Part 25

2.1K 281 45
                                    

23 Maret 2018

Pengakuannya menghancurkan gue perlahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pengakuannya menghancurkan gue perlahan. Apabila keributan ini diteruskan, makna persahabatan kami pun bisa hancur.

 Apabila keributan ini diteruskan, makna persahabatan kami pun bisa hancur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Aku merasa hidupku yang dulu benar-benar kembali lagi. Kehidupan malam, jarang pulang ke rumah, bersenang-senang dengan cara yang menghancurkanku perlahan.

Aku tahu sejak awal ini adalah resiko paling mungkin terjadi saat aku memutuskan membiarkan Kaviar ada di dalam hidupku, menyentuh setiap sisi hidupku dengan perlahan, menyeretku mengikuti arus kehidupannya yang sama kerasnya.

Dan aku melakukan itu. Aku tak menghitung seberapa lama kedekatan kami, yang jelas Kaviar sudah berkali-kali menyatakan perasaannya hingga aku muak. Aku belum membalas pernyataannya karena merasa ada yang salah dalam siklus kedekatanku dengan anak pejabat itu.

Iya, siklus yang tidak normal itu memang sering terjadi pada anak-anak "berkehidupan malam" seperti kami. Dan iya, aku sudah memberikan bibirku kepada Kaviar. Bahkan kami belum memiliki status apapun. Kaviar hanya menyatakan perasaannya terus menerus, atau mungkin saja dia sudah menganggap aku sebagai miliknya. Entahlah. Hubungan di usia dua puluhan memang seperti itu. Rumit. Membingungkan. Tanpa kejelasan pun, bisa saja kami sudah sepasang kekasih. Entah di mata Kaviar atau orang lain.

Sekarang aku berada di kafe daerah Senopati. Tak ada mata kuliah hari ini, Levin mengajakku bertemu di sini. Katanya ada sesuatu yang ingin dia bicarakan serius denganku. Padahal pikiranku kacau sekarang, tapi aku mengiyakan ajakannya karena aku pun butuh teman ngobrol.

Pintu kafe terbuka, pelayan menyambut kedatangan tamu. Seketika aku menoleh pada pintu itu dan mendapati Levin dengan jaket jins dan rambut gondrongnya yang diikat. Dia tak menampilkan ekspresi apapun, padahal mata kami bertemu.

Levin langsung menarik bangku di hadapanku dan melihat menu. "Makanan yang enak di sini apa, Nyet?"

Aku memutar bola mata pada panggilannya yang sembarangan itu. "Cobain Brownies Creamy kayak punya gue, mau?"

Levin langsung menggeleng tegas. "Nggak! Ngikutin lo, gue bisa mabok Brownies."

Kurang ajar. "Maunya beda rasa?" Levin mengangguk. "Ah, ntar juga ujung-ujungnya lo tetep minta punya gue," sungutku.

Sehitam Brownies Seputih SusuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang