Part 24 : The Betrayal

34 7 4
                                    

Istana kerajaan Delaney

"King Dunlap akan senang sekali jika anda dapat mempertimbangkan tawaran ini," kata lelaki berwajah hati itu. Kedua mata gelapnya menatap sang raja di depannya dengan penuh harap. Kedua tanganya bertaut, menunggu jawaban sang raja yang sedari tadi mendengar dengan enggan.

"Terima kasih, Marc," kata the King, ia mengangguk, lalu mengedikkan kepala pada pengawal kerajaan yang duduk di belakang laki-laki berwajah hati bernama Marc tersebut.

Marc tampak kecewa, namun ia tetap saja berdiri, membungkuk memberi hormat sebelum meninggalkan ruangan tersebut.

Sang raja kembali mengambil bukunya dan bersandar di tempat duduknya. Laki-laki lain dalam ruangan itu – berdiri tak jauh dari tempat duduk sang raja– memandang sang raja dengan tatapan tak percaya.

"Stan, sudah kesekian kalinya, kurasa kau harus mempertimbangkan tawaran Sphinxie," ujar Russel Delaney tak sabar.

"Benarkah?" sang raja masih tidak menaruh perhatian pada adik laki-lakinya. "Dickerson, bisakah kau memberitahu saya mengapa saya harus menerima tawaran ini?"

Lord Dickerson yang berdiiri di sebelah sang raja langsung menjawab dengan suaranya yang kaku seperti biasa, "Karena tawaran ini membawa keuntungan secara ekonomi untuk negara."

"Dan mengapa saya tidak menerimanya?"

Sang penasehat raja tersebut masih tanpa ekspresi menjawab, "Karena anda tidak percaya pada Dunlap."

"Mengapa demikian?" tanya sang raja lagi.

Lord Dickerson menjawab seperti sudah menghafal narasinya, "Karena Sphinxie adalah negara para penipu."

The King menaikkan wajahnya, menatap Russel Delaney lekat-lekat. "Russ, ini adalah keputusan akhir, tidak peduli berapa kali kau berusaha mengundang penasehat kerajaan Sphinxie. Membuat perjanjian dengan mereka sama saja dengan menyerahkan sebagian besar rakyat kita kepada mereka, kita tidak akan menyerahkan rakyat kita untuk ambisi pria tua penipu itu."

Russel menghela napas, berusaha untuk tidak terlihat terlalu emosi. "Rajaku, bagaimana jika ini adalah keinginan rakyatmu?"

"Rakyat mana yang kau maksud?" The King menurunkan bukunya. "Aku sudah berusaha menuruti tuntutan kota dengan melanggar sumpahku dengan Howard, dan kini apalagi yang mereka mau?"

Russel menghela napas lagi, menatap kakak laki-lakinya yang sudah kembali sibuk dengan bukunya. Lalu ia menangkap sorot pandang Dickerson yang tajam. Russel membalasnya dengan tatapan tajam juga, seakan keduanya sedang saling berusaha membaca pikiran satu sama lain.

Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang laki-laki paruh baya masuk ke dalam ruangan dengan tergesa-gesa. Ia memberi hormat pada sang raja, mengatakan bahwa ada berita yang perlu disampaikan pada Lord Russel dengan cepat.

Russel Delaney melepaskan pandangannya dari Dickerson. Namun sang penasehat itu masih menatap lekat-lekat pada adik laki-laki sang raja. Ia memandang dengan penuh pertanyaan ketika laki-laki paruh baya tadi menyampaikan pesan dengan berbisik pada Russel Delaney. Matanya menyipit, memperhatikan gerak mulut laki-laki paruh baya tersebut.

Howard Chaney. Ia dapat menangkap gerakan mulut itu.

Russel membelalakkan mata. Ia tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya meminta ijin untuk meninggalkan ruangan pada sang raja, sementara sang penasehat raja masih tidak melepaskan pandangannya hingga pintu ruangan tersebut menutup.

**

Istana Bangsawan Chaney

Clara meletakkan sendoknya. Ia menatap makanannya tanpa semangat.

"Ada apa Clara?" tanya sang ibu yang mendapati aksi anak gadisnya.

"Aku tidak nafsu makan," kata Clara.

Di piring porselen tersebut masih tersisa hampir tiga per empat dari makanannya. Sang ibu menatap anak gadisnya dengan bertanya-tanya.

"Apakah ada masalah di sekolah?" tanya sang ibu.

Kini ayahnya pun ikut memperhatikan.

Clara tidak berani menatap kedua orang tuanya. Ia tampak ragu-ragu. Gadis itu ingin sekali membeberkan kebenaran itu, namun ia tidak ingin kedua orang tuanya tahu bahwa ia telah sekali lagi pergi ke kota tanpa sepengetahuan mereka. Karenanya akhirnya ia memutuskan menggelengkan kepala.

"Lalu mengapa tidak kau makan makananmu?" tanya ibunya, tampak khawatir.

"Kau tahu 'kan betapa banyak anak di distrik luar yang tidak dapat makan, mereka harus.."

"Aku tahu." Clara memotong perkataan ayahnya.

"Clara!" Ibunya menegur. Memotong perkataan orang adalah tindakan tidak sopan di kalang kerajaan. Namun Clara tidak sedang ingin mendengar dan mengingat-ingat anak-anak distrik luar yang akan membuatnya semakin sedih.

"Maaf." Kata Clara pelan sambal menundukkan kepala.

Hening sejenak. Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar sana. Clara mengangkat kepala. Ibu dan ayahnya juga tampak bingung.

"Ada apa di luar sana?" tanya Howard Chaney pada seorang pelayan.

Pelayan itu baru saja akan berjalan kea rah pintu ruang makan ketika pintu ganda tersebut menjeblak terbuka. Howard Chaney segera berdiri dengan siaga. Beberapa pengawal kerajaan di ruang makan serentak maju melindungi sang bangsawan.

"Ronald?"

Clara juga berdiri untuk melihat apa yang terjadi. Ia melihat rombongan kerajaan Delaney, dipimpin oleh Lord Dickerson, masuk ke dalam ruangan makan mereka. Wajah Lord Dickerson tampak tanpa ekspresi seperti biasanya. Bibirnya mengatup ketika berkata, "Atas nama kerajaan, Clara Genevieve Chaney dituntut telah melakukan pemfitnaan pada calon ratu kerajaan."

Howard Chaney mengernyit tidak mengerti, ia menoleh kepada Clara. Gadis itu tampak ketakutan. "Apa-apaan ini?"

"Atas putusan kerajaan, Clara Genevieve Chaney harus ditahan hingga sidang pengadilan yang dijadwalkan. Pengacara yang bersangkutan boleh dibawa di sidang pengadilan," kata Lord Dickerson.

Clara gemetaran. Ibunya sudah bangkit berdiri, berjalan kearah anak-anaknya dengan sikap protektif.

"Omong kosong apa ini, Ronald? Aku harus bertemu Stanley," kata ayahnya santai, meski ia dapat melihat kedua telinga ayahnya memerah karena marah.

"The King sedang tidak berada di area kerajaan. Beliau sedang melakukan rapat penting," kata Lord Dickerson.

Lord Dickerson menyerahkan sebuah gulungan perkamen. Selama sekian detik Howard Chaney hanya memandang benda itu dengan marah, lalu ia mengambilnya juga dari Lord Dickerson.

Ia membuka gulungan perkamen itu, membacanya dengan perlahan sebelum wajahnya berubah seutuhnya merah karena marah. Clara yang berada di pelukan ibunya tampak takut dan gemetaran.

"Kau tidak akan membawa anakku sebelum melangkahiku." Kata Howard Chaney tegas.

"Kami tidak ingin ada pertumpahan darah di tempat ini." Kata Lord Dickerson.

Beberapa pengawal kerajaan Delaney bergerak maju kea rah Clara berada. Howard Chaney memberi arahan keras pada pengawal istanya Chaney. Mereka saling bertubrukan, mengangkat senjata mereka. Clara meremas pergelangan ibunya melihat pemandangan tersebut. Sang ibu memeluk anak gadis dan anak laki-lakinya, menutupi pandangan keduanya. Ia memberi arahan pada pelayan istananya untuk membawa kedua anaknya pergi.

Ketika Clara sudah berada di pintu belakang meninggalkan ruangan itu, ia dapat mendengar suara Lord Dickerson berkata dengan tegas, "Hentikan!"

The Tale of RavendiomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang