ tubuh itu boleh saja menyangkal perasaan yang kamu rasakan ke aku. Tapi tidak dengan HATI kamu," Tanpa menyentuh dia menunjuk satu jarinya ke atas dadaku. Tempat di mana jantungku selalu berdetak lebih cepat saat berada dekat dengannya. "Hati akan selalu berkata jujur. Karena hati adalah satu-satunya organ tubuh manusia yang paling sulit untuk berbohong."
Apa yang dikatakan Fathir itu benar adanya. Hati memang tidak bisa berbohong. Aku memang jatuh cinta padanya. Tapi perbedaan di antara kami, membuatku tidak mungkin berkata yang sejujurnya. Jadi yang harus aku lakukan adalah tetap berbohong demi kebaikan kami bersama.
"Aku tidak punya perasaan cinta sama kamu. Aku menyayangimu hanya sebagai teman dekat."
Fathir terlihat frustasi dengan jawabanku itu. Hingga akhirnya menarik diri untuk menjauh dariku. Dia menyugar rambutnya dengan gusar. Lalu menyandarkan belakang kepala ke kursi.
"Aku tahu kamu sedang menyangkalnya. Apa susahnya untuk berkata jujur Kala?"
"Semua yang aku ucapkan tadi, itulah kebenarannya." Aku terus mengucapkan kebohongan untuk membuat Fathir bisa percaya. "Lagipula yang kamu rasakan ke aku itu bukan cinta, melainkan karena rasa kasihan dengan jalan hidup aku."
Dia menegakkan tubuhnya dari sandaran kursi dan menatapku serius. "Aku bisa membedakan apa itu cinta dan kasihan. Ada banyak wanita yang aku kenal dalam hidupku. Lalu kamu hadir dan menjungkir balikkan hari-hariku dengan segala kelebihan serta kekuranganmu. Aku nggak bisa mengatur perasaanku untuk tidak menyukaimu. Semakin aku tahu banyak kekuranganmu, justru itu yang membuatku ingin menjaga dan melindungimu. Karena cuma dengan kamu Kala, aku jadi tahu apa itu rindu, cemas, lega, marah, gusar, dan takut kehilangan."
"Cukup Fathir. Aku nggak mau dengar kamu nyebut kata cinta lagi. Itu buat aku jadi ngerasa risih dan nggak nyaman."
"Aku cinta sama kamu." Dia mengucapkannya lagi tanpa perduli aku sudah melarangnya.
"Please, Fathir." Aku menatapnya sedih. "Kalau kamu terus bicara seperti itu. Mungkin lebih baik kita----"
"Lebih baik apa?" Tanyanya cepat.
Aku tahu ini sangat menyakitkan untukku tapi aku harus mengatakannya. "Lebih baik kita nggak usah berteman lagi."
Sesaat Fathir terdiam memandangku. Lalu detik berikutnya ia menundukkan kepala. Dia sedang memikirkan sesuatu sebelum akhirnya membuka suara. "Baiklah," Ucapnya dengan nada lemah. "Kalau kamu memang mau seperti itu. Aku sudah berusaha untuk merengkuhmu tapi kamu sendiri yang memilih menjauh."
Mendapat tatapan kecewa dari Fathir membuatku sulit untuk bernapas. Aku begitu jahat padanya. Dan aku juga orang yang paling munafik di dunia ini.
"Di sini aku yang salah. Maunya sama dengan yang seiman, tapi cocoknya sama yang berseberangan. Semua berjalan begitu saja, semakin hari kita semakin dekat. Awalnya ingin melepas tapi justru malah tertarik lebih dalam. Seharusnya aku nggak mendekatimu sejak tahu kita berbeda," Lanjut Fathir seraya menatapku.Fathir tidak salah. Seandainya malam itu aku tidak pernah menghampiri dan menyapanya di parkiran mobil, mungkin kami tidak akan saling mengenal hingga berteman seperti sekarang.
Di sini akulah orang yang tak tahu diri. Mencoba memaksa mengenalnya untuk berteman dan menentang apa yang orang sebut berbeda.
"Terimakasih untuk semua waktu dan perhatian yang selama ini udah kamu beri ke aku dan juga Kasih." Aku tersenyum dan berusaha sekuat mungkin menekan rasa perih di hatiku.
"Mengenai janji aku ke Kasih sewaktu di rumah sakit----"
Aku bergeleng dan menyela ucapannya. "Kamu nggak harus menepatinya, Fathir. Karena aku yang mengingkan kita tidak berteman lagi. Aku pikir Kasih tidak akan keberatan. Lagian sebelum mengenalmu pun aku sudah terbiasa hidup sendiri dengan kehidupan yang keras. Jadi kamu nggak perlu khawatir."
Kini aku sudah tidak menatap ke arah Fathir lagi. Aku merasa air mata ini akan jatuh menetes. Tapi aku tidak ingin dia melihatku menangis untuk keputusan yang kubuat sendiri.
"Kala," Panggilnya lembut. Aku pasti akan sangat merindukan suaranya itu.
"Ya?"
"Boleh aku peluk kamu sebagai tanda perpisahan kita?"
Aku bergeleng lemah menolaknya. Bukan aku tidak mau. Tapi itu sangat berat untukku. Aku takut akan berubah pikiran.
"Please Kala... untuk terakhir kalinya, biarkan aku memelukmu. Sebentar saja." Dia memohon dengan tatapan sendu yang membuatku tak bisa menolak lagi.
Perlahan Fathir berangsur mendekat dan memelukku erat dengan kedua tangannya. Merengkuh tubuhku hingga aku dapat merasakan degup jantung kami beradu saling berkejaran.
Salah satu tangannya naik menghusap rambut belakangku."Jaga dirimu baik-baik," Bisiknya pelan di sisi telinga kananku.
Aku membalas pelukannya. Tanpa kata. Rasa yang kami miliki melebur bersama pelukan berubah menjadi partikel-partikel dan terbang bersama udara. Baru pertama kali ini aku merasakan takut yang amat sangat. Takut akan kehilangan Fathir dalam hidupku. Dan pelukan ini akan menjadi yang pertama dan terakhir untuk kami.
Tahan Kala....
Hanya sebentar lagi....
Jangan menangis. Aku hanya perlu mengucapkan selamat tinggal, lalu membuka pintu dan keluar dari dalam mobilnya. Setelah itu masuk ke rumah dan menangislah sepuasnya.
Fathir segera melepas pelukannya. Kemudian dia memberikanku senyuman kecil. "Waktu kebersamaan kita habis di hari ini. Aku akan melepaskan dan melupakanmu."
Aku mengangguk dan membalas senyumannya. "Aku tahu."
Aku ikhlas melepasmu Fathir. Melepas kebahagiaan yang pernah kita punya.
"Selamat tinggal Fathir," Ucapku sambil keluar dari mobilnya.
12-April-2018
Btw gue nggak jadi pake SWEEK, lola banget buat login hahaa... padahal gue pingin cari suasana baru. Tapi nasib berkata emng gue jodohnya di WATTPAD. Yaudah deh, ntar publish Hello Bastian di sini aja bareng kakaknya Desember.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eppure Sentire
ChickLitAntara cinta, keragaman, dan kemanusiaan. Bagaimana cara membuktikan manusia saling mencintai? Beri saja perbedaan di antara mereka.