🌌34

2.7K 292 17
                                    

"Jangan angkat itu." Soonyoung meraih keranjang buah kecil yang dibawa Jihoon dengan cekatan, "Demi Tuhan, Jihoon duduklah! Tidak usah membantu apa-apa. Biar Wonwoo dan para pelayan yang membereskan semuanya."

Sambil berdiri di sana dan berkacak pinggang, Soonyoung benar-benar tampak seperti seorang arogan yang suka memerintah-merintah orang, membuat Jihoon cemberut.

"Soonyoung, aku bisa membawa diriku sendiri. Dan aku pegal kau suruh duduk seharian."

"Kau sedang hamil besar dan tubuh mungilmu itu kelelahan membawa-bawa perutmu yang begitu besar." Soonyoung menatap mengancam, "Duduk Jihoon, atau aku tidak akan mau memijit kakimu lagi."

Tentu saja itu bohong. Soonyoung tidak pernah lupa memijit kaki Jihoon setiap malam, dengan minyak essensial yang lembut, membantu Jihoon menghilangkan pegal-pegalnya karena harus membawa-bawa kandungannya yang semakin membesar. Soonyoung juga tidak lupa membantu mengoleskan minyal zaitun ke perut Jihoon yang semakin membuncit setiap malamnya.

Hari ini mereka sedang menyiapkan kamar bayi. Kamar bayi itu terletak tepat di sebelah kamar Soonyoung dan Jihoon, dengan pintu penghubung yang dekat dengan ranjang. Soonyoung sudah menyiapkan kamar bayi itu sejak tiga bulan lalu. Mendekorasi, mengganti cat dinding dan wallpaper-nya dengan nuansa pink lembut - karena hasil USG menunjukkan kalau bayi mereka perempuan - dan menyiapkan perabotannya. Ketika Jihoon memprotes bahwa dia mungkin saja tidak akan tinggal di rumah Soonyoung lagi ketika anak ini lahir, Soonyoung membungkamnya dengan mengatakan tidak mungkin Jihoon langsung pergi begitu saja setelah melahirkan. Jihoon butuh waktu untuk merawat anaknya, sampai beberapa bulan. Baru setelah itu mereka bisa membicarakan kesepakatan mereka untuk berpisah. Jihoon mendengus dalam hati ketika teringat betapa dia tidak mampu membantah. Pantas perusahaan Soonyoung begitu maju dan pesat, lelaki itu sangat pandai bernegosiasi dan memanipulasi lawannya.

Tadi pagi, perabot terakhir dan yang paling penting datang, sebuah ranjang bayi. Dari gambar kotaknya, ranjang itu indah, berwarna putih, sebuah tempat tidur mungil dengan nuansa pink. Jihoon bisa membayangkan bayinya berbaring di sana seperti boneka mungil yang terlelap dalam kedamaian.

Lelaki itu merakit ranjang bayinya sendiri dengan bersemangat, sibuk sendiri di dalam kamar bayi itu. Sementara itu Wonwoo datang membawa berbagai macam boneka hadiahnya, semuanya bernuansa pink dan mengaturnya di kamar, membuat kamar itu tampak benar-benar seperti kamar bayi.

"Sudah jadi, ayo Jihoon lihatlah." Soonyoung mengajak Jihoon berdiri dengan hati-hati, nada suaranya sangat bersemangat, Jihoon berjalan dengan Soonyoung di belakangnya, langkahnya terhenti di ambang pintu, dan terpesona. Kamar bayi itu sudah siap, begitu indah dan cantik seolah tidak sabar menunggu bayi mereka yang akan lahir. Satu-satunya yang kurang dari kamar itu adalah bayi itu sendiri.

"Cantik ya." Soonyoung berbisik, berdiri tepat di belakang Jihoon dan melingkarkan lengannya dengan lembut di perut Jihoon yang buncit, menyandarkan tubuh Jihoon ke dadanya. Dagunya bertumpu di puncak kepala Jihoon.

Jihoon menikmati momen indah itu, membiarkan Soonyoung merangkul tubuhnya makin erat, "Ya. Cantik sekali, Bayi ini pasti akan bahagia terlahir ke dunia ini."

Mereka berpelukan dalam keheningan, mengagumi keindahan kamar bayi mereka.

Dan Wonwoo ada di sana, menatap kedua pasangan itu dari kejauhan dan mengusap air matanya. Soonyoung tampak begitu bahagia. Jauh terlihat bahagia dari masa-masa itu, ketika dia menanggung dosa masa lalunya dengan sepenuh hati. Dan Wonwoo berharap, Soonyoung bisa bahagia terus selamanya, dengan Jihoon, dengan keluarga kecil yang akan dibangunnya.

***

Pagi itu Jihoon merenung. Dia sudah mengambil keputusan. Tetapi sebelum itu dia harus melakukan sesuatu. Soonyoung sedang ada di kantor, mengurus pertemuan dengan koleganya. Lelaki itu jarang ke kantor selama Jihoon hamil, menyerahkan kendali perusahaan di tangan Wonwoo dan mengurus segala sesuatunya dari rumah, dia hanya meninggalkan Jihoon untuk keperluan bisnis yang sangat penting dan tidak bisa diwakilkan, seperti hari ini.

Diraihnya ponselnya dan dia menelepon, suara Wonwoo menyahut dengan cepat di sana. "Ya Jihoon?"

"Apakah kau sedang sibuk?"

"Tidak, Soonyoung ada di sini sedang meeting. Jadi aku sedikit leluasa di kantor. Ada apa Jihoon? Kau baik-baik saja? Kau butuh bantuan?"

"Aku baik-baik saja Wonu." Sejak mereka makin akrab, Jihoon memanggil Wonu sama seperti cara Soonyoung memanggilnya. "Tetapi aku minta bantuan kepadamu, maukah kau mengantarku ke suatu tempat?"

Wonwoo mengernyit di seberang sana, "Tentu saja. Sekarang? Kemana Jihoon?"

Jihoon menelan ludahnya, "Iya, sekarang. Aku takut aku keburu melahirkan dan nanti tidak sempat lagi....aku ingin kau mengantarku mengunjungi makam orangtuaku...."

Jeda sejenak, terdengar Wonwoo menahan napas, tetapi lalu segera berkata. "Tunggu. Aku jalan ke rumah untuk menjemputmu. Sekarang."

***

Soonyoung menyelesaikan rapat itu dan melangkah menuju ruangan Wonwoo, tetapi ruangan itu kosong. Dia mengerutkan keningnya. Di mana Wonwoo? Soonyoung harus segera pulang dan menjaga Jihoon, jadi dia harus menyampaikan hasil rapat tadi kepada Wonwoo sebelum pulang supaya adiknya itu bisa menindaklanjuti langkah-langkah yang akan mereka diskusikan bersama.

Karena Wonwoo tidak ada, Soonyoung melangkah kembali ke ruangannya. Dia menghampiri Seungkwan yang sedang sibuk dengan jadwal meeting. Sejak Soonyoung jarang masuk, Seungkwan yang sudah kembali dari cuti melahirkannya mengerjakan pekerjaan ganda, merangkap sebagai asisten Wonwoo.

"Kemana adikku?"

Seungkwan mengangkat matanya dari layar komputer, "Oh. Tuan Hoshi, anda sudah selesai meeting, tadi Ibu Wonwoo buru-buru pergi, dia meminta saya menyampaikan pesan kepada anda. Dia pergi untuk mengantar Jihoon, mengunjungi makam orangtuanya.

***

Jihoon berdiri di depan makam ayah dan ibunya yang berdampingan, dengan susah payah diletakkannya rangkaian bunga yang dibelinya di bawah kedua batu nisan itu. Dia ingin berlutut dan memeluk batu nisan itu, tetapi perutnya yang besar membuatnya tidak bisa melakukannya.

Sementara Wonwoo berdiri agak jauh, mengawasi dari jarak yang cukup. Tahu bahwa Jihoon butuh waktu sendirian bersama makam orangtuanya, dan memberikan privasi itu untuk Jihoon.

Jihoon menatap makam ayahnya, lalu ibunya berganti-ganti, dia bergumam dalam hatinya. Melakukan percakapan lembut yang diyakininya tersampaikan kepada kedua orang tuanya.

Ayah...ibu...aku ada disini. Mungkin kalian bisa melihatku di atas

sana...Aku sedang mengandung, anak ini anak Kwon Soonyoung. Ayah dan ibu pasti tahu siapa dia. Dia adalah orang yang bertanggung jawab atas kematian ayah.....

Jihoon mengerjap menahan air matanya,

Tetapi aku mencintainya....ampuni aku....Aku sangat mencintainya. Dia pria yang baik, dia memperlakukanku dengan penuh kasih sayang, dan dia sudah berjuang untuk menebus semua kesalahannya. Aku tahu tidak seharusnya aku mencintainya, tetapi aku mencintainya.

Jihoon menghela napas panjang, bergerak sedikit untuk mengelus kedua batu nisan orang tuanya,

Aku mencintainya. Dan meski dulu aku pernah berjanji untuk tidak akan memaafkannya, aku memaafkannya. Dan semoga, ayah dan ibu juga bisa memaafkannya....

Jihoon memejamkan matanya, merasakan angin semilir lembut yang tiba-tiba menghembusnya, membuat rambutnya berserakan, dan membuat hatinya terasa damai. Dia bisa merasakannya. Ketenangan yang luar biasa. Kelegaan yang luar biasa atas penerimaan itu. Memaafkan Soonyoung.

Tetapi kemudian rasa nyeri merayapi punggungnya, membuatnya meringis. Wonwoo melihat perubahan itu dan mendekati Jihoon dengan cemas,

"Kenapa Jihoon?"

Jihoon menatap ke bawah, air bening itu mengaliri pahanya, turun ke kakinya dan beberapa menetes ke tanah, dia tahu apa yang terjadi.

"Wonwoo...air ketubanku...pecah...aku akan segera melahirkan..."

Tbc

【√】HEROES ↪soonhoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang