Percy membungkukkan tubuhnya untuk menekan panel bewarna merah itu. Ia menyodorkan gelasnya dan dari sana air panas keluar. Ia menekan panel itu sekali lagi, lalu mengangkat gelas kertasnya. Ia membiarkan rasa hangat itu menyusuri jemarinya sembari menyandarkan tubuhnya ke jendela kaca. Di luar hujan turun dengan lebat.
Ia mendengar suara alarm mobil yang tiba-tiba saja bunyi. Di sisi lain mobil-mobil itu terparkir, sebuah bayangan dengan hoodie tersampir di kepala berjalan menyebrangi lapangan itu dengan cepat. Tubuhnya terlihat basah kuyup. Percy langsung berjalan menuju lobby mengenali siapa dibalik hoddie itu.
**
Sophie meremas kedua tangannya sendiri yang sudah memutih. Cuaca di luar sangat dingin. Terlebih lagi ketika tiba-tiba saja hujan turun dengan lebat. Ia tidak memperhitungkan datangnya awan hitam dan perubahan cuaca itu. Gadis itu telah mencapai bagian depan rumah sakit. Ketika ia baru saja akan membuka pintu ganda kaca tersebut, ia menyadari seseorang sudah membukakan pintu untuknya.
"Foley?" Sophie membelalak.
Percy Foley memberikan isyarat agar gadis itu cepat masuk ke lobby penerangan bewarna putih yang steril. Sophie mengikuti dengan patuh, lagipula ia sudah kedinginan setengah mati di luar sana.
Gadis itu berjalan masuk dengan berhati-hati. Ia tidak menyukai bau rumah sakit. Dan lagi, setiap ia menginjakkan kaki di lobby rumah sakit distrik tig tersebut, kenangan pahit beberapa hari yang lalu menghantuinya. Ia teringat ketika ia tiba di tempat itu dan rumah sakit itu menolak untuk melakukan pertolongan pertama bagi pamannya karena mereka tahu bahwa Sophie dan bibinya tak akan mampu membayar tebusannya. Mereka akhirnya membiarkan paman Sophie masuk karena Percy dan Stanford yang memberi jaminan.
Lalu berikutnya, ketika sang dokter akhirnya keluar dari ruang UGD itu, lagi-lagi ia harus dihadapkan oleh kenyataan bahwa mereka tidak akan mampu membeli obat-obatan untuk menyembuhkan penyakit pamannya.
Sophie sangat membenci kenyataan bahwa kondisinya yang sekarang tidak dapat menolong pamannya. Ia sangat membenci untuk mengakui bahwa harta kekayaan mengontrol kehidupan mereka. Bahwa nyawa manusia di sini tak lebih penting ketimbang seonggok koin dan kertas.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Sophie pada Percy Foley sambil melepas jaketnya yang basah. Mereka berdua berjalan ke arah ruang tunggu rumah sakit.
"Apa yang kau lakukan di luar sana?" tanya Percy Foley balik bertanya.
"Membeli makanan di market depan." kata Sophie singkat. Percy Foley mengernyit, menyadari bahwa gadis itu bahkan tidak terlihat membawa apapun. Sophie melanjutkan dengan singkat, "Aku melihat wanita ini, dia tampak belum makan untuk waktu yang lama."
"Kau terlihat belum makan untuk waktu yang lama," Percy berkata sinis, memperhatikan gadis yang terlihat pucat serta tubuhnya yang terlihat rapuh itu. Ia menyodorkan air hangatnya pada Sophie yang diterima oleh gadis itu. "Aku mendengar kau menolak pinjaman dari Stan."
"Karena itu kau di sini?" tanya Sophie. "Kami akan melunasinya dengan cara kami, kau tahu jawabanku."
"Aku tidak memaksamu menerima pinjaman," kata Percy Foley.
Sophie mengamati laki-laki tersebut. Ia tidak pernah mengerti jalan pikiran Percy Foley. Beberapa hari yang lalu sahabat laki-laki itu datang untuk menawarkan pinjaman yang gadis itu tolak dengan cepat. Lalu hari-hari berikutnya, Rency dan Ben datang untuk membujuk gadis itu. Sophie sangat tersentuh dengan kepedulian teman-temannya.
Tapi ia tahu ia akan membereskan masalah ini dengan caranya sendiri.
Mereka berdua duduk di kursi kosong ruang tunggu tersebut.
"Lalu apa yang kau lakukan di sini?" tanya Sophie.
"Mereka memaksaku datang untuk membujukmu," jawab Percy dengan sangat jujur. Sophie mendengus. "Aku tahu kau tidak akan goyah."
"Lalu?"
"Lalu aku tetap datang menemuimu." jawab Percy.
"Mengapa?"
"Entahlah."
Sophie mendesah pelan. Ia memperhatikan laki-laki itu. Sophie sungguh tidak mengerti Percy Foley. Ia selalu berlaku dingin dan tidak peduli, namun entah bagaimana ia selalu ada di saat gadis itu membutuhkan.
Suasana di sana hening. Tidak ada orang yang berlalu lalang malam ini. Hanya suara televisi yang bertenger di tengah ruangan yang menjadi satu-satunya sumber suara di sini.
Keduanya memperhatikan berita harian tersebut. Tidak ada yang penting. Kebanyakan hanya menampilkan beberapa berita dari bangsawan Ravendiom dan permasalahan tentang cuaca dingin yang menganggu beberapa sektor perdagangan. Sophie memperhatikan berita itu sambil lalu, menyesap air hangat dari gelas kertas yang diterimanya.
"Setelah segala hal yang terjadi," kata Percy Foley tiba-tiba, memecah keheningan itu, "Apakah kau tetap mempercayai Ravendiom."
Sophie berhenti menyesap minumannya. Ia memperhatikan layar televisi yang kini sedang menampilkan pembawa berita yang sedang berdiskusi tentang akibat-akibat fatal perubahan cuaca yang drastis ini bagi negeri ini.
"Jika semua orang berhenti mempercayai Ravendiom, negeri ini sudah tidak ada, Foley," kata Sophie.
"Dan mereka yang duduk di tahta tidak pernah peduli dengan hidup kalian." ujar Percy.
"Begitu pula dengan orang-orang kota." Sophie menambahkan. Percy tidak menyangkal. "Ravendiom akan selalu ada meskipun orang-orang bodohlah yang duduk di kursi tahta," kata Sophie. "Dan aku percaya jika ada orang kota seperti kau dan Palmer yang peduli, di atas tahta sana masih ada orang-orang yang peduli dengan hidup kami."
Percy Foley mendesah, namun ia tidak menyanggahnya. Laki-laki itu melipat tangannya, masih memperhatikan layar televisi.
Ponsel Sophie bergetar di kantungnya. Ia meraihnya cepat, lalu membaca sebuah pesan singkat di dalamnya. Gadis itu membulatkan matanya.
Percy menoleh, memperhatikan perubahan di raut wajah gadis itu.
Cepat-cepat Sophie mengendalikan emosinya. Ia memasukkan ponsel kecil itu ke dalam saku celana jeansnya lagi.
"Aku akan masuk sekolah minggu depan," kata Sophie.
Percy mengangguk, tidak berusaha bertanya pesan apa yang baru saja gadis itu terima.
**
note from author: Heya! Karena belakangan author terus molor publishnya, hari ini author kasih bonus 1 part lagi nihh!!
Anyway, thanks buat yang udah baca cerita ini sampai part ini ya! Please help me vote and comment <3
Thank you!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tale of Ravendiom
FantasiClara - putri bangsawan, hidup berkelimpahan, namun selalu iri dengan kehidupan anak kota yang bebas. Sophie - hidup di district lingkar tujuh, hidup berkekurangan, namun atas pesan ayahnya ia tetap bersekolah di distrik lingkar satu yang penuh deng...