Sophie menatap nanar pada pantulan dirinya di cermin. Sudah lama sekali semenjak ia memperhatikan dirinya sendiri selama ini. Belakangan ini ia selalu menghabiskan waktu di distrik tiga, menjaga pamannya di rumah sakit.
Bahkan gadis itu tidak masuk sekolah untuk beberapa hari karena ia harus membantu bibinya menjual hasil panen mereka - meski sang bibi memaksa berkata bahwa dia mampu melakukan segala tugas itu sendiri.
Beberapa hari yang lalu pamannya akhirnya pulih. Dokter juga berkata bahwa keadaan pria itu semakin membaik.
Dan di sinilah akhirnya, Sophie, kembali menatap pada bayangannya di cermin, dan mendesah menyerah untuk merapikan rambutnya.
Setelahnya, gadis tersebut kembali ke kamarnya yang kecil untuk mengambil ponsel yang ia letakkan di laci bambu di sebelah tempat tidurnya. Saat ia akan mengambil benda mungil tersebut, kedua matanya mendapati sebuah benda kecil yang tergeletak di sana. Sebuah pin burung gagak bewarna biru milik John Lewis.
Apakah kau tetap mempercayai Ravendiom?
Pertanyaan yang dilontarkan pada gadis itu beberapa hari lalu itu tiba-tiba saja bergaung di kepalanya. Ia memperhatikan benda tersebut sejenak, lalu memejamkan matanya.Setelah apa yang terjadi dalam hidupnya, apakah ia masih mempercayai Ravendiom? Sebuah lintasan ingatan tentang kesenjangan hidup di sekolahnya, tentang perlakuan tak adil bagi pamannya, tentang orang tua dan pengkhianatan-pengkhianatan dalam hidupnya, apakah ia sungguh masih mempercayai negeri itu?
Tiba-tiba ponsel Sophie bergetar, menunjukkan pesan masuk. Ia segera meraihnya, lalu membaca pesan di dalamnya.
Jangan pikirkan hal yang tidak-tidak, batin Sophie dalam hati, Ini hari besar
**
"Sophie!" Rency berteriak memanggil. Gadis itu berjalan setengah berlari menuju sahabatnya. Kedua gadis itu berada di halaman sekolah mereka.
Sophie tersenyum, menyapa sahabatnya.
"Akhirnya kau masuk sekolah juga! Aku merindukanmu!" Rency memeluk sahabatnya yang dibalas dengan pelukan erat juga.
Keduanya berjalan melewati gerbang sekolah, menuhu pintu utama gedung sekolah. Mobil-mobil anak kota dan distrik dalam berbaris rapi di sana.
"Bagaimana dengan pamanmu?" tanya Rency hati-hati.
"Beliau membaik."
Rency memperhatikan sahabatnya, ia menggigit bibirnya sebelum berkata, "Sophie, maafkan aku, tapi kau tidak meminjam lintah darat untuk melunasi hutang-hutang rumah sakit 'kan?"
Sophie mengernyit, tidak mengerti.
"Stanford Palmer berkata kau harus membayar bunga sangat besar jika kau meminjam lintah darat," kata Rency dengan wajah khawatir.
Sophie tersenyum, ia menggeleng.
"Syukurlah." Rency mengangguk-angguk tenang.
Keduanya sudah begitu dekat dengan pintu utama ketika Sophie memperhatikan sesuatu. Di atas pintu ganda tersebut, sebuah kain slogan bewarna putih yang tidak pernah ia lihat sebelumnya tergantung di sana. Ada lambang Ravendiom di sana, tulisan 'Selamat Datang' terukir di atas sana.
"Oh benar sekali, kau mungkin ketinggalan berita ini!" kata Rency riang, menyadari sahabatnya sedang mengamati banner tersebut. "Hari ini sekolah kita akan kedatangan murid-murid dari Greatest High School, hari ini akan ada pertandingan persahabatan antara sekolah kita dan mereka."
Sophie mengangguk pelan, namun matanya masih tidak dapat lepas dari kain besar dengan lambang negeri itu di atasnya.
**
author's note: free one more chapter for today! scroll down!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tale of Ravendiom
FantasyClara - putri bangsawan, hidup berkelimpahan, namun selalu iri dengan kehidupan anak kota yang bebas. Sophie - hidup di district lingkar tujuh, hidup berkekurangan, namun atas pesan ayahnya ia tetap bersekolah di distrik lingkar satu yang penuh deng...