Part 1 : King's Landing

173 11 0
                                        

"Tapi ini tampak konyol, mom," gerutu Clara. Ia memperhatikan pantulan dirinya di cermin. Sebagian dari rambut pirangnya kini sudah disanggul tinggi-tinggi, meninggalkan beberapa layer rambut yang sudah siap di angkat.

"Konyol bagaimana? Kau tampak anggun sekali," Sang ibu memperhatikan putrinya dari cermin, mereka berdua memiliki wajah yang sangat mirip. Kedua mata coklat yang bersinar, bibir mungil yang penuh, serta garis-garis wajah yang membuat mereka terlihat menarik. Hanya rambut pirang Clara yang didapatkan dari ayahnya.

Clara memberikan tatapan tajam pada sang penata rambut ketika wanita itu akan mulai menyanggul bagian rambut lainnya, membuat wanita tersebut meletakkan kembali rambut Clara dan menepi, membiarkan sang ibu yang menggantikan tempatnya.

"Kau tampak menawan, gadis kecilku," kata sang ibu membuat Clara mengerucutkan bibirnya. Ia bukanlah lagi gadis kecil. Ia sebentar lagi akan berumur 14 tahun dan di mata ibunya ia akan selalu menjadi gadis kecilnya. "Dan lagi ini adalah acara besar, kau harus tampil cantik."

"Gadis-gadis di kota tampak cantik tanpa harus membuat rambutnya seperti ini," ujar Clara dongkol.

"Kau bukan gadis kota sembarangan," sanggah ibunya. "Dan bagaimana kau bisa tahu gadis-gadis kota? Kau hanya pernah ke kota dua kali, dan itu sudah beberapa tahun yang lalu."

Clara nyengir tidak menjawab. Ia tidak ingin memberi tahu ibunya bahwa sudah berulang kali ia kabur dari kelas untuk pergi ke kota. Ia akan dibunuh teman-temannya jika membocorkan rahasia ini.

Namun sang ibu tidak begitu mempermasalahkannya, ia hanya menambahkan, "Lagipula pangeran mahkota akan berada di sana, dia akan menyukai rambutmu."

Clara menghela napas panjang. Memberi isyarat pada penata rambut untuk melanjutkan pekerjaannya.

Pangeran mahkota. Selalu menjadi alasan sang ibu untuk merayu gadis perempuannya, meskipun Clara yakin pangeran mahkota tidak akan menyukai rambut sanggulnya yang sudah seperti sarang burung.

Setelah selesai menyanggul rambutnya, sang penata rambut menyematkan hiasan rambut berbentuk burung, lambang kerajaan. Clara tahu dia akan menjadi bahan tawaan malam itu.

**

"Dan itu seperti sarang burung," tepat sekali kalimat itu dilontarkan. Clara mendelik pada laki-laki yang masih menertawakan rambutnya. Berdiri di depannya, laki-laki yang hanya sedikit lebih tinggi dari Clara, adalah Caleb Rowen, atau biasa disebut pangeran Caleb.

"Itu tidak sopan, Cal!" ujar laki-laki di samping Caleb, namun ikut tertawa terbahak-bahak. Clara melipat tangannya. Yang baru saja berusaha membela dengan setengah hati, laki-laki yang sedikit lebih tinggi dari Caleb, tak lain adalah pangeran mahkota. Oh iya dia pangeran mahkotanya, pangeran Stephen Delaney.

Clara tidak pernah mau repot-repot memanggil kedua laki-laki itu pangeran. Karena bagi Clara, mereka hanyalah teman masa kecil ingusan Clara.

"Sampai kalian selesai menertawakan rambutku, aku akan mencari Phoebe dan Finns!" gerutu Clara.

"Jangan ngambek gitu dong," Caleb menarik Clara yang sudah akan berputar pergi. "Phoebe dan Finns tidak datang, mereka demam. Lagipula kita sudah berjanji akan bertemu di pekarangan! Kita akan melanjutkan penelitian kita!"

Ya, penelitian, bukan sebuah hal besar sebenarnya. Mereka hanya menemukan sebuah pintu kecil di pekarangan semak belukar istana beberapa hari yang lalu. Lalu Stephen bercerita bahwa ia pernah mendengar beberapa pelayan di rumahnya berkata bahwa mereka pernah mendengar suara-suara aneh di pekarangan. Finns, sepupu Caleb, dengan kisah-kisah horror kesukannya mulai beransumsi bahwa pekarangan itu mungkin adalah tempat dimana setan-setan dikurung. Diikuti oleh saudara kembarnya, Phoebe, yang beransumsi bahwa pintu itu membawa mereka ke negeri dongeng. Diakhiri oleh sentilan Caleb di dahi gadis itu, dan berkata bahwa mereka sudah tidak seharusnya percaya dongeng-dongeng, dan berkata mungkin itu adalah pintu yang akan menjadi jalan pintas ke kota, yang menurut Clara tidak ada bedanya dengan dongeng karena sama tidak mungkinnya.

"Tapi aku tidak bisa berlama-lama," kata Stephen. "Lord Dickerson memintaku berada di sini paling tidak lima belas menit sebelum acara dimulai."

Lord Dickerson adalah tangan kanan sang raja. Ia adalah orang yang sangat keras dan teliti.

Mereka bertiga memeriksa jam tangan masing-masing. Ketiganya sama-sama adalah jam dengan desain simple, batu sapphire yang melingkar, dan lambang kerajaan seekor burung elang bewarna biru anggun yang terlihat samar di tengahnya.

"Masih ada setengah jam, siap, pangeran mahkota," ujar Caleb.

Stephen mengerucutkan bibirnya. Ia tidak suka dipanggil pangeran mahkota.

Ketiga pemuda pemudi itu bergegas melewati tamu-tamu dewasa yang sedang bercengkerama. Clara mengamati beberapa wanita yang rambutnya juga disanggul seperti miliknya, namun mereka semua terlihat anggun dan cantik. Mereka bertiga menunduk ketika melewati Lord Dickerson yang sedang mengobrol dengan bangsawan lainnya. Melewati beberapa pelayan yang membawa minuman untuk tamu-tamu, keluar dari aula besar menuju koridor yang sangat sering mereka lewati.

Istana ini adalah warisan rumah keluarga Delaney, keluarga mahkota. Dengan satu aula besar, satu kamar raja dan ratu, dua kamar untuk Stephen dan adiknya, 150 kamar tamu, 300 kamar pekerja, dapur dan ruang makan yang tidak pernah terisi penuh kecuali di hari perayaan, kebun yang sangat besar dengan berbagai jenis bunga dari seluruh negeri, serta kolam renang di dalam dan di luar ruangan, ruang hobi mereka yang berisi hampir ratusan alat musik, garasi yang menyimpan hamparan mobil-mobil mewah sampai mobil balap kesayangan Lord Russel, paman Stephen, istana ini luar biasa besarnya.

Namun bagi Clara, Caleb, dan Stephen, labirin besar ini sudah seperti makanan sehari-hari. Keluarga Clara dan Caleb adalah keluarga kedua dan ketiga terbesar setelah Stephen. Mereka bertiga, beserta kedua sepupu Caleb, si kembar Phoebe dan Finns, adalah teman sejak kecil yang kebutulan lahir di tahun yang sama.

Tidak butuh waktu yang lama hingga ketiganya mencapai pekarangan semak belukar. Pekarangan itu amat luas dan berada tepat di belakang kebun bunga, melewati pintu kecil dibelakang bunga matahari. Tidak ada banyak penerangan selain lampu kebun dari kebun bunga, namun Caleb sudah siap dengan senter kecil yang dibawanya.

"Di bagian mana kemarin kita melihat pintu itu?" Tanya Caleb.

Mereka mengamati dengan seksama. Berhati-hati berjalan di jalan setapak yang sudah agak rusak dari kebun bunga. Clara tidak begitu menyukai ide gila ini. Ia merasa ngeri jika gaun merah jambunya yang cantik itu tersangkut semak-semak dan robek, dan akan mendatangkan murka dari orang tuanya. Namun ia tetap ikut saja.

Caleb mengarahkan senter itu kemana saja sembari mereka terus berjalan. Mereka kini sudah sedikit jauh dari kebun. Tidak ada begitu banyak orang yang datang ke pekarangan, karena itu terletak berada di ujung bagian istana dan bagian yang tidak begitu menarik dan tidak terawat. Semak belukar itu terlalu banyak dan tukang kebun biasanya tidak mau repot-repot mengurusinya, karena kebun bunga mereka sendiri harus dirawat berjam-jam. Lagipula, menurut Clara, tak ada orang dewasa yang cukup pendek untuk melewati pintu kecil bunga matahari. Stephen sendiri harus menundukkan kepalanya untuk masuk ke sini.

Setelah berkeliling beberapa lama tanpa hasil, Stephen yang berdiri di belakang Caleb akhirnya berkata, "Kita harus kembali sekarang,"

"Tapi kita belum mulai apa-apa!" protes Caleb.

"Well, kalian memang sudah seharusnya berada di aula bukan di sini," sebuah suara yang amat rendah berkata dari belakang Clara. Clara melompat kaget, namun sebuah tangan yang kuat menolong gaunnya dari nasib buruknya. Ia melihat sang penolongnya, Lord Dickerson sudah berdiri di belakang mereka.

Ketiganya langsung menunduk. Mereka bertiga tidak menyadari bahwa laki-laki kurus dengan uban di hampir seluruh bagian kepalanya itu baru saja mengikuti mereka.

"Jadi, tuan putri, pangeran, silakan."

Caleb dengan wajah kecewa bersama Clara dan Stephen mengikuti Lord Dickerson kembali.

Dan begitulah petualangan kecil mereka yang bahkan belum saja dimulai berakhir. Karena beberapa menit setelah mereka sampai di aula, lonceng dibunyikan. Stephen bergabung dengan keluarganya duduk di singasana bersama kedua orang tuanya. Clara dan Caleb kembali pada orang tua mereka. Lalu menit berikutnya sang raja mulai berpidato tentang pertumbuhan ekonomi serta tentang musim panen yang sudah dekat.

Clara menemukan Caleb. Mereka berdua saling lempar pandang wajah bosan.

**

The Tale of RavendiomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang