ES [11]

11.8K 1.7K 249
                                    

Aku menghiraukan perkataan Dante dan memilih melangkah masuk ke dalam. Namun pria itu dengan kasarnya menyambar pergelangan tanganku, sehingga helm pemberian dari Fathir tadi pun terjatuh.

"Udah dipecat masih saja ngeyel untuk masuk! Kamu tidak punya rasa malu?" Bentaknya sembari mendorongku keluar dari dalam toko.

Akibat perbuatan kasarnya itu. Tubuhku jadi hilang keseimbangan sehingga kini aku jatuh terjerembab di tanah. Aku meringis saat siku tangan kananku terluka. Sifat kasar Dante ini mengingatkanku pada sosok Dion.

"Pernah sekolah kan? Saya kira kamu cukup paham dengan bahasa Indonesia yang saya ucapkan tadi." Lanjutnya dengan gaya berkaca pinggang.

Sebagian para pegawai keluar dari toko karena mendengar suara keributan antara aku dan Dante. Aku bangkit berdiri tanpa memperdulikan rasa perih di siku tanganku. Meskipun sebenarnya aku ingin menangis tapi aku berusaha untuk tetap tegar. Aku sudah biasa bahkan sering dipermalukan di depan banyak orang seperti ini. Aku hanya perlu memasang muka tembok sebagai pertahanan diri.

"Toko bunga ini milik tante Maria. Beliau yang menerima saya untuk bekerja di sini. Jadi yang berhak memecat saya adalah tante Maria, bukan Anda!" Tukasku padanya.

Suara tawa Dante mengudara mengejekku. "Dan beliau yang kamu maksud itu adalah Mama kandung saya. Asal kamu tahu saja. Tanpa informasi dari saya, kamu tidak akan pernah menerima alamat toko ini dari Fathir."

Aku mengangguk setuju dengan perkataannya. "Iya Anda benar. Tapi Anda harus tahu juga. Bahwa sejauh saya bekerja di sini, saya selalu mengerjakan tugas dengan sangat baik. Semua para pelanggan puas dengan hasil kerja tangan saya dalam merangkai buket bunga. Saya juga belum pernah merugikan serupiah pun di toko milik tante Maria. Lalu bisakah Anda jelaskan di mana letak kesalahan saya, sehingga saya harus dipecat?"

"Jawabannya sederhana. Kamu tidak mendengarkan perkataan saya untuk jangan mendekati Fathir."

"Kami berdua hanya berteman. Apa itu salah?"

Dante mendengus. "Jelas sangat salah! Kamu itu sampah masyarakat! Dan yang namanya sampah harus dijauhi. Karena kamu bukan jenis sampah yang bisa didaur ulang. Kamu itu momok dan aib di masyarakat. Saya beri tahu satu hal. Jangan pernah bermimpi bisa mendapatkan sosok pangeran seperti dongeng Cinderella. Tahu kenapa? Karena yang namanya Cinderella itu polos dan suci. Bukan Cinderella yang rusak dan kotor sepertimu."

Tanpa bisa dicegah, air mataku jatuh menetes seiring dengan hinaan yang dilontarkan Dante barusan. Tidak pernah aku merasa semalu ini saat dipermalukan di depan orang banyak.

"Saya memang rusak dan kotor. Lalu kenapa Anda begitu cemas jika Fathir tergoda dengan wanita murahan ini?" Tanyaku dengan suara bergetar.

"Saya hanya tidak mau jika sahabat saya terjerumus dalam perangkap kotormu."

"Perangkap kotor seperti apa maksud Anda? Ada hal yang perlu Anda ketahui. Fathir itu bukan anak kecil. Dia sudah dewasa untuk tahu mana yang baik dan buruk. Begitu juga dalam hal memilih pertemanan. Jadi saya pikir Anda tidak perlu bersusah payah lagi untuk mengatur hidup Fathir meskipun Anda sahabatnya."

"Sudahlah! Saya tidak terbiasa berdebat dengan orang rendahan sepertimu. Cukup sebut saja apa yang kamu inginkan. Saya akan berikan. Asal kamu menjauh dari kehidupan sahabat saya, Fathir."

Aku sadar, orang sepertiku memang selalu menjadi sasaran empuk untuk dijadikan pihak yang bersalah. Tapi aku bosan jika harus terus-menerus menjadi pihak yang disalahkan. Kulangkahkan kaki ke depan menghampirinya. Kutatap kedua matanya.

"Kenapa harus saya yang menjauh? Kenapa Anda tidak meminta sendiri ke Fathir untuk menjauhi saya? Berani tidak Anda berbicara seperti itu langsung ke Fathir?" Tanyaku menantangnya. "Jangan hanya karena saya memiliki masa lalu yang buruk, Anda jadi semena-mena dan melimpahkan semua kesalahan pada saya. Bukan salah saya jika Fathir tertarik untuk berteman dengan saya."

Eppure SentireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang