Part 38

1.5K 168 37
                                    

Tepat jam sepuluh malam Deon pamit pulang, disusul dengan Shakira yang dijemput suaminya untuk pulang ke rumah mereka. Aku pun langsung masuk kamar dengan membawa kotak pemberian Deon setelah berbincang sejenak dengan Mama di meja bar seperti biasanya.

Kubuka kotak itu setelah duduk di kasur. Kotak merah warna burgundy dengan pita merah muda yag sudah berantakan karena sebagian isinya sudah dimakan Aldric tadi sore.
Ada kertas kecil yang masih terlipat rapi. Aku berhutang untuk membukanya.

Tertulis nama Deon Andaresta di lipatan pertama kertas itu.

Ai, kencan yuk.

Gue yakin lo pasti jijik baca tulisan di atas. Dengan lo baca kertas ini, berarti lo udah terima gue buat lebih dari seorang teman. Gue nggak bisa tulis hal romantis di sini. Makna dari isi kotak ini adalah; ada 5 kotak susu yang mau jadi pelengkap buat makan brownies.

Kenapa ada 5 kotak? Ya, nggak ada makna apa-apa sih sebenernya hahah.

Udah ah, gue malu sendiri nulisnya. Klasik gini, semoga lo nggak ilfeel ya.

Selama membaca tulisan di kertas aku cengar-cengir gini. Iya sih, kenapa Deon jadi klasik banget, ya? Tapi nggak apa-apa deh, biar dia usaha. Lagi pula, klasiknya dia nggak bikin merinding jijik dan memuakkan kok.

~•••~

Aku dan Deon kembali ke kantin payung setelah mencari makan di luar kampus. Menghampiri ketiga temanku di payung favorit kami.

Seperti biasa, mereka sepertinya tidak ada cita-cita untuk pulang, karena sejak mata kuliah selesai jam sebelas tadi, mereka masih di sini--by the way, ini jam 3 sore.

"Kok kalian masih ada di sini aja sih? Nggak ada yang punya cita-cita untuk kembali ke rumah masing-masing?" tanyaku sambil tersenyum jahil.

"Nggak ada. Cita-cita gue mau jadi dokter udah kandas. Apalagi cita-cita pulang ke rumah," sahut Zorama.

Kami serentak tertawa kecuali Levin.

Levin langsung melirik ke arahku dan Zorama, dia berhenti memainkan kameranya. "Mana ada dokter gila kayak lo. Wajar aja Tuhan bikin lo gagal jadi dokter. Nggak pantes!"

Aku terbahak, Deon cengar-cengir, Atania geleng-geleng, muka Zorama mendadak asam banget.

"Nah, itu lo tau, Lep. Gue mah tertakdir jadi anak komunikasi aja lah, tertakdir jadi jodohnya Atania," kata Zorama, sambil melirik Atania dan mengedipkan sebelah matanya.

"Idih, gue ngilu liatnya," protesku sambil membuang muka, menyembunyikan wajahku di balik pundak Deon.

Deon malah mengusap rambutku dan tertawa menanggapi kesampahan teman-temannya.

Aku langsung duduk tegap, salah tingkah dengan perlakuan Deon. Melirik hati-hati pada ketiga temanku yang sama-sama menatap aku dan Deon dengan tatapan curiga.

Deon berdeham, membetulkan posisi duduknya, aku merapikan rambutku dan mengalihkan pandangan dari mereka.

"Ada yang baru?" tanya Levin pada Zorama.

Aduh, mati nih gue ...

"Apatuh?" tanya Zorama.

"Sekarang, kemasan Oreo berubah loh!" kata Zorama sambil mengambil bungkus biskuit yang digenggam Atania.

Sehitam Brownies Seputih SusuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang