Part 29 : Hello

34 5 2
                                    

Langit di luar sangatlah kelabu. Tak lama kemudian hujan deras menerpa negeri itu. Suara petir menggelegar setelah meninggalkan cahaya putihnya yang menyilaukan. Seorang laki-laki tua berdiri di ambang jendela rumah kecilnya. Ia menatap pemandangan di luar sambil mendesah pelan. Ia bisa membayangkan ladang pertaniannya yang becek. Ini bukan hari yang baik untuk berpergian.

"Nick, apakah kau yakin akan ini?" seorang wanita bertanya padanya. Wanita itu berjalan mendekat, ikut memperhatikan pemandangan di luar rumah kecil itu. Wajahnya tampak khawatir.

Laki-laki itu memejamkan mata beberapa saat, meremas jemarinya. Apakah dirinya yakin? Well, sebenarnya tidak juga. Namun ia mengangguk. Ia membenarkan pakaiannya, lalu berjalan menjauhi jendela tersebut.

"Demi Ravendiom," katanya pelan.


**


'Ravendiom: Krisis ekonomi lagi?'

Sophie mengamati judul koran tersebut. Ia belum sempat membaca karena tiba-tiba saja seorang gadis menampar benda itu ke wajahnya dan berkata, "Jaman seperti ini masih baca koran."

Lalu gadis itu terkikik dan berjalan menjauh. Sophie dapat mendengar gadis-gadis itu berdiskusi tentang betapa penampilan Sophie sangat menyedihkan, lalu mereka mulai merapikan diri, lalu bertanya satu sama lain bagaimana mereka terlihat.

Sophie mendesah pelan. Meski kejadian penindasan pada dirinya sudah tidak terjadi lagi, namun gadis-gadis kota dan distrik dalam biasanya masih sering mencemooh dirinya.

Sophie membenarkan letak korannya. Kini ia melihat sebuah kolom kecil lain di pinggir koran. 'Foley Coorperation dan Produk Terbarunya'. Perusahaan milik Percy Foley itu nampaknya benar-benar sangat berkembang di negeri ini. Rasanya sangat aneh sekali bagi Sophie mengenal laki-laki tersebut.

"Kau benar-benar tidak ingin melihat mereka?" tanya Rency sekali lagi. "Kudengar mereka akan segera datang."

Sophie tersenyum melihat tingkah sahabatnya, namun gadis itu menggeleng. "Aku akan tinggal di kelas."

Seperti perkiraan gadis itu, begitu pengumuman tentang datangnya para murid dari Greatest Highschool berkumandang, seluruh murid di kelasnya segera melesat keluar. Rency dan Ben menjadi yang paling terakhir karena mereka masih belum menyerah membujuk Sophie untuk ikut. Namun akhirnya keduanya pun berlari mengejar murid-murid lainnya keluar dari kelas.

Sophie kembali membaca korannya. Ia menunggu hingga tidak mendengar suara apapun di koridor sekolahnya. Setelah menunggu beberapa lama, gadis itu melipat kertas korannya. Sophie beranjak berdiri, berjalan keluar dari kelas.

Bahkan dari lantai ini pun ia dapat mendengarkan riuh rendah para murid sekolahnya yang bersemangat menyambut murid-murid dari Greatest Highschool. Dalam rangka menerima kehormatan ini, sekolah mereka mengijinkan kelas dibatalkan demi menyambut serta meramaikan lomba persahabatan hari itu. Meski anak-anak di sekolah mereka tergolong menengah ke atas (kecuali untuk beberapa orang, misal Sophie sendiri), tidak dapat disangkal mereka masih bisa dikatakan sangat mengagumi prince and princess dari kerajaan Ravendiom

Di mata rakyat jelata, para bangsawan di Ravendiom bagaikan orang-orang dari negeri dongeng. Mereka cantik dan tampan. Anggun dan menawan. Mereka adalah sosok yang hampir tidak tersentuh. Hampir sama posisinya seperti para artis-artis terkenal.

Namun, alih-alih berjalan menuju keramaian, Sophie memutuskan untuk menaiki tangga hingga lantai tertinggi sekolah tersebut. Tempat itu sangat sepi, tidak ada tanda kehidupan di sana.

Sophie berjalan santai menuju balkon pintu darurat. Ketika gadis itu mendorong pintu tersebut, ia disambut oleh semilir angin musim dingin. Sophie berjalan mendekat pada pagar pembatas balkon itu. Tempat itu adalah tempat paling sepi di sekolah itu. Ia mampu melihat pemandangan distrik satu yang penuh dengan bangunan-bangunan bewarna putih dari tempat ini.

Selama sejenak, Sophie bersandar pada pagar pembatas, menikmati pemandangan tersebut dengan tenang. Hiruk pikuk murid-murid yang sedang menyambut anak-anak bangsawan pun tak terdengar dari sini.

Balkon lantai lima tersebut adalah balkon terbuka yang paling tinggi. Namun di sana pula terdapat sebuah pintu besi yang mengarah ke arah atap bangunan. Pintu besi bewarna abu-abu tersebut digembok sehingga tidak ada murid yang naik ke atap, meskipun Sophie sangsi bahwa tidak ada satupun murid yang mencoba naik ke atas sana.

Selama beberapa saat memperhatikan pemandangan tersebut, Sophie akhirnya mengeluarkan ponselnya. Ia melihat ada beberapa pesan masuk di sana. Gadis itu tersenyum.

Sophie mengeluarkan sesuatu dari saku roknya. Pin Ravendiom berbentuk burung gagak bewarna biru tua yang dipahat elegan dengan batu-batu permata mengelilinginya. Entah bagaimana, ia tiba-tiba-tiba teringat terakhir kali ia membawa pin itu ke sini, Percy Foley juga berada di sini, dan itu untuk pertama kalinya mereka berdua benar-benar mengobrol. Sophie meggeleng pelan. Ini bukan waktunya memikirkan dia, bodoh. Lalu iaembali memperhatikan benda tersebut. Ia membuka kaitannya, lalu berjongkok di depan pintu besi yang mengarah ke atap bangunan, lalu menyentuh gembok yang sedikit berkarat itu. Ia berharap ini akan berhasil.

Gadis itu memasukkan bagian tajam dari pin ke dalam lubang kunci, mengotak-atiknya beberapa kali. Melihat orang lain melakukannya di telbisi terlihat begitu gampang, namun melakukannya sendiri ternyata tidak semudah itu. Membutuhkan waktu cukup lama hingga gadis itu mendengar klik pelan dari gembok berkarat tersebut. Ia tersenyum. Gembok itu terbuka.

Perlahan gadis itu membuka pintu besi tersebut.

Ia menatap dengan kagum ke arah tangga yang menuju ke atap Gedung. Sudah lama sekali ia ingin mengunjungi tempat itu. Namun gadis itu menunggu. Ia tidak segera beranjak menaiki tangga. Ia menunggu sambil bersandar di pagar balkon. Ia menunggu hingga keheningan itu dipecahkan oleh suara derap langkah. Ia memandang pintu yang menuju gedung sekolahnya.

Satu

Dua

Tiga

Pintu itu menjeblak terbuka.

Seorang laki-laki berdiri di sana. Sophie dapat melihat wajahnya yang menunjukkan garis-garis tegas dengan kedua alis hitam sempurna yang bertaut, serta sebuah bibir yang tergaris sempurna. Berbagai emosi terukir di wajahnya yang mulus tersebut. Kedua tangannya terkepal. Ia mengenakan seragam bewarna biru dengan line keemasan - bukan seragam sekolah mereka, itu adalah seragam Greatest Highschool.

Selama beberapa saat keduanya beradu pandang dalam diam. Lalu detik berikutnya, laki-laki tersebut membiarkan pintu dibelakangnya menutup, ia berjalan mendekat. Sophie juga bergerak mendekat. Tubuh mereka bertubrukan. Laki-laki tersebut memeluk Sophie lembut. Ia mengusap pelan rambut hitam gadis itu.

"Cal," bisik Sophie lembut. Gadis itu mampu mencium bau sang laki-laki yang menyenangkan.

"Aku merindukanmu," kata Caleb lembut di telinga gadis itu. "Clara."

The Tale of RavendiomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang