Epilog

2.4K 182 17
                                    

Cewek slengek'an penyuka brownies dan blacklist dari wife material.

Itu adalah predikat yang tersemat di antara anak-anak kampus padaku. Khusunya anak fakultas Komunikasi.

Namun aku sekarang sudah jauh lebih terkontrol kok. Dan sedang berusaha keras untuk menjadi wife material bagi Deon.

Iya, Deon Andaresta. Manusia paling sempurna yang dulu membuatku minder. Ternyata dia tetap manusia biasa, dia sendiri yang selalu bilang:

"Nggak ada manusia yang sempurna, Ai"

Dan ya ... dia salah satunya. Dia sendiri yang membuktikan ucapannya itu.

Keras kepala, manja, anak Mami, sering rewel kalau stock susu di kulkas apartemennya habis, terkadang sifatnya yang dewasa itu bisa luntur dan mendadak kekanakan.

Misalnya sekarang, dia sejak tadi belum mau beranjak dari sampingku. Bersandar sambil memainkan game di ponselnya.

"Makan dulu, Yon. Itu mie goreng keburu berubah jadi mie lembek!" omelku.

Deon tidak menggubris omelanku. Aku menghela napas panjang. Mendorong tubuh besarnya menjauh dari pundakku, dan aku mengambil piring berisi mie goreng Deon. Menggulung mie-nya dan menyodorkan pada Deon.

"Makan!"

Dia melirik aku sekilas, dan melahap gulungan mie itu.

Astaga, Tuhan ... sabar banget punya pacar kayak gini. Nanti kalau aku sudah menikah dengan Deon, apakah akan seperti ini juga?

"Makan sendiri ah, manja banget!"

Deon menggeleng, menahan piring agar tetap digenggamanku.

"Suapin!"

Aku berdecak jengah. Serius. Ini Deon yang sempurna itu, Gaez!

Kuturuti saja kemauannya, sampai mie gorengnya habis. Dan kuperhatikan saja dia. Habis makan mie instan, sekarang minum susu kotak.

Aku kayaknya pacaran dengan anak usia lima tahun deh, bukan dua puluh dua tahun.

Tunggu ... kok kayaknya umur Deon tua banget?

Astaga! Aku bahkan lupa, kami menjalin hubungan yang nggak akan pernah sempurna ini sudah setahun lebih. Sebentar lagi dua tahun.  Nggak terasa deh.

Deon berdiri meninggalkanku, berjalan menuju dapur. Kuperhatikan saja dia yang sibuk sendiri dengan dunianya.

Aku bersandar pada sofa. Mengingat bahwa tempat ini sudah terlalu sering menjadi saksi bisu hubungan kami. Dari pertengkaran, hingga cumbuan hebat seorang Deon.

Hebatnya, Deon tidak seperti laki-laki lain yang pernah jadi mantanku. Sejauh ini kontrol dirinya sangat baik.  Dia tidak pernah memintaku melakukan hal-hal yang merugikan, tidak ada istilah simbiosis mutualisme. Deon mampu memperlakukanku selayaknya pacar rasa sahabat, bukan pacar rasa pemuas nafsunya.

Serius, Deon sehebat itu. Dan aku yang sangat bersyukur, aku juga masih bisa menjaga diriku sendiri. Tidak ada sekalipun tersirat akan menggoda Deon dan melakukan hal yang biasa orang seusia kami lakukan; having sex.

Aku sangat bersyukur Deon menjagaku dengan baik hingga detik ini. Kemungkinan terbesar sebagai seorang manusia yang memiliki hawa nafsu, yang kami lakukan hanya sebatas french kiss, tidak lebih, dan tidak akan pernah lebih hingga Deon memintaku untuk menjadi istrinya kelak.

Eh, istri? Sudah kepikiran sampai sana?

Jujur, iya ... mungkin aku sudah memasuki fase ini. Malas untuk beradaptasi lagi dengan orang lain.  Lagipula, jodoh atau tidaknya dengan seseorang, itu adalah sesuatu yang diusahakan.

Kami masih punya banyak mimpi yang harus diraih. Setelah lulus kuliah selangkah lagi, kami harus mulai merancang semua hal yang mengarah pada keseriusan.

Sejak awal Deon bilang, menjadikanku pacar adalah satu-satunya, dia mau menjalin hubungan yang serius, jangka panjang, bukan hanya untuk main-main. Dan aku sangat bersyukur akan hal itu. Memang itu yang kuinginkan sejak awal.

Rasa trauma untuk takut menikah atau memiliki keluarga broken home sudah tidak aku rasakan lagi sejak bersama Deon. Dan Deon sudah tahu semuanya, sedetil-detilnya. Aku pernah menceritakan keadaan keluargaku padanya, lebih detil dari sebelumnya. Tentang traumatis yang kualami dan menjaga diri dalam artian, virginity.

Makanya, mungkin karena itu salah satu hal pendorong yang membuat Deon sangat menjagaku, menghormatiku, tidak pernah meminta hal yang aneh-aneh.

"Mama udah ngehubungin kamu?" tanya Deon, sambil memberikanku sebatang coklat.

Aku menggeleng dan menerima coklat itu. "Belum. Kemarin bilang mau pulangnya malam. Berarti kamu harus tunggu Mama sampai malam."

Deon mengedikkan bahu. "Nggak masalah, asalkan sama kamu di sini."

Dih. Klasik banget kan ucapan Deon itu?

By the way, aku sudah sangat berkurang dari rokok sejak bersama Deon. Dia selalu mengalihkan keinginanku untuk merokok. Entah itu memberikanku coklat seperti sekarang ini, atau memberikanku permen hingga brownies beragam jenis.

Intinya, tiga jenis makanan itu hampir jadi makanan pokok untuk mengalihkan hasrat ingin merokok yang kualami. Jadinya, sekarang apabila merokok ya di kamar mandi, atau jika tidak bersama Deon. Itupun Deon selalu mengingatkan di chat atau telepon untuk tidak menyentuh rokok.

Astaga ... aku bisa mendapatkan pasangan seperti Deon dimana lagi, ya? He's deserve me better.

Sepertinya Deon sadar aku bicarakan sejak tadi, sekarang pandangannya sudah mengunci pandanganku.

Tubuhnya mendekat dan ya ... aku tahu apa yang akan dilakukan Deon selanjutnya.

"Selama kita pacaran, kayaknya kita belum pernah ngerasain ciuman rasa coklat ya, Ai?"

Tuhkan! Tanpa aba-aba dia langsung menarikku dan menautkan bibir kami.

Sangat intens. Sudahlah, aku ikuti saja alurnya.

Sekarang aku paham, kenapa Deon memberikanku lima kotak susu dan sekotak brownies saat memintaku untuk jadi lebih dari seorang teman.

Karena Sehitam Brownies Seputih Susu. Aku yang buruk, layaknya brownies tapi ternyata masih bisa dinikmati dan diterima masyarakat, karena berdampingan dengan putihnya susu, yang masih murni dan belum tercemar hal-hal lain. Karena mungkin orang-orang disekitarku sudah tahu bagaimana keadaan keluargaku, bagaimana aku menjaga diri dengan baik.

Aku sudah tidak terlalu peduli dengan predikat "cewek nakal" yang disematkan orang lain hanya karena penampilanku.

Dan oh ya ... kenapa lima kotak susu? Karena menurut Deon, untuk menyempurnakan saja. Empat sehat lima sempurna.

Nggak jelas banget, kan?

Iya itulah Deon!

Dan, jangan tanyakan apakah keluargaku kembali utuh?

Jawabannya, aku serahkan semua urusan hidupku kepada Tuhan. Biarkan semuanya berjalan sesuai rencana-Nya. Mama dan Papa sudah terlalu tua untuk kembali bersama, tapi bukan berarti harapan itu sudah sirna, kan? Karena faktanya, aku yakin mereka masih saling mencintai.

Ya Maha Dewa yang paling suci, netizen memang selalu kepo, tapi aku tidak peduli. Hidupku yang cacat bisa tertutupi dengan baik saat aku menerimanya dengan ikhlas. Biar saja waktu yang berbicara.

~•••~

THE END

17 DESEMBER 2019

Terima kasih kalian sudah mampir, terima kasih sudah membaca hingga Epilog, dan terima kasih selalu sabar menunggu.

Semoga nggak menunggu dalam hal lain yah, cukup SBSS aja yang ditungguin he he he

Jadi, gimana menurut kamu tentang cerita Aira ini?

Tinggalin komen ya, biar aku tau apa reaksi kamu dari awal sampai SBSS tamat.

Sehitam Brownies Seputih SusuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang