Sophie menutup keran air itu. Ia mengangkat kepalanya dan memperhatikan wajahnya yang masih basah. Ada sedikit luka di ujung bibir gadis itu. Gadis itu menarik beberapa tissue untuk menyeka wajahnya ketika ia mendengar suara-suara itu di balik pintu.
Pagi ini, ketika gadis itu memasuki kelasnya, ia tahu akan ada sesuatu yang terjadi pada dirinya. Kenneth Davenport bukanlah lelaki pemaaf. Di sisi lain, dia adalah lelaki brengsek yang sangat sombong dan selalu menyalahgunakan kekayaan dan kekuasaan orang tuanya pada orang yang tidak membuat dia senang.
Dan di sanalah Sophie, tidak menemukan kedua sahabatnya di kelas pagi itu, alih-alih ketika masuk ke kelas, seseorang dengan sengaja menyandung langkah gadis itu hingga ia jatuh terjerambab, meninggalkan sedikit luka di ujung bibirnya. Sekelompok cewek terkikik-kikik, beberapa orang sedang mengabdikan momen itu di telepon genggam mereka.
Sophie berdiri sendiri dan berusaha untuk tidak mempedulikan mereka. Tidak ada seorangpun di kelasnya yang berani mengajak ia berbicara pagi itu.
Di ruang kantin, gadis berambut hitam legam itu juga harus terpaksa duduk sendirian. Ia mendengar sebuah suara laki-laki berseru, "Kau melanggar undang-undang dengan berada di sekolah ini, Walker!" Sebelum ada tangan yang mendorong kepalanya ke makanan di depannya. Sophie langsung berlari keluar dari kantin menuju toilet.
Dan di sinilah gadis itu berada saat ini. Ketika Sophie menatap bayangannya di cermin, ia berkata pada dirinya. Jangan menangis. Jangan menangis. Ini semua adalah kebodohannya. Ia tahu bahwa Kenneth Davenport bisa membuatnya seperti ini.
Namun ketika pintu toilet terbuka, Sophie tidak lagi sedang memandang wajahnya yang sangat berantakan di cermin. Merilyn Jacobs dan Rose Gilbert baru saja memasuki toilet. Sophie berbalik untuk masuk ke bilik toilet, namun tampaknya kedua gadis kota itu sudah terlebih dahulu melihat Sophie. Merilyn Jacobs memandang Sophie dengan tatapan jijik, namun Rose Gilbertlah yang melangkah untuk menarik kerah baju Sophie hingga gadis itu jatuh terjerambab.
"Kok bisa sih gadis seperti kamu sekolah di tempat kami?" ejek Rose Gilbert.
Sophie masih tidak menjawab. Ia mengenggam tangannya keras-keras. Tidak, ia tidak akan terpicu oleh pertengakaran itu. Sophie memutuskan untuk mengabaikkan gadis yang sedang berkecak pinggang di depannya dan bangkit berdiri. Seolah tak terjadi apa-apa, lalu membalikkan tubuh ke arah bilik toilet lagi.
Namun hal itu membuat Rose Gilbert jengkel sehingga gadis berambut merah tersebut sekali lagi menarik kerah gadis itu dan mendorongnya. Namun kini Sophie hanya sedikit terhuyung ke belakang.
"Sudah yuk, Rosey, buat apa kau kotori tanganmu?" Merilyn Jacobs yang sudah selesai mencuci tanganlah yang berkata.
Rose Gilbert melemparkan cengiran menghina pada Sophie sebelum ia mengikuti Merilyn keluar dari toilet itu dengan gerakannya yang congkak.
Sophie menarik napas dalam-dalam. Ia masih meremas tangannya sendiri. Hatinya sangat kesal, namun ia tahu ini adalah jalan terbaik. Ia hanya harus diam seperti ini sampai kelompok anak kota itu kehilangan ketertarikan untuk menindas Sophie, dan mungkin Sophie hanya harus didiamkan oleh teman-temannya sampai ia lulus.
Itulah yang biasa terjadi pada anak-anak yang ditindas. Ketika Kenneth Davenport sudah menemukan sasaran baru atau kehilangan minat untuk menindas, mereka akan dikucilkan oleh sebagian besar teman-teman kelas, namun itu lebih baik daripada ditindas setidaknya.
Sophie mencuci tangannya sekali lagi, lalu memperhatikan tampangnya yang semakin berantakan di cermin. Kini kancing bagian atas seragamnya sedikit terkoyak akibat Rose Gilbert. Ia mendesah memperhatikannya. Bagaimana mungkin ia akan pulang ke rumah dengan keadaan seperti ini? Bibi dan pamannya akan khawatir bukan kepalang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tale of Ravendiom
FantasyClara - putri bangsawan, hidup berkelimpahan, namun selalu iri dengan kehidupan anak kota yang bebas. Sophie - hidup di district lingkar tujuh, hidup berkekurangan, namun atas pesan ayahnya ia tetap bersekolah di distrik lingkar satu yang penuh deng...