"Aku sudah menengok kak Soonyoung, kondisinya buruk. Dia sudah tidak datang ke kantor lagi sejak dua minggu yang lalu, yang dia lakukan setiap hari hanya berputar-putar mencari Jihoon. Dan ketika aku menengok ke rumahnya, dia tampak mengenaskan kalau sedang di rumah, dia tidak bercukur, dan Hanya diam di kamar seperti orang gila. Mengutuk dirinya sendiri." Wonwoo duduk di depan mamanya dengan prihatin, "Kita harus menemukan Jihoon untuknya, kalau tidak aku cemas dia akan benar-benar jadi gila."
"Kata supir pribadinya, dia juga selalu berkeliling setiap malam, tidak pulang, mengitari seluruh penjuru kota, mencari Jihoon." Sang mama memijit kepalanya yang berdenyut, "Mama juga mencemaskan Soonyoung. Apakah kau sudah mencari informasi? Bagaimana dengan para pegawai yang mengenal Jihoon di kantor dulu?"
"Aku menanyai mereka semua. Tetapi tidak ada yang tahu di mana Jihoon."
"Bagaimana dengan Seungkwan, Jihoon menggantikan tugasnya bukan? Dan aku dengar mereka cukup akrab."
"Seungkwan adalah orang pertama yang didatangi Soonyoung." Wonwoo mengingat Soonyoung pernah bercerita kepadanya. "Tetapi kata Seungkwan, Jihoon tidak datang kesana."
Kedua wanita itu bertatapan. Bingung. Mereka tidak bisa melakukan apapun untuk menolong Soonyoung. Yang dibutuhkan Soonyoung adalah kehadiran Jihoon. Hanya itu.
Ah Jihoon. Di manakah kau? Tidak kasihankah kau kepada Soonyoung?
***
Pagi itu seperti biasanya Jihoon membantu Seungkwan memandikan si kecil. Sudah satu minggu Jihoon tinggal di rumah Seungkwan. Sahabatnya itu melarangnya pergi dulu. Dan Jihoon menerima tawarannya itu. Mengingat kondisinya tidak memungkinkan. Dia selalu merasa mual, dan ingin muntah setiap saat. Kepalanya kadang terasa pening sehingga berdentam-dentam. Dan kondisinya itu bahkan belum membaik selama seminggu tinggal bersama Seungkwan.
Si Kecil sudah dimandikan, dan Seungkwan memberinya asi. Sementara Jihoon merapikan kembali perlengkapan mandi bayi. Ketika dia membungkuk untuk meletakkan handuk ke keranjang cucian, tiba-tiba ada rasa sakit yang menjalar di perut bagian bawahnya. Nyeri luar biasa yang membuatnya mengerang sambil berpegangan ke rak handuk di sampingnya.
"Jihoon?"
"Sakit sekali." Jihoon memegang perutnya yang serasa di remas-remas. Nyerinya luar biasa.
Seungkwan meletakkan bayinya yang sudah tertidur dan kenyang di buaian, dia melangkah mendekati Jihoon. "Ayo Jihoon, mungkin kau terlalu tegang dan kelelahan. Berbaringlah dulu..... Oh Astaga!" Seungkwan memekik, "Jihoon... kau berdarah!"
Jihoon menunduk dan menatap ke bawah. Ke arah kakinya. Dia memakai rok selutut. Dan dari lututnya, tampak cairan merah yang mengalir dari kewanitaannya, mengalir turun melewati betisnya, sampai ke kaki.
"Aku akan menelepon Soonyoung!" Seungkwan meraih ponselnya, Jihoon mengerang, mencoba mencegah Seungkwan,
"Jangan! Jangan Seungkwan!"
Sahabatnya itu menatapnya tajam. "Harus Jihoon. Dia suamimu, ayah dari bayi di perutmu. Rumahnya dekat dari sini, dia bisa sampai dalam beberapa menit. Lebih cepat daripada kalau kita memanggil taksi." Seungkwan melirik cemas kepada Jihoon yang kini sudah duduk di kursi dan memegang perut bawahnya dengan kesakitan. Lalu menelepon Soonyoung.
***
Soonyoung datang dengan begitu cepat. Lelaki itu sepertinya mengebut kemari. Ketika Seungkwan membuka pintu, atasannya itu berdiri dengan mata nyalang, cemas luar biasa.
"Di mana Jihoon?"
"Di dalam. Tuan Hoshi, maafkan saya waktu itu membohongi anda...."
"Tidak apa-apa...terima kasih sudah meneleponku." Soonyoung bergerak masuk setengah berlari. Menemukan Jihoon yang terduduk di kursi. Darah segar mengalir di kakinya, dan Jihoon tidak berani berdiri sama sekali, takut dia akan mengalami pendarahan yang lebih parah. Wajah Jihoon semakin pucat ketika dia melihat Soonyoung masuk dan berdiri dengan cemas di sebelahnya.
"Sayang..." lelaki itu berbisik lembut bercampur kecemasan, "Tahan cintaku, aku akan membawamu ke rumah sakit." Dengan cepat Soonyoung membungkuk di depan Jihoon menyapukan tangannya di punggung dan lutut Jihoon, lalu mengangkatnya seolah Jihoon begitu ringan. Jihoon melingkarkan lengannya di leher Soonyoung, menyandarkan kepalanya di dadanya.
Perutnya sakit, tetapi berada digendongan Soonyoung membuatnya merasa nyaman. Lelaki itu berhenti sebentar di dekat pintu, "Terima kasih Seungkwan."
"Sama-sama. Semoga Jihoon tidak apa-apa." Seungkwan mengiringi kepergian mereka dengan tatapan cemas.
Soonyoung melangkah cepat menuju mobilnya, ke tempat supirnya yang sudah menunggu dan membukakan pintu. Masih menggendong Jihoon, Soonyoung masuk kemudian memangku Jihoon. Mobil pun melaju dengan kencang menuju rumah sakit.
Jihoon mengerang ketika rasa nyeri itu menyerangnya lagi. Membuat Soonyoung menunduk menatapnya dengan cemas, "Sakitkah sayang? Tahan ya. Kita sebentar lagi sampai."
Jihoon bergerak tidak nyaman di pangkuan Soonyoung, dia hanya memakai rok dan dia berdarah. Darahnya akan mengotori celana Soonyoung, "Aku berdarah... aku akan mengotori.."
"Jangan cemaskan itu." Soonyoung menyela tajam, lalu memeluk Jihoon erat-erat. "Ya Tuhan. Jihoonku. Semoga kau tidak apa-apa. Aku bisa mati kalau kau kenapa-kenapa."
Jihoon masih mendengar kalimat terakhir itu dan hatinya terasa hangat, tetapi setelah itu, dia tidak mendengar apa-apa lagi. Rasa sakit yang luar biasa telah merenggut kesadarannya. Mambuatnya pingsan.
TBC
![](https://img.wattpad.com/cover/126484834-288-k266727.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
【√】HEROES ↪soonhoon
Fanfic⛔[Warn!GS/GenderSwitch] 🔞 PRIVATE! Hari itu, Soonyoung menyadari, bahwa perbuatannya telah menghancurkan hidup sebuah keluarga. ---- "Aku yang merenggut semua kebahagiaannya. Sebelum semua bisa aku kembalikan kepadanya dalam kondisi utuh, aku tidak...