ES [19]

10.8K 1.5K 241
                                    

Di hari sabtu paginya aku mendatangi makam Kasih lebih dulu, sebelum pergi dengan Fathir ke puncak Bogor. Sesampainya di sana, aku cukup terkejut mendapati sosok Dion tengah membersihkan makam Kasih dan menaburkan bunga yang baru di atasnya. Mungkin Dion menyadari kehadiranku, sehingga kini dia langsung berdiri untuk beranjak pergi.

Aku menahan pergelangan tangan kanannya. Dion berhenti, lalu menatapku.

"Kenapa Dion?" Tanyaku pelan. "Kenapa baru sekarang kamu menyesal? Kenapa harus menunggu putri kita pergi, baru kamu seperti ini?"

Tak ada jawaban. Dion hanya diam. Tapi kali ini dia tak berani menatapku.

"Jawab aku Dion!"

"Biarkan aku pergi Kala, jadi lepaskan genggamanmu itu."

Aku mengangguk. "Baiklah. Silahkan pergi dari sini. Tapi aku minta kamu jangan datang atau menginjakkan kaki ke makam Kasih lagi!"

"Kasih putriku juga Kala."

"Putri yang kamu sia-sia kan! Jangan lupa itu."

Dion tampak frustasi dan mengacak rambutnya. "Apa yang mau kamu dengar dari aku Kala? Apapun yang aku katakan dan seberapa banyak kata penyesalan yang aku ucapkan. Itu tidak akan mengembalikan keaadan seperti semula. Kasih juga tidak akan hidup lagi. Aku ini bukan suami yang baik. Aku juga bukan Ayah yang baik. Aku tidak tahu bagaimana cara menebus kesalahanku pada kalian berdua. Bahkan kata maaf pun tak pantas aku ucapkan. Aku terlalu jahat. Aku terlalu brengsek. Kamu dan Kasih adalah korban dari semua keburukan yang ada dalam diriku! Jadi biarkan aku pergi Kala. Aku malu menunjukkan diriku di hadapanmu saat ini. Setiap kali melihatmu, rasa bersalah langsung menghantuiku karena perbuatan burukku padamu."

Air mataku jatuh tak bisa kucegah. Kedua pipi sudah basah. "Seandainya penyesalanmu itu datang lebih cepat, mungkin Kasih bisa merasakan cinta dan pelukan hangat dari seorang Ayah. Dari kecil dia selalu bertanya kenapa Papanya suka memukul? Kenapa Papanya meninggalkan dia? Kenapa Papanya begitu menakutkan setiap kali mabuk?"

"Hentikan Kala. Jangan teruskan lagi. Aku mohon padamu," Pinta Dion dengan suara melemah.

Kuhapus air mataku dan tersenyum memandang ke atas langit. "Sekarang Kasih udah bahagia di sisi Tuhan. Dia tidak akan kekurangan apapun. Dia juga tidak memerlukan sosok Ayahnya lagi. Sudah ada Tuhan yang menjaga Kasih. Karena Tuhan akan memberikan apa yang tidak pernah Kasih dapatkan darimu, sewaktu masa dia hidup di sini."

"Aku menyesali perbuatanku, Kala." Kepala Dion tertunduk menatap tanah. "Aku sungguh menyesal. Apa yang harus aku lakukan untuk menebus semua kesalahanku terhadapmu dan juga Kasih? Katakan saja. Aku melakukannya. Termasuk menghilang dari dunia ini untuk selamanya pun, akan kulakukan. Karena aku memang pantas itu."

Aku menatap Dion yang tengah berdiri menunduk di hadapanku. Sekarang aku sudah dapat melihat sosoknya yang dulu pernah hilang beberapa tahun lalu. Dion yang seperti inilah, yang aku kenali sewaktu awal bertemu. Yang membuat aku mabuk akan cinta. Sehingga membuatku nekad kabur dari rumah, supaya bisa menikah muda dengannya. Menyerahkan hidup dan masa depanku. Berharap bahwa memang dialah pria pertama dan terakhir yang dikirimkan Tuhan untukku. Namun harapanku tak sesuai dengan kenyataan. Pilihanku salah. Ternyata Dion bukanlah sosok pria yang Tuhan kirimkan untukku.

"Aku minta maaf Kala. Tapi aku tidak akan memintamu untuk memaafkanku. Tidak. Aku tidak pantas untuk kamu maafkan. Kata maaf tidak sebanding dengan semua penderitaan yang kamu alami karena kebodohanku." Dion berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh menetes saat menatapku.

Aku melangkah semaju dan memeluk Dion. Saat itu, tangis Dion pecah dalam pelukanku. Tubuhnya bergetar seiring suara tangisnya.

"Aku salah, Kala. Aku minta maaf." Dion mengucapkan itu secara berulang-ulang. Aku tidak mengucapkan sepatah kata pun. Namun aku ikut menangis bersama dirinya.

Eppure SentireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang