Edgar masih setia duduk dikursi kebanggaannya, bimbingan skripsi dengan mahasiswa-mahasiswinya sudah berakhir sejak setengah jam lalu tapi pria itu masih enggan beranjak dari kursinya
Hati dan otaknya tidak selaras, hatinya terasa panas karena mengingat apa yang baru saja dilihatnya tadi tapi otaknya membuat bibirnya malah mengatakan hal sebaliknya.
Ingin rasanya Edgar mengutuk bibirnya sendiri apa katanya tadi? Kalian pasangan serasi? Hah, Yang benar saja, Edgar hampir saja membanting ponsel mahasiswinya itu sebab menampilkan gambar Sabil dengan seorang pria yang dia tau adalah calon dari pilihan orangtua Sabil
"Itu pilihan lo sendiri, Gar!! Lo yang memilih jalan ini.." kata Edgar bermonolog, pria itu menelungkupkan kepalanya diatas tumpukan berkas-berkas skripsi mahasiswanya
Rasanya hari ini begitu melelahkan Edgar, sekuat tenaga pria itu menjaga konsentrasinya agar tidak terpecah kepada Sabil yang terlihat begitu anggun dimatanya dan tetap fokus dengan skripsi-skripsi mahasiswanya
Edgar mengangkat kembali kepalanya saat mengingat sesuatu, pria itu merogoh saku celana bahannya untuk mengambil ponsel yang ditaruhnya disana lalu mendial nomer seseorang pada ponselnya dan mendekatkan benda pipih itu ketelinganya
"Ya, Tolong cancel meeting malam ini kalau tidak kamu wakilkan saya.. Untuk workshop besok saya akan berangkat besok subuh saja..." ujar Edgar setelah beberapa lama menanti panggilannya dijawab
".................."
"Saya tidak bisa mengikuti meeting malam ini! Apa saya harus mencari alasan dan menghubungi mereka sendiri? Lalu apa gunanya saya mempekerjakan kamu?" tegas Edgar marah, Great! Bahkan pria itu tidak dapat menahan emosinya sekarang
"........................."
"Baik, terima kasih Rob..." tanpa menunggu sahutan asistennya itu, Edgar menutup panggilan lalu menaruh kasar ponselnya diatas meja.mencoba mengatur emosi yang layaknya rollercoaster akhir-akhir ini
Ceklek
Suara pintu terbuka membuat mendongakan kepalanya, hatinya kembali berdegup saat mendapati seorang yang sudah membuat dia kehilangan akal sehatnya dengan melampiaskan emosinya pada Asisten pribadinya yang tidak bersalah
Manik harzelnya bertemu dengan manik hitam pekat milik gadis itu, beberapa menit mereka saling bertatap seolah berbicara lewat tatapan hingga gadis itu memutuskan tatapan mereka, membalik badan untuk menutup pintu dan melangkah menuju pria tegap yang tidak pernah berhenti mengamati pergerakannya
Gadis itu menatapnya sebentar sebelum mengarahkan tatapannya kelayar ponsel ditangan kanannya, lalu menarik nafas panjang seraya menaruh paper bag didepan pria itu mengabaikan bahwa karena aksinya itu, ponsel dan beberapa berkas tertimpa paper bagnya
"18.20, sudah lewat jam kerja bapak kan? Jadi, sekarang saya akan menganggap bapak seorang teman lama bukan lagi dosen saya.." kata gadis itu membuka suara, sementara Edgar memilih diam sembari menerka apa yang sedang coba dilakukan mahasiswinya itu
"Diam saya anggap bapak ah, maksud saya kakak setuju.." lanjut gadis itu, jarinya menunjuk kearah paper bag bawaannya tadi membuat tatapan Edgar mengikuti arah tangan Sabil
"Aku hanya mau menitipkan ini untuk Erina dan Edo, ini adalah kado yang kakak kembalikan saat aku mengirimnya kerumah.." ujar Sabil dengan nafas agak memburu, menandakan bahwa sekuat tenaga dia telah menahan emosinya
"Aku tidak memiliki maksud apapun, hanya ingin menepati janjiku pada Erina... Aku menghormati keputusan kakak maka dari itu aku menahan diri untuk menemuinya secara langsung.." lanjut Sabil dengan suara agak bergetar tapi sebisa mungkin ditahannya, dia tidak akan lagi memperlihatkan airmatanya didepan pria itu
"Kenapa tidak kamu hentikan semua ini, Sal?" tanya Edgar mulai buka suara setelah sekian lama membisu, nada dan ekspresinya begitu datar membuat Sabil hampir kehilangan keberaniannya, tapi tidak dia sungguh ingin menepati janji pada gadis kecilnya itu berarti dia harus kuat menghadapi pria dihadapannya ini
Sabil mengambil nafas panjang, berusaha melegakan dadanya yang terasa begitu sesak "Bisakah kakak hanya menerima ini sebagai hadiah ulang tahun untuk anak-anak kakak dari seorang teman lama?" ujar Sabil dengan nada agak tinggi
"Bukan dari seorang wanita gila yang rela menyerahkan dirinya hanya untuk sebuah pengakuan.." lanjut Sabil dengan suara lirih, satu butir airmata yang ditahannya lolos juga dihadapan Edgar sebelum akhirnya gadis itu membalik tubuhnya dan bergegas pergi meninggalkan seorang pria yang diam mematung ditempatnya.
❇❇❇
Segala macam perkataan menyakitkan telah didengarnya dari bibir pria yang diam-diam masih menguasai separuh dari hatinya, hatinya sakit tapi entah apa yang terjadi seketika luka itu sembuh dengan sendirinya terus begitu hingga berkali-kali namun tetap saja hatinnya memaafkan dan tetap menyimpan pria itu didalamnya
Namun hari ini, tepatnya 15menit yang lalu luka yang lebih dalam dan menyakitkan kembali diukir pria itu pada hatinya, "Kalian pasangan serasi?" entahlah apa yang salah dari kalimat itu, tapi kenapa rasanya begitu menyakitkan untuk Sabil. Kalimat itu membuatnya seolah-olah memang tidak diinginkan
Sabil tertawa getir, memangnya sejak kapan pria itu menginginkannya dari awal hanya dia yang berjuang dan hanya dia yang menginginkan dirinya tetap berada diantara Edgar dan Anak-anaknya, hanya dia wanita gila yang berusaha menekan dirinya agar bersikap baik dan penurut pada Pria yang dijodohkan Bundanya agar sang Bunda memenuhi janjinya memberikan keputusan sepenuhnya ditangan Sabil, hanya dia yang secara diam-diam mengamati dari jauh Erina dan Edo setiap hari tanpa bisa merengkuh mereka dalam pelukannya, hanya dia yang gila memimpikan mulai membangun hidup baru yang penuh kebahagiaan dengan pria yang bahkan tidak menginginkannya
Gadis itu menangis, meraung tanpa perduli kakaknya mungkin mendengar tangisan pilunya, yang dia butuhkan hanya melegakan perasaannya, melegakan sesak yang dia tahan berbulan-bulan lalu
Ceklek
"Ya tuhan, Sa.. Kenapa lo?" pekik Luna khawatir, wanita yang masih memakai pakaian kantornya itu langsung merengkuh tubuh adiknya yang bergetar hebat
"Sakit kak... Sakit..." ujar Sabil disela tangisnya, gadis itu memukul-mukul kecil dadanya berharap semua kesakitannya hilang
"Kenapa? Kedokter ya kitaa.." ajak Luna sembari berusaha menghentikan tangan adiknya yang terus memukul dadanya sendiri
"Gue mau berhenti kak.. Gue nyerah.. Gakuat..." racau Sabil sembari sesegukan, Luna diam beberapa saat mulai menerka maksud dari ucapan adiknya sampai akhirnya dia mengerti.
Ternyata semua yang dipikirkannya benar terjadi, hari ini adalah hari yang Luna tau pasti akan tiba, hari dimana akhirnya kesakitan yang coba diredam dalam-dalam oleh Sabil mencapai batas limitnya dan meledak seperti sekarang ini
Luna terus mencoba menenangkan Adik kesayangannya yang masih terisak sembari dalam hati berharap akhirnya Adik kesayangannya dapat memutuskan suatu yang terbaik dan bisa mendapatkan kebahagiaannya sendiri.
🔜🔜🔜🔜
Tbc
Aku Sudah up lagi...
Gimana menurut kalian? Aku ngetik ini sampe nyesek dan nangis sendiri loh...
Eh apa akunya yang lagi lebay yaa hoho
Pokoknya jangan lupa vote dan comment biar aku semangat buat ngelanjutin hehehe
Love Zat 💙
KAMU SEDANG MEMBACA
My Gorgeous Student (The End)
Romance*Dilarang keras mengcopy atau menggandakan cerita ini dalam bentuk apapun tanpa seizin Author* Dia bukan siapa-siapa yang diubah waktu menjadi bagian terpenting dalam hidup anak-anak Gue dan Waktu makin mengubahnya menjadi sulit untuk gue lepaskan k...