Sophie terbangun ketika ponsel sederhananya berbunyi. Langit masih hitam di luar sana. Ia juga dapat mendengar suara pamannya mendengkur di kamar sebelah. Dengan enggan ia meraih ponselnya. Ada sebuah pesan masuk. Ia membukanya dengan was-was. Namun ketika gadis itu membuka pesan di dalamnya, ia mendesah lega. Bukan hal yang penting.
Ia melihat jam menunjukkan pukul empat lebih tiga puluh lima. Hari ini tidak ada sekolah, tapi ada sesuatu yang lebih penting ketimbang sekolah hari ini.
Well, tidak, sebenarnya tidak penting, Sophie membantin sambil mengelengkan kepalanya sendiri. Ia kembali berbaring di tempat tidurnya yang terbuat dari kayu, namun gadis itu tidak bisa tidur.
Ia berguling di tempat tidurnya sangat lama hingga ia dapat mendengar bibi dan pamannya sudah terbangun di kamar sebelah, bersiap-siap bekerja. Langit di luar pun sudah mulai menampakkan semburat biru.
Akhirnya Sophie memutuskan untuk beranjak dari kasurnya dan keluar dari kamarnya yang kecil. Sophie mendapati pamannya sedang menyeduh air hangat, sedangkan bibinya yang sedang menyiapkan sarapan berupa ubi rebus kaget melihat Sophie.
"Kau bangun sangat pagi sekali hari ini?" Bibinya bertanya. "Tidak ada sekolah 'kan?"
Sophie menggeleng. Ia ragu-ragu duduk di sebrang pamannya. "Hari ini teman-temanku mau datang."
Bibinya masih dengan tenang memperhatikan ubinya. "Ben dan Rency?"
"Dan dua anak kota."
Seketika punggung bibinya yang menghadap Sophie menegang. Pamannya pun meletakkan minumannya dengan kaget.
"Anak kota?" pamannya bertanya memastikan pendengarannya.
Sophie mengangguk pelan.
Berusaha untuk tidak menampakkan rasa kagetnya, bibinya bertanya, "Kau berteman dengan anak kota?"
Sophie menelan ludahnya. "Seperti itulah."
Bibinya menghela napas panjang, lalu memutar tubuhnya perlahan, dengan ragu-ragu berkata, "Kau tahu 'kan apa yang terjadi..."
"Aku tahu," putus Sophie cepat. "Tapi kurasa mereka tidak begitu buruk, dan maksudku, mereka hanya ingin melihat-lihat distrik tujuh."
Bibinya menghela napas lagi. Ia dan sang paman saling bertatapan cukup lama sebelum pamannya memutuskan untuk menyeduh minumannya lagi. Bibinya yang membuka suara "Sophie, kau tahu kami benar-benar ingin menjagamu dengan segala hidup kami," lalu jeda sebentar, kedua mata sayu itu memperhatikan Sophie, ia melanjutkan, "Tapi jika kau pikir mereka tidak akan membawa ancaman apa-apa, ya, seharusnya tidak masalah."
Sophie mengangguk. Ia sangat merasa bersalah karena bibi dan pamannya belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi padanya di sekolah belakangan. Namun Sophie sudah hampir tujuh belas tahun bulan ini, dan ia ingin membuktikan pada bibi dan pamannya bahwa ia bisa menjaga dirinya sendiri.
Setelah percakapan tersebut, bibinya menghidangkan sarapan pagi sederhana itu. Mereka mengobrol seadanya. Mereka bercerita bahwa belakangan harga jual ubi mereka tidak begitu baik dan mereka harus dapat memanen sesuai target pasar dan sebagainya. Sophie mendengarkan dengan seksama sambil memakan sarapannya.
Ketika paman dan bibinya sudah berangkat ke ladang, Sophie bergegas menuju kamarnya untuk mengambil ponselnya. Masih belum ada kabar dari teman-temannya. Tentu saja, siapa yang bangun sepagi ini?
Namun setengah jam kemudian Stanford Palmer berkata bahwa ia sudah dalam perjalanan menuju distrik satu. Ia dan Percy akan menemui Rency dan Ben terlebih dahulu di stasiun distrik lima, lalu bersama-sama menuju ke distrik tujuh.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Tale of Ravendiom
FantasiClara - putri bangsawan, hidup berkelimpahan, namun selalu iri dengan kehidupan anak kota yang bebas. Sophie - hidup di district lingkar tujuh, hidup berkekurangan, namun atas pesan ayahnya ia tetap bersekolah di distrik lingkar satu yang penuh deng...