Penyesalan selalu datang belakangan, ya pribahasa itu memang selalu tepat, karena kalau diawal namanya pendaftaran(?) okey lupakan, dan penyesalanlah yang kini sedang dialami seorang Edgar Bimantara.
Lima hari, lima hari sudah dia menjadi layaknya manusia tanpa gairah hidup, kerjaannya tidak ada yang beres, moodnya tidak bisa dikontrol bahkan beberapa kali dia tanpa sengaja membentak anggota keluarganya yang tidak bersalah
Rasa bersalah yang ada selama beberapa bulan ini dan berusaha diredamnya mencuat kepermukaan karena ucapan Sabil lima hari lalu, beberapa hari ini Edgar selalu berusaha mengajak bicara Sabil mencuri-curi kesempatan agar memiliki kesempatan setidaknya hanya untuk meminta maaf secara langsung
Namun seperti yang sudah dia duga, kesalahannya memang tak termaafkan, Sabil bahkan enggan menatapnya kini dan bersikap seolah mereka memang hanya dosen dan mahasiswi tidak lebih.
Bahkan hari ini Edgar sengaja menjadwalkan pertemuan bimbingan dan Sabil sama sekali tidak merespon apapun kecuali saat dia membicarakan tentang skripsi gadis itu dan revisi yang harus dilakukan
"Pak apa sudah semua?" tanya Dodo salah satu mahasiswa yang juga menjadi mahasiswa bimbingannya
"Oh ya sudah, kalian bisa pulang.. Tapi Salsabille... Bisa saya lihat kembali Bab empatmu? Sepertinya ada sedikit kesalahan revisi yang saya minta.." ujar Edgar masih dengan usahanya berbicara dengan Sabil, gadis itu menarik nafas panjang seraya kembali mengeluarkan kertas-kertas skripsinya
Vera-teman seangkatan Sabil, yang memang sedari tadi sudah diwanti-wanti oleh gadis itu agar menungguinya mulai bergerak gelisah karena kebingungan saat tiga temannya yang lain berpamitan dan beranjak dari ruangan itu
Matanya melirik pada teman yang cukup dekat dengannya itu dan dosen pembimbingnya bergantian, Vera dan Sabil berdebat lewat tatapan. Mata Vera yang seolah berkata-Gue tunggu didepan aja ya- dan Sabil dengan puppy eyes-nya seolah berkata-Lo tega? Jangan dong please...-
"Ehem.." suara deheman dari pria dihadapan Mereka memutus paksa komunikasi mata kedua wanita itu, secara bersamaan Sabil dan Vera menoleh kearah sang dosen
"Ada yang mau ditanyakan lagi, Vera?" tanya Edgar melepas keheningan, Vera menegang tampak bingung lalu melirik kearah Sabil yang asik memainkan jarinya diatas meja enggan mendongak dan melihat pria dihadapannya itu. Edgar mengikuti arah lirikan Vera lalu menghela nafas
"Baiklah, sepertinya kamu tidak masalah jika Vera mengetahui apa yang akan aku sampaikan ya, Sal? Okey, aku juga ga masalah..." ujar Edgar tenang lalu kembali memperhatikan berkas skripsi Sabil dan membolak-baliknya
Sabil memaksakan diri mendongak, menatap tidak percaya kenapa dosen temboknya. Gila saja, kalau dia berani akan gadis itu tenggelamkan Edgar dilaut merah
Edgar menutup kembali berkas ditangannya, mendongak membalas tatapan Sabil dengan sedikit senyum miring sembari menautkan kedua tangannya diatas berkas skripsi itu
"Masalah beberapa har--"
"Ver, kalo mau duluan yaudah gapapa.. Udah masuk jam makan siang juga.." sela Sabil cepat, berusaha menutupi kepanikan dan kekesalannya pada dosen tembok itu
Vera yang nampaknya mulai kepo karena merasakan aura janggal diantara kedua orang ini seperti enggan beranjak namun tidak berani menolak apa lagi sepertinya dosen itu tidak menginginkan keberadaannya. Akhirnya dengan berat hati Vera berpamitan sebelum akhirnya melangkah keluar ruangan diskusi
"I'm sorry I've hurting you..." lirih Edgar membuat Sabil menegang, gadis itu mengalihkan tatapannya dari pahanya ke wajah pria itu yang nampak amat kacau
Mereka saling bertatapan, tanpa bicara. Sorot mata itu sudah menunjukan begitu dalam penyesalan yang dirasakan pemiliknya, ada rasa kerinduan juga yang bisa Sabil rasakan dari sana, tapi apa yang sudah hancur memang tidak pernah bisa kembali utuh, bukan?
Sabil tersenyum, sebisa mungkin menjadi kuat dihadapan Edgar. Dia sudah janji pada dirinya sendiri untuk mengakhiri semua kegilaannya selama ini, jadi dia akan mencobanya dimulai dari memaafkan dan melepaskan
"There's nothing to forgive.. though only for a moment, I'm happy. I'm really happy... Thank you.." ujar Sabil tulus, ya dia bahagia. Bahagia karena sempat memiliki keluarga kecil yang begitu diimpikannya sejak dulu. Walau tidak sempurna tapi banyak cinta dan kasih sayang didalamnya
Edgar terdiam sesaat, seharusnya dia merasa lega bukan? Seharusnya dia senang karena Sabil tidak marah padanya dan mengatakan dia bahagia. Tapi entah kenapa rasanya mengerikan, Edgar begitu ketakutan hingga tubuhnya jadi membeku, dingin. Senyuman tulus yang biasa menenangkan terkesan seperti hukuman yang menyakitkan bagi pria itu. Edgar hendak membuka bibirnya kembali, saat kalimat menyakitkan itu merambat kedalam indera pendengarannya dan melumpuhkan setiap saraf pada otaknya
"But that is past now... Dongengnya sudah tamat, kita harus kembali ke dunia nyata sehingga kita bisa melanjutkan hidup.. Sudah waktunya kita kembali ke tempat masing-masing.." tanpa beban Sabil mengatakan semua yang memang ingin dia katakan, lebih untuk dirinya sendiri.
Disertai dengan senyum tulus terpatri diwajah manisnya, Sabil berdiri membungkukan tubuhnya sedikit lalu menyambar tasnya dan keluar dari ruangan itu. Meninggalkan Edgar yang masih mematung, berusaha mencerna semua kalimat yang entah kenapa menjadi kalimat yang sangat menakutkan bagi dirinya
Sementara Sabil, pikirannya yang menganggap dia akan baik-baik saja setelah melepaskan ternyata tidak terbukti. Kini justru ada ribuan belati seakan mengoyak hatinya, dirinya ingin melepaskan namun hatinya terlalu sulit untuk melepaskan.
🔜🔜🔜🔜
Tbc
Aku sudah up lagi...
Sedikit? Iyaa... Aku memang tidak tau lagi harus nulis apa untuk hari ini hohoho
Jadi daripada aku tahan atau aku paksa malah jadi hancur mending segini dulu yaaa shay 😘😘
Vote dan commentnya bisalah ya kalo ga aku up bulan depan nih #ngancem wkwk
Love Zat 💙
KAMU SEDANG MEMBACA
My Gorgeous Student (The End)
Romance*Dilarang keras mengcopy atau menggandakan cerita ini dalam bentuk apapun tanpa seizin Author* Dia bukan siapa-siapa yang diubah waktu menjadi bagian terpenting dalam hidup anak-anak Gue dan Waktu makin mengubahnya menjadi sulit untuk gue lepaskan k...