Hola, hola sudah lama sekali sejak post terakhir. Author minta maaf sebesar-besarnya, karena berbagai hal membuat author tidak ada waktu untuk menulis, akhirnya series Ravendiom ini pun terhenti di tengah-tengah. Tapi mulai bulan ini, author akan rajin untuk post kelanjutan series ini! Selamat membaca!
.
.
"Ini adalah perintah langsung dari ayah anda."
"Ayahku tidak akan menyuruh orang seperti anda atau," Clara menatap tajam pada si pengawal, "pengkhianat sepertinya."
Di belakang pengawal tersebut, Lord Dickerson berjalan ke arah mereka dengan perlahan. Aura dingin di sekeliling laki-laki tersebut tiba-tiba menambah menambah ketegangan di tempat tersebut.
Mereka berada di sebuah terowongan bawah tanah yang lebar, bau, gelap, serta hening. Sinar redup dari senter kecil sang pengawal serta Lord Dickerson adalah satu-satunya penerangan di tempat itu. Setiap langkah Lord Dickerson terdengar berirama dengan suara tetes air yang menetes di langit-langit terowongan.
"My Lord," sang pengawal langsung membalikkan tubuh lalu membungkuk hormat.
Laki-laki bertubuh tegap dengan bibir tipis tersebut mengangkat tangannya untuk menyuruh sang pengawal menegakkan tubuh lalu menatap padanya.
"Berapa lama waktu yang saya miliki?" tanya Lord Dickerson dingin.
"Dua puluh menit sebelum pengadilan," kata sang pengawal sigap.
Lord Dickerson mengangguk, lalu ia beralih menatap Clara.
Princess Chaney, dengan tangan yang masih diborgol, berusaha untuk mendongakkan kepala menatap pada laki-laki di depannya. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh tangan kanan sang raja tersebut padanya.
"Princess Clara Genevieve Chaney," kata Lord Dickerson dengan suara tajam. Kedua matanya menyipit menatap Clara. Dari kecil, Clara sangatlah takut pada Lord Dickerson. Suaranya yang penuh intimidasi, tatapannya yang tajam bagai elang yang siap memangsa. Namun kini perasaannya campur aduk antara ketakutan dan amarah pada laki-laki tersebut. "Kau yang telah mendengar percakapan di antara mereka hari itu, kau tahu apa dampak kecerobohanmu itu terhadap negeri ini?"
Clara menatap mata Lord Dickerson tidak menjawab.
"Kau adalah umpan tak terlihat bagi Kirk Flores untuk mendapatkan ayahmu, dan kau mengerti apa artinya itu?"
Clara menelan kata-kata Lord Dickerson. Ia merasa seperti ditonjok entah di mana.
"Aku tidak... aku tidak berpikir bahwa..."
"Tentu saja anda tidak, tuan putri," Lord Dickerson memotong. "Karena karena itulah anda tidak pernah pantas untuk duduk di kursi singgasana."
Clara merasa seperti ada belati tak kasat mata yang menusuk hatinya. Karena kecerobohannya semata ia tidak pantas duduk di singgasana? Meski kini ia tahu bahwa kecerobohannya membawa sebuah masalah besar, tapi ia merasa bahwa yang ia lakukan bukanlah hal yang salah. Perkataan Lord Dickerson itu terlalu jahat baginya.
Seperti membaca pikiran Clara, Lord Dickerson berkata, "Kau pikir bahwa hal yang kau lakukan adalah benar untuk rakyat Ravendiom," Lord Dickerson melanjutkan, "Jika kau ingin duduk di atas singgasana, kau harus menjadi bijaksana, tuan putri."
Clara berkata dengan suara tercekat, "Apakah mengundang musuh ke dalam rumah juga adalah hal yang bijaksana?"
Lord Dickerson berkata dengan suara datar, "Ada pepatah berkata jagalah sahabat kita sedekat mungkin, tapi jagalah musuh kita lebih dekat lagi."
Clara mengernyit tidak mengerti.
"Kau mengkhianati sang raja," kata Clara pelan.
"Demi Ravendiom, keluarga Dickerson mengikat janji untuk selalu menjaga Ravendiom selama-lamanya," kata Lord Dickerson.
"Kau mengkhianati ayahku," sergah Clara.
Lord Dickerson berkata tanpa nada dengan suara dinginnya, "Ayah saya bersumpah untuk melindungi keturunan keluarga anda hingga akhir hayatnya, mengapa saya harus mengkhianati ayah anda?"
"Lalu apa yang anda lakukan pada saya?" tanya Clara tidak mengerti.
"Menyelamatkan anda dan keluarga anda, tuan putri."
Hanya sedetik setelah Lord Dickerson menjawab, sebuah suara dari kejauhan terdengar. Clara berusaha untuk menebak suara apakah itu. Mereka berada di terowongan bawah tanah tempat saluran air biasanya berada. Namun suara yang merongrong ini jelas bukan berasal dari suara aliran air.
Suara itu semakin keras hingga Clara mulai mengenali suara mesin tersebut. Entah berapa jauh dari mereka, sorotan lampu menghantam penglihatan Clara hingga gadis itu terpaksa mengangkat tangannya untuk menutupi silau itu.
Tidak begitu lama, mesin yang datang dengan sorotan lampu tersebut bergerak mendekat dan berhenti tepat di belakang mereka. Terdengar suar klik-klik, seseorang mematikan sorot lampu tersebut, Clara mendapati seseorang yang ia tak kenal melompat dari mesin yang ternyata adalah sebuah mobil tua itu.
Laki-laki itu bertubuh sedikit lebih pendek dari Lord Dickerson. Clara tidak mampu melihat dengan jelas detail wajahnya, namun gadis itu menebak laki-laki dengan rambut hitam cepak serta tubuh yang kurus tersebut berumur di pertengahan lima puluhan. Ia berjalan ke arah mereka tanpa ragu.
Clara tidak mampu berkata-kata. Ia ketakutan, menebak-nebak siapa laki-laki tersebut dan apa rencana Lord Dickerson padanya.
Namun yang membuat Clara tercengang adalah ketika Lord Dickerson membungkukkan tubuh pada laki-laki tersebut, diikuti oleh sang pengawal yang sepertinya juga sama kagetnya seperti Clara.
"My Lord," Lord Dickerson bergumam.
Ketika berada di jangkauan sorot senter Lord Dickerson, Clara mampu melihat laki-laki tersebut lebih jelas lagi. Dengan pakaian bewarna coklat sederhana, serta celana gombor abu-abu. Clara teringat dengan bagaimana masyarakat di distrik luar berpakaian. Ia tidak mengerti mengapa Lord Dickerson memberikan sikap hormat pada laki-laki tersebut.
"Dickerson, kau tidak perlu memberi sikap hormat padaku." Laki-laki itu mengangguk, lalu mengibaskan tangannya cepat.
Lord Dickerson menegakkan tubuhnya, lalu berkata cepat. "Kami tidak memiliki banyak waktu lagi, my lord."
Laki-laki asing tersebut mengangguk santai. Ia beralih menatap Clara yang ketakutan. Gadis itu menciut di sebelah sang pengawal yang kini sudah berdiri tegak tanpa ekspresi.
"Princess Chaney, aku yakin?" tanya laki-laki itu lembut.
Clara bergeming. Laki-laki asing tersebut bergerak maju. Ia tersenyum lembut, membuat Clara yakin bahwa gores-gores ketampanan masih membekas di wajahnya yang menua. "Saya Nick Walker. Mungkin anda pernah mendengar saya sebagai Nicholas Delaney."
Clara membelalak kaget. Ia mengerjapkan mata beberapa kali.
"Anda adalah teman baik ayah saya," Clara berkata pelan.
Laki-laki di depannya tersebut mengangguk lembut.
"Tapi ayah saya berkata anda sudah..anda sudah," Clara menelan ludahnya. "Anda tewas."
Nicholas Delaney tersenyum, "Well, rumor itu tidak sepenuhnya salah, Nicholas Delaney memang sudah tidak ada."
Clara memandang laki-laki tersebut tidak mengerti. Lalu ia berpaling pada Lord Dickerson, menuntut pertanyaan.
"Lord Delaney akan membawa anda keluar dari area kerajaan dan menjaga anda jauh dari jangkauan kerajaan," kata Lord Dickerson menjelaskan dengan suara datarnya yang biasa, lalu ia melanjutkan, "Anda akan memiliki identitas baru serta kehidupan baru, tuan putri."
Clara tidak mengerti, ia melotot pada Lord Dickerson.
"Ini adalah satu-satunya cara untuk melindungi anda serta keluarga anda, tuan putri," jelas Lord Dickerson.
Satu-satunya cara melindungi ia dan keluarganya adalah dengan keluar dari kehidupan kerajaan dan hidup dengan seorang laki-laki tua yang mengaku sebagai sahabat lama ayahnya yang sudah tewas? Seseorang pasti bercanda padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tale of Ravendiom
FantasyClara - putri bangsawan, hidup berkelimpahan, namun selalu iri dengan kehidupan anak kota yang bebas. Sophie - hidup di district lingkar tujuh, hidup berkekurangan, namun atas pesan ayahnya ia tetap bersekolah di distrik lingkar satu yang penuh deng...