Gedung tersebut dapat menampung ribuan orang di dalamnya. Pilar-pilar tinggi menghias di setiap jengkal ruangan dengan ukiran-ukiran yang membentuk simbol Ravendiom di atasnya. Di kedua sisi ruangan ada jendela-jenda tinggi dengan dua tirai bewarna coklat tua menggantung di dua sisi. Tak salah lagi, hanya arsitek dan designer ulunglah yang mampu mengkombinasikan semuanya ini agar gedung tersebut tampak mewah dan indah.
Namun bukan hanya interior bangunan tersebut yang menjadi sorotan orang-orang. Tepat di depan gedung, duduk singgasana raja yang tinggi dan megah. Ada panggung yang membatasi singgasana tersebut dengan tempat para bengsawan lain berkumpul. Berdiri di sisi sang raja adalah penasehat kerajaan, di kanan raja duduk sang ratu, dan di sebelah kiri duduk kedua anak laki-laki sang raja, Stephen dan Douglas.
Baik yang berada di atas panggung singgasana maupun yang berada di bawah panggung, kini sedang dalam keheningan mendengarkan alunan musik yang berasal dari dua orang gadis tepat di bawah panggung singgasana.
Clara dengan permainan biolanya serta Phoebe dengan denting pianonya membuat banyak mata menatap terpukau. Alunan melodi tersebut begitu indah, membuat siapapun terhanyut ke dalamnya.
Ketika keduanya selesai memainkan musik mereka, tangan-tangan bertepuk memuji. Clara dan Phoebe melangkah ke arah singgasana terlebih dahulu, lalu memberikan bungkuk hormat kepada sang raja dan keluarganya, lalu membalikkan tubuh pada para penonton untuk membungkuk hormat lagi.
Keduanya berjalan keluar dari panggung setelahnya. Phoebe dengan cepat menggandeng tangan Clara.
"Kau tidak apa?" tanya Phoebe berbisik.
Clara tersenyum pahit. "Tidak apa."
Berikutnya sang raja berdiri. Clara dan Phoebe yang sudah menemukan keluarga mereka, menonton dari kerumunan orang-orang di bawah panggung.
Clara tidak begitu menyimak apa yang dikatakan sang raja. Yang ia tahu hanyalah, tiba-tiba saja para pengawal kerajaan sudah membentuk barisan, membuka jalan dari bawah panggung ke arah tempat sang raja berdiri. Seorang laki-laki tua yang jangkung dengan hidung sedikit bengkok dan mata lebar yang sepertinya mampu melihat ke segala arah berjalan dengan santai dari kerumunan. Di sisinya, Stephanie Flores, dengan gaun panjang bak victoria yang membuat gadis itu tampak sangat cantik, berjalan dengan mantap menuju ke arah panggung singgasana.
**
"Aku minta maaf," kata Clara. Gadis berambut pirang tersebut langsung bersujud di hadapan ibunya. "Sungguh. Aku tidak akan mengulanginya."
Sang ibu memperhatikan anaknya, tersenyum kecil. "Berdirilah, sayang."
Clara berdiri dengan ragu-ragu. Ia tidak mengerti.
Ketika pengawal kerajaan bertubuh besar dan berkumis tebal itu menjemput gadis tersebut dari kota, lalu membawanya langsung ke kamar orang tuanya, ia kira ia dalam masalah besar. Ketika memasuki kamar tersebut, ia melihat mata ibunya sembab, sedangkan wajah sang ayah sudah merah karena amarah. Ia kira mereka akan memukulnya.
"Mom tidak marah aku diam-diam pergi ke kota?" tanya Clara bingung.
Ibunya tersenyum lemas, "Tentu saja marah, tapi ibu dan ayahmu juga sering melakukannya dulu."
Clara mengerjap bingung. Ia semakin tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia menatap ayahnya yang tidak melihat ke arahnya. Namun ia dapat melihat punggung ayahnya tampak menegang.
"Dad?" Clara mencicit.
"Howard," sang ibu berjalan mendekat pada ayahnya, menyentuh lengan pria berambut pirang tersebut, "Kau harus memberi tahu Clara."
Howard menarik napas dalam-dalam, sebelum membalikkan tubuhnya, menatap pada Clara lekat-lekat. Kini gadis itu ketakutan.
"Sweetheart," ayahnya memulai. Clara mulai menebak-nebak ke mana arah pembicaraan ini. Mengapa ayahnya memulai dengan memanggilnya sweetheart? "Kami baru saja mendapatkan pesan ini dari kerajaan."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tale of Ravendiom
FantasíaClara - putri bangsawan, hidup berkelimpahan, namun selalu iri dengan kehidupan anak kota yang bebas. Sophie - hidup di district lingkar tujuh, hidup berkekurangan, namun atas pesan ayahnya ia tetap bersekolah di distrik lingkar satu yang penuh deng...