Part 21

2.2K 268 52
                                    

13 Februari 2018

Karena sakitnya ditinggal gebetan nggak akan sebanding dengan ditinggal orang tua

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Karena sakitnya ditinggal gebetan nggak akan sebanding dengan ditinggal orang tua.

Karena sakitnya ditinggal gebetan nggak akan sebanding dengan ditinggal orang tua

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sesampainya di rumah, ponselku berdering. Aku langsung merogoh tas dan melihat siapa penelpon itu. Kaviar Panjaitan. Keningku mengerut otomatis. Ngapain pula dia menghubungiku begini? Aku malas menjawab panggilannya, kubiarkan ponsel itu tergeletak di meja.

Rasanya malas berinteraksi dengan siapapun disaat mood dalam mode buruk seperti sekarang. Tapi, ponselku masih saja berbunyi, aku tahu itu pasti Kaviar lagi. Dia memang nggak ada matinya.

Karena kesal mendengar bunyi dari ponsel sendiri, akhirnya aku menyambar dan menjawab panggilan itu dengan ketus. Sialnya, Kaviar tidak menanggapi nada suaraku saat menyapanya.

"Lo dimana, Ra?" tanyanya, terdengar khawatir.

"Rumah. Kenapa?"

"Kok tumben jam segini lo udah balik?"

Aku mengerutkan kening, melirik sekilas arloji. Masih jam lima sore. Benar juga sih, jarang aku pulang sebelum matahari tenggelam begini.

"Lagi malas lama-lama di kampus, pengin langsung pulang aja."

Kudengar Kaviar menggumam. "Ada yang bikin bad mood?"

Aku melongo. Sumpah, ini Kaviar lagi kenapa sih? Suaranya juga lembut banget di telepon gini. Ini pertama kalinya dia menelponku, biasanya hanya basa-basi via chat saja.

"Nggak ada," sahutku.

Kubiarkan jeda sesaat. Ingin tahu apalagi kalimat darinya untuk membuat percakapan antara kami.

"Gue pikir lo kenapa-napa, Ra. Makanya gue telepon. Soalnya tadi di kantin kan gue liat lo, dipanggilin sama Ora dan Viktor lo cuma senyum aja nggak kayak biasanya."

Nah. Kaviar yang selalu kuanggap sebagai kakak senior terbaik di kampus ini perhatiannya sejak pertama kali kenal nggak pernah pudar. Walaupun kutahu ada maksud terselubung dari sikapnya. Lalu, dia yang selalu punya alasan untuk perpanjang obrolan.

Sehitam Brownies Seputih SusuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang