Part 14 : Sparks in the Heart

45 8 2
                                    

Rency dan Ben sudah terlelap lagi ketika mereka berada di perjalanan kembali ke distrik satu. Waktu menunjukkan pukul tiga kurang lima belas siang. Sophie yang baru saja melihat jam tangannya mendesah lega. Ia tidak akan terlalu telat kembali ke distrik tujuh.

"Jadi bagaimana tour hari ini, Walker?" Stanford Palmer bertanya.

Sophie memperhatikan Stanford Palmer melalui kaca spion depan. Di sampingnya, Percy Foley menyandarkan kepalanya ke samping, tampak  terlelap.

"Tidak buruk," kata Sophie. "Tapi aku masih tidak mengerti mengapa kau melakukan ini."

Stanford Palmer berkata riang, "Karena membolos itu asyik."

Sophie memutar bola matanya. "Maksudku mengapa kau melakukan ini untuk teman-temanku. Mengapa kalian memilih duduk bersama kami."

"Oh," Laki-laki itu terlihat sedang tersenyum. "Karena kami tidak ingin duduk bersama orang-orang lain yang akan menanyakan masalah yang terjadi antara Perc dengan Ken. Dan kami juga tidak ingin hanya duduk berdua, terlihat menyedihkan. Lebih baik kami bergabung dengan kelompok menyedihkan lainnya, paling tidak terasa lebih ramai."

Sophie mendengus, namun ia tidak begitu tersinggung mendengar perkataan laki-laki itu. "Aku masih tidak mengerti mengapa kalian bisa berteman dengan seorang Kenneth Davenport," Sophie menelengkan kepalanya. "Dia begitu suka menindas orang dan kalian," jeda sejenak, Sophie berusaha mencari kata yang tidak akan membuat Stanford Palmer besar kepala, "lumayan oke."

"Hanya lumayan oke?" dentung Stanford Palmer, lalu terkekeh.

Sophie mengangkat bahu, meski ia tahu Stanford Palmer mungkin tidak dapat melihatnya. Laki-laki berambut merah itu meneruskan.

"Kehidupan di kota sangat rumit, Walker," kata Stanford Palmer, "sama seperti para bangsawan Ravendiom yang mengeksklusifkan diri mereka dengan para bangsawan lain, kami orang kota dididik untuk berteman dengan orang kota.

"Ken, Perc, dan aku sudah berteman sejak kecil. Kenneth memanglah kekanak-kanakan, dia tidak terlalu pintar dan hanya mengandalkan tampang serta kekayaan orang tuanya. Tidak ada orang yang pernah benar-benar berani menegur Ken, dia juga tidak mendengarkan kami, well, mungkin dia lebih mendengarkan Perc, namun Perc tidak terlalu begitu peduli dan ingin ikut campur pada masalah kelabilan Ken."

Sophie mengeryit.

Stanford Palmer yang melihat ekspresi Sophie dari kaca spion atasnya berkata, "Percayalah, bukan hanya kau saja yang kaget, kami semua tidak percaya Perc turun tangan untuk membelamu."

"Diamlah, Stan," desis Percy. Sophie sedikit terlonjak kaget. Ia mengira laki-laki bermata abu-abu itu sudah terlelap.

Stanford Palmer terkekeh, lalu meneruskan, "Intinya, kami memang terlihat bebas, tanpa benar-benar bebas. Itu seperti aturan yang sudah ditanamkan sejak kecil, bergaul dengan anak kota, dan kelak membangun keluarga dengan anak kota. Well, sekarang ada pula keluarga yang bahkan mengirim anaknya ke Greatest High School dengan tujuan agar anak mereka nantinya bisa menikah dengan para bangsawan, trend ini semakin menjadi-jadi semenjak kejadian pangeran mahkota dan calon ratunya yang berasal dari kota.

"Oh, dan omong-omong, Merilyn Jacobs itu sepupu si calon ratu." Stanford Palmer menambahkan dengan enteng.

Sophie mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha menelan informasi yang begitu banyak dari Stanford Palmer, lalu membelalak. "Apa?"

"Ya, mereka saudara sepupu. Mungkin karena itu kau melihat kemiripan di antara mereka. Merilyn Jacobs seharusnya sudah bersekolah di Greatest High School kalau bukan karena Perc," Stanford Palmer menjelaskan.

The Tale of RavendiomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang